View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Tim Penulis:Albert Sulaiman, Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin,Marina C.G. Frederik, Muh. Sadly, Yusuf S. Djajadihardja,Retno Andiastuti
Rise
tdan
Teknolo
giPem
anta
uan
Din
am
ika
Laut
Indonesia
www.tisda.org/indoo
Indonesian Operational Ocean Observing System(INDOO PROJECT - SPF ASIE/2005/102-483)
Riset dan TeknologiPemantauanDinamika LautIndonesia
Buku ini dicetak olehBADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANANDEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
APBN Tahun Anggaran 2006
Tim Penulis: Albert Sulaiman, Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin,Marina C.G. Frederik, Muh. Sadly, Retno Andiastuti
Riset dan Teknologi PemantauanDinamika Laut Indonesia
Indonesian Operational Ocean Observing System(INDOO PROJECT - SPF ASIE/2005/102-483)
Buku ini dicetak olehBADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANANDEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
APBN Tahun Anggaran 2006
Tim Penulis: Albert Sulaiman, Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin,Marina C.G. Frederik, Muh. Sadly, Retno Andiastuti
Riset dan Teknologi PemantauanDinamika Laut Indonesia
Indonesian Operational Ocean Observing System(INDOO PROJECT - SPF ASIE/2005/102-483)
KEPALA BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
KATA SAMBUTAN
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu dengan senantiasa memperhatikan dan menjaga kelestariannya. Permasalahan sumberdaya alam kelautan menempati posisi yang cukup sentral dalam memberikan kontribusi pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam laut terpendam potensi keanekaragaman hayati laut, potensi sumberdaya non-hayati, potensi jasa kelautan, serta potensi lingkungan laut yang luar biasa besarnya. Ini berarti bahwa kelautan kita yang begitu besar itu, apabila bisa dikonversikan menjadi asset ekonomi yang nyata dapat menjadi sumber devisa negara yang menonjol dan mampu mencerdaskan masyarakat.
Untuk dapat mengelola sumberdaya alam kelautan secara baik, sebagaimana diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, maka ada salah satu faktor penting yang tidak dapat diabaikan, bahkan amat diperlukan, yakni teknologi. Dalam kaitan ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) secara umum, dan Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) secara khusus, dapat memainkan peranan yang berarti. Oleh karena itu saya menyambut gembira ketika mengetahui berkembangnya inisiatif dan upaya staf Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) dalam kerangka Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project), dimana BPPT bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dengan European Space Agency (ESA), ENEA Italy dengan dukungan grant dari Uni-Eropah (EU), untuk menyusun sebuah buku mengenai peranan teknologi penginderaan jauh dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dalam pemantauan dinamika laut Indonesia.
Buku berjudul “Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia” membahas secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia.
Isi buku yang kaya informasi iptek kelautan di Indonesia dan ditulis dengan gaya popular, tapi tetap dalam koridor saintifik ini diharapkan dapat
menjangkau khalayak pembaca yang luas. Kepada Tim Editor, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini.
Sebagai penutup saya berharap kehadiran buku ini di tengah gencarnya
pembangunan kelautan, serta mengingat masih langkanya ketersediaan
informasi tentang hal ini di tanah air, maka kehadiran buku ini merupakan
angin segar yang patut kita syukuri, dengan harapan kiranya dapat bermanfaat
bagi masyarakat luas, khususnya para peneliti, kalangan perguruan tinggi,
masyarakat pengguna informasi penginderaan jauh kelautan dan pihak-pihak
yang terkait dalam pengelolaan potensi sumberdaya lautan.
Semoga keahlian dan teknologi pengelolaan sumberdaya alam kelautan dapat
dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif pada masa depan.
Jakarta, Mei 2006
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Prof. Ir. Said D. Jenie, Sc. D.
KEPALA BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
KATA SAMBUTAN
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu dengan senantiasa memperhatikan dan menjaga kelestariannya. Permasalahan sumberdaya alam kelautan menempati posisi yang cukup sentral dalam memberikan kontribusi pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam laut terpendam potensi keanekaragaman hayati laut, potensi sumberdaya non-hayati, potensi jasa kelautan, serta potensi lingkungan laut yang luar biasa besarnya. Ini berarti bahwa kelautan kita yang begitu besar itu, apabila bisa dikonversikan menjadi asset ekonomi yang nyata dapat menjadi sumber devisa negara yang menonjol dan mampu mencerdaskan masyarakat.
Untuk dapat mengelola sumberdaya alam kelautan secara baik, sebagaimana diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, maka ada salah satu faktor penting yang tidak dapat diabaikan, bahkan amat diperlukan, yakni teknologi. Dalam kaitan ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) secara umum, dan Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) secara khusus, dapat memainkan peranan yang berarti. Oleh karena itu saya menyambut gembira ketika mengetahui berkembangnya inisiatif dan upaya staf Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) dalam kerangka Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project), dimana BPPT bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dengan European Space Agency (ESA), ENEA Italy dengan dukungan grant dari Uni-Eropah (EU), untuk menyusun sebuah buku mengenai peranan teknologi penginderaan jauh dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dalam pemantauan dinamika laut Indonesia.
Buku berjudul “Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia” membahas secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia.
Isi buku yang kaya informasi iptek kelautan di Indonesia dan ditulis dengan gaya popular, tapi tetap dalam koridor saintifik ini diharapkan dapat
menjangkau khalayak pembaca yang luas. Kepada Tim Editor, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini.
Sebagai penutup saya berharap kehadiran buku ini di tengah gencarnya
pembangunan kelautan, serta mengingat masih langkanya ketersediaan
informasi tentang hal ini di tanah air, maka kehadiran buku ini merupakan
angin segar yang patut kita syukuri, dengan harapan kiranya dapat bermanfaat
bagi masyarakat luas, khususnya para peneliti, kalangan perguruan tinggi,
masyarakat pengguna informasi penginderaan jauh kelautan dan pihak-pihak
yang terkait dalam pengelolaan potensi sumberdaya lautan.
Semoga keahlian dan teknologi pengelolaan sumberdaya alam kelautan dapat
dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif pada masa depan.
Jakarta, Mei 2006
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Prof. Ir. Said D. Jenie, Sc. D.
DEPUTI KEPALA BIDANG TEKNOLOGI PENGEMBANGAN
SUMBERDAYA ALAM, BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN
TEKNOLOGI
KATA SAMBUTAN
Permasalahan sumberdaya alam kelautan, khususnya di dalam pemantauan
dinamika laut Indonesia menempati posisi yang cukup penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam
lautan yang baik diperlukan metode dengan pendekatan multidisiplin yang
meliputi berbagai aspek, seperti aspek pemanfaatan sumberdaya, kelestarian
lingkungan dan aspek sosial ekonomi masyarakat.
Orientasi pembangunan Bangsa Indonesia ke depan yang berbasis pada
sumberdaya kelautan merupakan suatu keharusan mengingat (i) Indonesia
memiliki sumberdaya laut yang besar, (ii) Indonesia memiliki daya saing yang
tinggi di bidang kelautan, (iii) Industri di bidang kelautan dan perikanan
memiliki keterkaitan yang kuat dengan industri industri lainnya. Hal ini sesuai
dengan kebijakan strategis yang dibuat Kementerian Negara Riset dan
Teknologi telah menempatkan pembangunan kelautan sebagai salah satu
program unggulan. Sumberdaya iptek Nasional diarahkan untuk mendukung
program tersebut.
Untuk melaksanakan hal tersebut diatas, peran teknologi di dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan merupakan salah satu faktor penting yang tidak dapat
diabaikan, bahkan amat diperlukan. Dalam kaitan ini, Kedeputian Teknologi
Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) secara cermat membina unit-unit nya
dalam hal ini Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) agar
dapat memainkan peranan yang berarti di dalam mengembangkan dan
mengaplikasikan teknologi penginderaan jauh untuk kelautan. Berbagai bentuk
kegiatan, seperti seminar, ceramah, pameran, dan penerbitan buku. Salah satu
kegiatan tersebut yang dapat dipandang strategis,karena memiliki dampak
dalam jangka panjang.
Oleh karena itu saya menyambut dengan sangat gembira usaha segenap staf
peneliti Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) yang telah
berhasil menyusun dan menerbitkan buku berjudul “Riset dan Teknologi
Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Buku ini merupakan salah satu produk
dari proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project) dimana BPPT
bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP), European Space Agency (ESA), ENEA dan IMC Italy dengan
dukungan grant dari Uni-Eropah (European Union).
Melalui buku ini saya sangat berharap, masyarakat luas dapat lebih mengetahui
dan memahami kemampuan-kemampuan yang dimiliki P-TISDA khususnya,
serta Kedeputian TPSA umumnya, dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di
Indonesia. Hal ini tercermin dari Isi buku yang kaya informasi iptek kelautan di
Indonesia
Akhir kata, saya memberikan penghargaan yang tinggi Kepada Tim P-TISDA atas
usaha di dalam menerbitkan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat
dalam memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya kelautan di Indonesia.
Terima kasih.
Jakarta, Mei 2006
Deputi Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya AlamBadan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS.
DEPUTI KEPALA BIDANG TEKNOLOGI PENGEMBANGAN
SUMBERDAYA ALAM, BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN
TEKNOLOGI
KATA SAMBUTAN
Permasalahan sumberdaya alam kelautan, khususnya di dalam pemantauan
dinamika laut Indonesia menempati posisi yang cukup penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam
lautan yang baik diperlukan metode dengan pendekatan multidisiplin yang
meliputi berbagai aspek, seperti aspek pemanfaatan sumberdaya, kelestarian
lingkungan dan aspek sosial ekonomi masyarakat.
Orientasi pembangunan Bangsa Indonesia ke depan yang berbasis pada
sumberdaya kelautan merupakan suatu keharusan mengingat (i) Indonesia
memiliki sumberdaya laut yang besar, (ii) Indonesia memiliki daya saing yang
tinggi di bidang kelautan, (iii) Industri di bidang kelautan dan perikanan
memiliki keterkaitan yang kuat dengan industri industri lainnya. Hal ini sesuai
dengan kebijakan strategis yang dibuat Kementerian Negara Riset dan
Teknologi telah menempatkan pembangunan kelautan sebagai salah satu
program unggulan. Sumberdaya iptek Nasional diarahkan untuk mendukung
program tersebut.
Untuk melaksanakan hal tersebut diatas, peran teknologi di dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan merupakan salah satu faktor penting yang tidak dapat
diabaikan, bahkan amat diperlukan. Dalam kaitan ini, Kedeputian Teknologi
Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) secara cermat membina unit-unit nya
dalam hal ini Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) agar
dapat memainkan peranan yang berarti di dalam mengembangkan dan
mengaplikasikan teknologi penginderaan jauh untuk kelautan. Berbagai bentuk
kegiatan, seperti seminar, ceramah, pameran, dan penerbitan buku. Salah satu
kegiatan tersebut yang dapat dipandang strategis,karena memiliki dampak
dalam jangka panjang.
Oleh karena itu saya menyambut dengan sangat gembira usaha segenap staf
peneliti Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) yang telah
berhasil menyusun dan menerbitkan buku berjudul “Riset dan Teknologi
Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Buku ini merupakan salah satu produk
dari proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project) dimana BPPT
bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP), European Space Agency (ESA), ENEA dan IMC Italy dengan
dukungan grant dari Uni-Eropah (European Union).
Melalui buku ini saya sangat berharap, masyarakat luas dapat lebih mengetahui
dan memahami kemampuan-kemampuan yang dimiliki P-TISDA khususnya,
serta Kedeputian TPSA umumnya, dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di
Indonesia. Hal ini tercermin dari Isi buku yang kaya informasi iptek kelautan di
Indonesia
Akhir kata, saya memberikan penghargaan yang tinggi Kepada Tim P-TISDA atas
usaha di dalam menerbitkan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat
dalam memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya kelautan di Indonesia.
Terima kasih.
Jakarta, Mei 2006
Deputi Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya AlamBadan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS.
DIREKTUR PUSAT TEKNOLOGI INVENTARISASI
SUMBERDAYA ALAM
KATA SAMBUTAN
Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya
kelautan yang sangat besar, para peneliti di bidang teknologi kelautan sudah
seharusnya bergerak secara cepat untuk melakukan kajian-kajian untuk
selanjutnya di implementasikan dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan
sumberdaya kelautan kita, yang akhirnya mampu memberi kesejahteraan
bangsa dan negara Indonesia.
Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) merupakan suatu
Unit dibawah Kedeputian Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT dengan
dukungan 3 (tiga) Bidang, yaitu: Bidang Teknologi Karakterisasi Sumberdaya
Alam, Bidang Teknologi Pemodelan Sistem Sumberdaya Alam, dan Bidang
Teknologi Akuntansi SDA. Dalam melaksanakan kegiatannya, P-TISDA didukung
oleh 6 (enam) Kompetensi Inti (KI), yaitu: KI Remote Sensing, KI GIS, KI
Teknologi Kelautan, KI Teknologi Iklim, KI Survei Terrestrial, dan KI Valuasi SDA.
Berbekal kompetensi dalam bidang teknologi remote sensing untuk aplikasi
kelautan, P-TISDA telah melakukan berbagai kegiatan riset bidang kelautan
bekerjasama dengan institusi/universitas di dalam negeri maupun dengan luar
negeri. Salah satu bentuk kerjasama kegiatan riset kelautan yang dilakukan P-
TISDA adalah berpartisipasi dalam Proyek Indonesia Ocean Observing System
(INDOO Project). Proyek INDOO merupakan kegiatan riset kelautan dan
pembiayaannya melalui grant dari Uni-Eropah (European Union). BRKP sebagai
koordinator kegiatan ini bekerjasama dengan BPPT, European Space Agency
(ESA), IMC dan ENEA Italy.
Dalam rangka promosi kemampuan teknologi kelautan yang dimiliki Indonesia
saat ini kepada masyarakat luas, para peneliti P-TISDA BPPT mengambil
inisiatif untuk menerbitkan buku yang diberi judul ”Riset dan Teknologi
Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Rangkaian kata-kata tajuk tersebut
bukannya tanpa makna sama sekali.
Buku ini memuat secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut
Indonesia yang dimulai dengan paparan sejarah riset oseanografi dilanjutkan
dengan karakteristik umum serta dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi
dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem
pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu
kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa
Indonesia.
Sebagai catatan akhir, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih atas kerja
keras dari Tim Editor P-TISDA hingga diterbitkannya buku ini. Terima kasih juga
kami sampaikan kepada Tim peneliti dari Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK)
Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) yang merupakan mitra kerjasama
di dalam Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO).
Semoga buku ini memberikan manfaat kepada berbagai kalangan, khususnya
para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi
penginderaan jauh dan pihak pihak yang terkait dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan, dan memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya
kelautan di Indonesia.
Jakarta, Mei 2006
Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam
Dr. Ir. Yusuf S. Djajadihardja, MSc.
DIREKTUR PUSAT TEKNOLOGI INVENTARISASI
SUMBERDAYA ALAM
KATA SAMBUTAN
Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya
kelautan yang sangat besar, para peneliti di bidang teknologi kelautan sudah
seharusnya bergerak secara cepat untuk melakukan kajian-kajian untuk
selanjutnya di implementasikan dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan
sumberdaya kelautan kita, yang akhirnya mampu memberi kesejahteraan
bangsa dan negara Indonesia.
Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) merupakan suatu
Unit dibawah Kedeputian Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT dengan
dukungan 3 (tiga) Bidang, yaitu: Bidang Teknologi Karakterisasi Sumberdaya
Alam, Bidang Teknologi Pemodelan Sistem Sumberdaya Alam, dan Bidang
Teknologi Akuntansi SDA. Dalam melaksanakan kegiatannya, P-TISDA didukung
oleh 6 (enam) Kompetensi Inti (KI), yaitu: KI Remote Sensing, KI GIS, KI
Teknologi Kelautan, KI Teknologi Iklim, KI Survei Terrestrial, dan KI Valuasi SDA.
Berbekal kompetensi dalam bidang teknologi remote sensing untuk aplikasi
kelautan, P-TISDA telah melakukan berbagai kegiatan riset bidang kelautan
bekerjasama dengan institusi/universitas di dalam negeri maupun dengan luar
negeri. Salah satu bentuk kerjasama kegiatan riset kelautan yang dilakukan P-
TISDA adalah berpartisipasi dalam Proyek Indonesia Ocean Observing System
(INDOO Project). Proyek INDOO merupakan kegiatan riset kelautan dan
pembiayaannya melalui grant dari Uni-Eropah (European Union). BRKP sebagai
koordinator kegiatan ini bekerjasama dengan BPPT, European Space Agency
(ESA), IMC dan ENEA Italy.
Dalam rangka promosi kemampuan teknologi kelautan yang dimiliki Indonesia
saat ini kepada masyarakat luas, para peneliti P-TISDA BPPT mengambil
inisiatif untuk menerbitkan buku yang diberi judul ”Riset dan Teknologi
Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Rangkaian kata-kata tajuk tersebut
bukannya tanpa makna sama sekali.
Buku ini memuat secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut
Indonesia yang dimulai dengan paparan sejarah riset oseanografi dilanjutkan
dengan karakteristik umum serta dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi
dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem
pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu
kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa
Indonesia.
Sebagai catatan akhir, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih atas kerja
keras dari Tim Editor P-TISDA hingga diterbitkannya buku ini. Terima kasih juga
kami sampaikan kepada Tim peneliti dari Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK)
Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) yang merupakan mitra kerjasama
di dalam Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO).
Semoga buku ini memberikan manfaat kepada berbagai kalangan, khususnya
para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi
penginderaan jauh dan pihak pihak yang terkait dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan, dan memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya
kelautan di Indonesia.
Jakarta, Mei 2006
Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam
Dr. Ir. Yusuf S. Djajadihardja, MSc.
DIREKTUR PUSAT RISET TEKNOLOGI KELAUTANBADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN
KATA SAMBUTAN
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya
alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya alam ini perlu
dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi
kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu dengan senantiasa memperhatikan dan
menjaga kelestariannya. Di dalam laut terpendam potensi keanekaragaman
hayati laut, potensi sumberdaya non hayati, potensi jasa kelautan, serta
potensi lingkungan laut yang luar biasa besarnya. Ini berarti bahwa kelautan
kita yang begitu besar itu, apabila bisa dikonversikan menjadi aset ekonomi
yang nyata dapat menjadi sumber devisa negara yang menonjol, mampu
mencerdaskan masyarakat.
Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK) merupakan suatu Unit dibawah Badan
Riset kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan,
dimana salah satu tugasnya adalah melakukan kajian teknologi kelautan untuk
mengetahui potensi kelautan di Indonesia. Untuk itu, PRTK melakukan
berbagai kegiatan di bidang kelautan dengan melakukan koordinasi dengan
institusi institusi terkait seperti BPPT. Untuk itu melalui Proyek Indonesia
Ocean Observing System (INDOO Project), PRTK bekerjasama dengan BPPT
(dalam hal ini P-TISDA) serta European Space Agency (ESA), IMC dan ENEA Italy.
Oleh karena itu, saya memberikan apresiasi kepada Tim P-TISDA BPPT yang
telah berinisiatif menerbitkan Buku berjudul “Riset dan Teknologi Pemantauan
Dinamika Laut Indonesia”. Buku ini kaya akan informasi iptek kelautan di
Indonesia yang membahas secara komprehensif tentang karakteristik dinamika
laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut
Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset
kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk
diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia.
Sebagai penutup saya berharap kehadiran buku ini di tengah gencarnya
pembangunan kelautan, serta mengingat masih langkanya ketersediaan
informasi tentang hal ini di tanah air, maka kehadiran buku ini merupakan
angin segar yang patut kita syukuri, dengan harapan kiranya dapat bermanfaat
bagi masyarakat luas.
Semoga buku ini memberikan manfaat kepada berbagai kalangan, khususnya
para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi
penginderaan jauh dan pihak pihak yang terkait dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan, dan memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya
kelautan di Indonesia.
Jakarta, Mei 2006
PUSAT RISET TEKNOLOGI KELAUTAN, BRKP
Dr. Farid Ma'ruf
DIREKTUR PUSAT RISET TEKNOLOGI KELAUTANBADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN
KATA SAMBUTAN
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya
alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya alam ini perlu
dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi
kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu dengan senantiasa memperhatikan dan
menjaga kelestariannya. Di dalam laut terpendam potensi keanekaragaman
hayati laut, potensi sumberdaya non hayati, potensi jasa kelautan, serta
potensi lingkungan laut yang luar biasa besarnya. Ini berarti bahwa kelautan
kita yang begitu besar itu, apabila bisa dikonversikan menjadi aset ekonomi
yang nyata dapat menjadi sumber devisa negara yang menonjol, mampu
mencerdaskan masyarakat.
Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK) merupakan suatu Unit dibawah Badan
Riset kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan,
dimana salah satu tugasnya adalah melakukan kajian teknologi kelautan untuk
mengetahui potensi kelautan di Indonesia. Untuk itu, PRTK melakukan
berbagai kegiatan di bidang kelautan dengan melakukan koordinasi dengan
institusi institusi terkait seperti BPPT. Untuk itu melalui Proyek Indonesia
Ocean Observing System (INDOO Project), PRTK bekerjasama dengan BPPT
(dalam hal ini P-TISDA) serta European Space Agency (ESA), IMC dan ENEA Italy.
Oleh karena itu, saya memberikan apresiasi kepada Tim P-TISDA BPPT yang
telah berinisiatif menerbitkan Buku berjudul “Riset dan Teknologi Pemantauan
Dinamika Laut Indonesia”. Buku ini kaya akan informasi iptek kelautan di
Indonesia yang membahas secara komprehensif tentang karakteristik dinamika
laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut
Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset
kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk
diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia.
Sebagai penutup saya berharap kehadiran buku ini di tengah gencarnya
pembangunan kelautan, serta mengingat masih langkanya ketersediaan
informasi tentang hal ini di tanah air, maka kehadiran buku ini merupakan
angin segar yang patut kita syukuri, dengan harapan kiranya dapat bermanfaat
bagi masyarakat luas.
Semoga buku ini memberikan manfaat kepada berbagai kalangan, khususnya
para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi
penginderaan jauh dan pihak pihak yang terkait dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan, dan memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya
kelautan di Indonesia.
Jakarta, Mei 2006
PUSAT RISET TEKNOLOGI KELAUTAN, BRKP
Dr. Farid Ma'ruf
Daftar Isi
KATA SAMBUTAN KEPALA BPPTKATA SAMBUTAN DEPUTI TPSA BPPTKATA SAMBUTAN DIREKTUR P-TISDAKATA SAMBUTAN KEPALA PUSRISTEKLA
DAFTAR ISI
BAB I KARAKTERISTIK DINAMIKA LAUT INDONESIA 11.1 Sejarah riset oseanografi 11.2 Karakteristik umum 5 1.3 Dinamika Laut Indonesia: Samudra Pasifik Barat, Arlindo,
Samudra Hindia Timur, Paparan 7
BAB II SATELIT OSEANOGRAFI DAN APLIKASINYA2.1 Sejarah Satelit Oseanografi 202.2 Metoda Penginderaan Jauh Kelautan 30
BAB III PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERIKANAN TANGKAP 47
BAB IV PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pemetaan KarakteristikPerairan 52
BAB V PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pemantauan Fenomena Lautdan Pesisir 57
BAB VI PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pengamatan PerubahanTutupan Lahan Laguna Segara Anakan 65
BAB VII PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pengamatan GelombangInternal 69
TIM PENULIS
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Perkasa, karena atas
perkenan-Nya juga, tim penulis berhasil menyelesaikan buku ”Riset Dan
Teknologi Kelautan Indonesia”. Karya tulis ini merupakan kerja bersama
peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam kegiatan
program INDOO (Indonesia Operational Ocean Observing System) yang
mendapatkan pendanaan dari Uni Eropa dan Badan Riset Kelautan dan
Perikanan (BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan.
Garis besar buku disusun sebagai berikut: Bab 1 menyajikan gambaran
karakteristik dinamika perairan Indonesia. Bab 2 memberikan gambaran
perkembangan satelit oseanografi. Aplikasi penginderaan jauh untuk perikanan
tangkap, pemetaan karakteristik perairan, pemantauan fenomena laut dan
pesisir, pengamatan perubahan tutupan lahan laguna segara Anakan, dan
pengamatan gelombang internal dipaparkan masing-masing pada Bab 3, 4, 5, 6
dan 7. Bab 8, 9, dan 10 memaparkan metoda numerik dinamika laut, model
spektral elemen hingga di Selat Makassar, dan model sebaran zat hara untuk
hidro-ekologi perairan teluk. Bab 11 memuat konsep pengembangan sistem
pemantauan dinamika laut Indonesia. Bab 12 memberikan contoh pengelolaan
riset terpadu dalam kegiatan survei PotRets Nipah.
Besar harapan kami, buku ini dapat memberikan wawasan riset dan
pemanfaatan teknologi kelautan di Indonesia, khususnya dapat menjadi acuan
untuk pengembangan sistem pemantauan kondisi biofisik perairan Indonesia
yang bermanfaat untuk semua pelayaran antar pulau maupun lintas kepulauan
Indonesia, aktivitas olahraga air, industri perikanan budidaya dan lain
sebagainya.
Tidak lupa kami sampaikan ucapan terimakasih kepada pimpinan di kedeputian
Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA), BPPT, khususnya direktur
Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Dr. Ir. Yusuf Surachman
Djadjadiharja MSc. dan kepala Pusat Riset Teknologi Kelautan, BRKP-DKP, Dr. Ir.
W. Farid Ma'ruf MSc., atas semua dukungan sehingga buku ini dapat
diterbitkan.
Jakarta, 15 Mei 2006
Tim Penulis
Daftar Isi
KATA SAMBUTAN KEPALA BPPTKATA SAMBUTAN DEPUTI TPSA BPPTKATA SAMBUTAN DIREKTUR P-TISDAKATA SAMBUTAN KEPALA PUSRISTEKLA
DAFTAR ISI
BAB I KARAKTERISTIK DINAMIKA LAUT INDONESIA 11.1 Sejarah riset oseanografi 11.2 Karakteristik umum 5 1.3 Dinamika Laut Indonesia: Samudra Pasifik Barat, Arlindo,
Samudra Hindia Timur, Paparan 7
BAB II SATELIT OSEANOGRAFI DAN APLIKASINYA2.1 Sejarah Satelit Oseanografi 202.2 Metoda Penginderaan Jauh Kelautan 30
BAB III PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERIKANAN TANGKAP 47
BAB IV PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pemetaan KarakteristikPerairan 52
BAB V PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pemantauan Fenomena Lautdan Pesisir 57
BAB VI PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pengamatan PerubahanTutupan Lahan Laguna Segara Anakan 65
BAB VII PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pengamatan GelombangInternal 69
TIM PENULIS
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Perkasa, karena atas
perkenan-Nya juga, tim penulis berhasil menyelesaikan buku ”Riset Dan
Teknologi Kelautan Indonesia”. Karya tulis ini merupakan kerja bersama
peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam kegiatan
program INDOO (Indonesia Operational Ocean Observing System) yang
mendapatkan pendanaan dari Uni Eropa dan Badan Riset Kelautan dan
Perikanan (BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan.
Garis besar buku disusun sebagai berikut: Bab 1 menyajikan gambaran
karakteristik dinamika perairan Indonesia. Bab 2 memberikan gambaran
perkembangan satelit oseanografi. Aplikasi penginderaan jauh untuk perikanan
tangkap, pemetaan karakteristik perairan, pemantauan fenomena laut dan
pesisir, pengamatan perubahan tutupan lahan laguna segara Anakan, dan
pengamatan gelombang internal dipaparkan masing-masing pada Bab 3, 4, 5, 6
dan 7. Bab 8, 9, dan 10 memaparkan metoda numerik dinamika laut, model
spektral elemen hingga di Selat Makassar, dan model sebaran zat hara untuk
hidro-ekologi perairan teluk. Bab 11 memuat konsep pengembangan sistem
pemantauan dinamika laut Indonesia. Bab 12 memberikan contoh pengelolaan
riset terpadu dalam kegiatan survei PotRets Nipah.
Besar harapan kami, buku ini dapat memberikan wawasan riset dan
pemanfaatan teknologi kelautan di Indonesia, khususnya dapat menjadi acuan
untuk pengembangan sistem pemantauan kondisi biofisik perairan Indonesia
yang bermanfaat untuk semua pelayaran antar pulau maupun lintas kepulauan
Indonesia, aktivitas olahraga air, industri perikanan budidaya dan lain
sebagainya.
Tidak lupa kami sampaikan ucapan terimakasih kepada pimpinan di kedeputian
Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA), BPPT, khususnya direktur
Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Dr. Ir. Yusuf Surachman
Djadjadiharja MSc. dan kepala Pusat Riset Teknologi Kelautan, BRKP-DKP, Dr. Ir.
W. Farid Ma'ruf MSc., atas semua dukungan sehingga buku ini dapat
diterbitkan.
Jakarta, 15 Mei 2006
Tim Penulis
BAB VIII Metoda Numerik DINAMIKA LAUT 75
BAB IX MODEL Spektral Elemen Hingga Di Selat Makassar 78
BAB X MODEL Sebaran Zat Hara Untuk Hidro-Ekologi Perairan Teluk 80
BAB XI PENGEMBANGAN SISTEM PEMANTAUAN DINAMIKA LAUTINDONESIA 85
BAB XII RISET KELAUTAN TERPADU: PotRets NIPAH 97
LampiranA. Sebaran konsentrasi klorofil-a 1998-2005 110B. Pola kekeruhan perairan 2003 118C. Dokumentasi kegiatan INDOO 2005 119D. Informasi alamat penulis 125
BAB IKarakteristik Dinamika Laut IndonesiaA. Sulaiman dan F. Syamsudin
1.1 SEJARAH RISET OSEANOGRAFISejarah riset kelautan di Indonesia menurut Parwono dkk (2005) dapat dibagi
dalam 3 perioda sebagai berikut:1. Masa sebelum jaman penjajahan Belanda (sejak awal catatan sejarah
Indonesia sampai dengan awal kehadiran Belanda di tanah air).2. Masa Penjajahan Belanda (sejak awal abad ke-17 sampai dengan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945).3. Masa setelah Kemerdekaan Indonesia
Masa sebelum jaman penjajahan Belanda(sejak awal catatan sejarah Indonesia sampai dengan awal kehadiran Belanda
di tanah air).Masa sebelum jaman penjajahan Belanda mempunyai dua jaman gemilang,
yaitu masa antara tahun 863 sampai dengan 1225 sebelum masehi, ketika
armada kerajaan laut Sriwijaya menguasai Sumatra dan seluruh wilayah bagian
barat Indonesia seperti yang kita kenal saat ini. Adapun masa gemilang kedua
antara tahun 1293 sampai dengan 1389 di bawah kekuasaan kerajaan
Majapahit. Pariwono (1986) membuat postulat bahwa sejak kedua jaman
gemilang tersebut, Indonesia telah memiliki ahli oseanografi handal untuk
keperluan praktis perang seperti mengetahui sifat angin, pasang surut laut dan
lain sebagainya. Hal itu bisa dilihat pada beberapa relief tentang perahu dan
armadanya yang terdapat pada candi Borobudur misalnya. Pengetahuan
Oseanografi praktis pada saat itu telah membuat kerajaan maritim seperti
Sriwijaya dan kerajaan besar Majapahit mampu menguasai sebagian besar
wilayah Indonesia pada waktu yang sangat panjang sebelum hegemoni
kekuasaan mereka dilumpuhkan dengan kedatangan para pelaut ulung dengan
teknologi yang lebih modern dari Eropa (Portugis dan Belanda).
Masa Penjajahan Belanda(sejak awal abad ke-17 sampai dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945).Penelitian Oseanografi pada jaman kolonial memiliki sejarah yang sangat
berarti pada perkembangan penelitian kelautan di Indonesia pada saat ini.
Penelitian pada periode kolonial dimulai pada tahun 1768, ketika ekspedisi
kelautan Boudeuse and Etoile digelar Perancis di perairan Indonesia.
Selanjutnya sekitar 38 ekspedisi kelautan lainnya dengan melibatkan 10 negara
(Austria, Inggris, Denmark, Belanda, Prancis, Jerman, Itali, Jepang, Rusia, dan
Amerika) telah digelar di perairan Indonesia dalam kurun waktu 173 tahun
(Pariwono, 1986, dan Aken, 2005).
Penelitian oseanografi yang dilakukan mencakup:1) Pengetahuan karakteristik massa air (van Riel, 1932, 1934, dan 1938), 2) Kondisi hidrografi perairan Indonesia (Tydeman, 1903; van der Stok, 1922;
Schott, 1935), 3) Arus yang dipicu oleh angin di Laut Jawa (Barlage, 1927), dan4) Iklim yang berhubungan dengan wilayah penelitian tersebut (Braak,
1921).
Perlu juga dicatat disini bahwa Riel (1932) adalah orang pertama yang
menyatakan transport arus di perairan Indonesia mengarah ke samudera Hindia
dengan menggunakan data pada ekspedisi Snellius pertama. Ekspedisi Snellius
ini juga berhasil memberikan informasi kondisi batimetri perairan timur
Indonesia (van Riehl, 1934; Kuenen, 1935).
Beberapa jejak penting penelitian kelautan pada periode kolonial ini adalah
didirikannya Pasar Ikan di Jakarta yang menjadi laboratorium kelautan
pertama di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Banyak
hasil riset monumental dihasilkan pada laboratorium riset ini, diantaranya
adalah publikasi buku Atlas Ichthyologique dalam 6 volume sejak tahun 1819
sampai dengan 1878. Publikasi lainnya adalah The Fishes of the Indonesian
Archipelago oleh Weber dan de Beaufort (1911, 1913, 1916, 1922, 1929, 1931).
Pada masa ini juga terbit jurnal ilmiah pertama di Indonesia berjudul:
Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch indie (Nontji, 2005).
Penelitian oseanografi di Indonesia sudah dimulai sejak kedantangan VOC ke
tanah air. Bermula pada tahun 1598 pedagang VOC Willem Lodeijckz membuat
suatu catatan yang cukup lengkap tentang ikan dan mamalia laut di Indonesia.
Setelah itu seorang agen VOC kelahiran Jerman Georg Everhard Rumpf (1627-
1702) yang tinggal di Ambon meneliti secara otodidak kerang, crustacean,
mineral, tumbuhan dan binatang. Risetnya yang kebanyakan dalam bidang
organisme laut dipublikasikan tahun 1705 dengan judul D'Amboinsche
Rariteitkamer. Pada jaman VOC penelitian berjalan lambat karena dianggap
tidak menguntungkan. Sejalan dengan semakin lemahnya VOC dan pemerintah
Belanda semakin kuat mencengkeram kakinya di Bumi Nusantara maka
perlahan tapi pasti penelitian oseanografi mulai berjalan. Pada akhir abab 17
dan awal abad 18 dimana Inggris berkuasa beberapa pelayaran oseanografi
dilakukan. Louis Antoines De Bouganville dengan kapal Boudeuse dan Etoile
malakukan pelayaran di Indonesia timur tahun 1768. Disususl oleh James Cook
dengan kapal Endeavour tahun 1770. Diantara tahun 1793 sampai tahun 1840
1Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
2Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB IKarakteristik Dinamika Laut IndonesiaA. Sulaiman dan F. Syamsudin
1.1 SEJARAH RISET OSEANOGRAFISejarah riset kelautan di Indonesia menurut Parwono dkk (2005) dapat dibagi
dalam 3 perioda sebagai berikut:1. Masa sebelum jaman penjajahan Belanda (sejak awal catatan sejarah
Indonesia sampai dengan awal kehadiran Belanda di tanah air).2. Masa Penjajahan Belanda (sejak awal abad ke-17 sampai dengan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945).3. Masa setelah Kemerdekaan Indonesia
Masa sebelum jaman penjajahan Belanda(sejak awal catatan sejarah Indonesia sampai dengan awal kehadiran Belanda
di tanah air).Masa sebelum jaman penjajahan Belanda mempunyai dua jaman gemilang,
yaitu masa antara tahun 863 sampai dengan 1225 sebelum masehi, ketika
armada kerajaan laut Sriwijaya menguasai Sumatra dan seluruh wilayah bagian
barat Indonesia seperti yang kita kenal saat ini. Adapun masa gemilang kedua
antara tahun 1293 sampai dengan 1389 di bawah kekuasaan kerajaan
Majapahit. Pariwono (1986) membuat postulat bahwa sejak kedua jaman
gemilang tersebut, Indonesia telah memiliki ahli oseanografi handal untuk
keperluan praktis perang seperti mengetahui sifat angin, pasang surut laut dan
lain sebagainya. Hal itu bisa dilihat pada beberapa relief tentang perahu dan
armadanya yang terdapat pada candi Borobudur misalnya. Pengetahuan
Oseanografi praktis pada saat itu telah membuat kerajaan maritim seperti
Sriwijaya dan kerajaan besar Majapahit mampu menguasai sebagian besar
wilayah Indonesia pada waktu yang sangat panjang sebelum hegemoni
kekuasaan mereka dilumpuhkan dengan kedatangan para pelaut ulung dengan
teknologi yang lebih modern dari Eropa (Portugis dan Belanda).
Masa Penjajahan Belanda(sejak awal abad ke-17 sampai dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945).Penelitian Oseanografi pada jaman kolonial memiliki sejarah yang sangat
berarti pada perkembangan penelitian kelautan di Indonesia pada saat ini.
Penelitian pada periode kolonial dimulai pada tahun 1768, ketika ekspedisi
kelautan Boudeuse and Etoile digelar Perancis di perairan Indonesia.
Selanjutnya sekitar 38 ekspedisi kelautan lainnya dengan melibatkan 10 negara
(Austria, Inggris, Denmark, Belanda, Prancis, Jerman, Itali, Jepang, Rusia, dan
Amerika) telah digelar di perairan Indonesia dalam kurun waktu 173 tahun
(Pariwono, 1986, dan Aken, 2005).
Penelitian oseanografi yang dilakukan mencakup:1) Pengetahuan karakteristik massa air (van Riel, 1932, 1934, dan 1938), 2) Kondisi hidrografi perairan Indonesia (Tydeman, 1903; van der Stok, 1922;
Schott, 1935), 3) Arus yang dipicu oleh angin di Laut Jawa (Barlage, 1927), dan4) Iklim yang berhubungan dengan wilayah penelitian tersebut (Braak,
1921).
Perlu juga dicatat disini bahwa Riel (1932) adalah orang pertama yang
menyatakan transport arus di perairan Indonesia mengarah ke samudera Hindia
dengan menggunakan data pada ekspedisi Snellius pertama. Ekspedisi Snellius
ini juga berhasil memberikan informasi kondisi batimetri perairan timur
Indonesia (van Riehl, 1934; Kuenen, 1935).
Beberapa jejak penting penelitian kelautan pada periode kolonial ini adalah
didirikannya Pasar Ikan di Jakarta yang menjadi laboratorium kelautan
pertama di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Banyak
hasil riset monumental dihasilkan pada laboratorium riset ini, diantaranya
adalah publikasi buku Atlas Ichthyologique dalam 6 volume sejak tahun 1819
sampai dengan 1878. Publikasi lainnya adalah The Fishes of the Indonesian
Archipelago oleh Weber dan de Beaufort (1911, 1913, 1916, 1922, 1929, 1931).
Pada masa ini juga terbit jurnal ilmiah pertama di Indonesia berjudul:
Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch indie (Nontji, 2005).
Penelitian oseanografi di Indonesia sudah dimulai sejak kedantangan VOC ke
tanah air. Bermula pada tahun 1598 pedagang VOC Willem Lodeijckz membuat
suatu catatan yang cukup lengkap tentang ikan dan mamalia laut di Indonesia.
Setelah itu seorang agen VOC kelahiran Jerman Georg Everhard Rumpf (1627-
1702) yang tinggal di Ambon meneliti secara otodidak kerang, crustacean,
mineral, tumbuhan dan binatang. Risetnya yang kebanyakan dalam bidang
organisme laut dipublikasikan tahun 1705 dengan judul D'Amboinsche
Rariteitkamer. Pada jaman VOC penelitian berjalan lambat karena dianggap
tidak menguntungkan. Sejalan dengan semakin lemahnya VOC dan pemerintah
Belanda semakin kuat mencengkeram kakinya di Bumi Nusantara maka
perlahan tapi pasti penelitian oseanografi mulai berjalan. Pada akhir abab 17
dan awal abad 18 dimana Inggris berkuasa beberapa pelayaran oseanografi
dilakukan. Louis Antoines De Bouganville dengan kapal Boudeuse dan Etoile
malakukan pelayaran di Indonesia timur tahun 1768. Disususl oleh James Cook
dengan kapal Endeavour tahun 1770. Diantara tahun 1793 sampai tahun 1840
1Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
2Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
justru peneliti dari Prancis mendominasi. Pada tahun 1858 mulailah era
penelitian laut dalam. Diawali dengan kapal Cachelot yang diketuai oleh
Seidenburg (Belanda) melakukan pengambilan sample sampai kedalaman
4900m di laut Banda. Pada tahun 1875 HMS Challenger yang dikomandoi
Wyville Thomson (Inggris) melakukan pengukuran di laut banda sampai
kedlaman 500m. Mereka menemukan temperature dasar sekitar 3.3ºC dan
mereka mengindikasikan adanya air laut dari kutub masuk ke laut Banda. Kapal
Gazelle yang dikomandoi Von Schleinitz dari Jerman mengobservasi
temperature sekitar 2.9ºC dan 3.3ºC pada kedalaman 3700m dan 4300m.
Penelitian komprehensif pertama kalai dilakukan dalam suatu ekspedisi yang
dinamakan ekspedisi Siboga. Ekspedisi ini diketuai oleh professor Max Weber
yang mempunyai latar belakang ahli zoology di universitas Amsterdam. Pada
bula Mei 1898 Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia membangun kapal
riset Siboga yang dimodifikasi dari kapal Perang. Sebagai kapten kapal
dipegang oleh LetKol G.F Tydeman. Meskipun tentara Tyderman sangat tertarik
pada ilmu pengetahuan. Tyderman pernah bekerja di observatory di universitas
Leiden. Pada akhir kariernya Tyderman mengajar Astronomi dan Navigasi di
Akademi Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Kapal Siboga mempunyai panjang
50.6m, dua propeller dan mesin uap 1400 hp .Peralatan berat oseanografi
seperti winche di pasang di tempat bekas meriam. Dalam ekspedisinya Siboga
membawa beberapa thermometer untuk mengukur arus permukaan dan bawah
permukaan, botol sampling dan peralatan kimia untuk menentukan konsentrasi
DO dan lain sebagainya. Disamping itu beberapa peralatan seperti plankton
net, trawl dan vertical nets di bawa untuk menangkap plankton dan organisme
lainnya. Istri Weber, Anne Weber-van Bosse ahli alga dan plankton ikut serta
dan membawahi devisi flora laut. Dia adalah wanita pertama yang ikut dalam
riset oseanografi. Akibat penelitiannya dari ekspedisi Siboga ini Anne Weber
mendapatkan gelar Doktor dari universitas Utrecht. Sayang sekalai dalam
ekspedisi ini tak ada ahli oesenografi fisika dan kimia. Pada saat itu tak ada
ahli yang mengkususkan diri pada bidang fisika oseanografi. Ekspedisi Siboga
mendapatkan 323 titik sampling termasuk stasiun dekat karang dan pantai.
Ekspedisi berakhir pada 27 februari 1900 di pelabuhan Surabaya. Hasil dari
ekspedisi ini di publikasikan dalam bentuk monograf antara tahun 1901 sampai
1982. Hasil yang menarik adalah prediksi Tyderman tentang adanya sirkulasi
arus dari pasifik masuk ke laut Banda dan akhirnya ke lautan Hindia. Hasil ini
tak pernah di publikasikan oleh Tyderman, hanya diberikan di kuliahnya. Tapi
20 tahun kemudian karya ini dipublikasikan. Pada tahun 1925 seorang
hydrografer belanda LetKol Luymes mengusulkan kepada himpunan Geografi
Kerajaan untuk melakukan penelitian dasar laut (deep basin) Indonesia.
Ekpedisi ini memgkususkan diri dalam bidang fisika oseanografi dan geologi
laut. Luymes memprogandakan ekspedisi ini sebagai perhatian pemerintah
belanda terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di Negara tropis. Kenyataanya
ilmuwan dari Polyteknik Bandung (sekarang ITB) tak dilibatkan. Inilah watak
asli orang Belanda. Profesor Max Weber dan Laksamana Tyderman duduk
sebagai komite. Ekspedisi ini dinamakan Snellius diketuai oleh van Riel dimulai
pada bulan Maret 1929. Dalam ekspedisinya Snellius membawa dua
echosounder, coring (40-210cm), botol nansen dan thermometer. Dua teknisi
dari Indonesia Kartodiharjo dan Erie ikut serta membantu sampling geologi dan
biologi. Selama ekspedisi Snellius mempunyai 374 titik sampling dan 500 botol
sample. Hasil dari Snellius berupa 23 volume report dan 35 papwer di jurnal
internasional. Pada tahun 1978 masih terdapat paper yang menggunakan data
Snellius.
Masa setelah Kemerdekaan IndonesiaRiset kelautan pada perioda ini dimulai oleh Hardenberg dan Soeriaatmadja
yang mengumpulkan sampel data suhu dan salinitas bulanan yang diperoleh
dari kapal dagang kerajaan Hindia Belanda pada awal dekade tahun 1950-1960.
Data mereka juga menjadi acuan Wyrtki (1957, 1961) yang melakukan studi
sebaran rata-rata salinitas di permukaan pada perairan Indonesia dan
sekitarnya.
Riset kelautan di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat besar ketika
untuk pertama kalinya Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI mendapatkan kapal
riset, KR Samudera pada tahun 1950, kemudian bertambah lagi dengan kapal
yang lebih besar KR Jalanidhi pada tahun 1961. Dengan kedua kapal ini,
Indonesia berpartisipasi dalam penelitian Internasional Indian Ocean
Expedition (Wyrtki, K., 1971). Jumlah ekspedisi yang telah dilakukan dalam
kurun waktu singkat tersebut jumlahnya hampir 2x ekspedisi kelautan yang
dilakukan selama perioda kolonial dalam rentang waktu panjang 173 tahun.
Karya tulis ilmiah yang dihasilkan pada era itu (antara tahun 1950-1960)
tercatat ada 3 buah penelitian yang dinilai penting. Penelitian tentang salinitas
utara pantai Jawa dan Arus Pantai Selatan Jawa oleh Soeriaatmadja (1956,
1957). Kedua artikel tersebut adalah karya tulis oseanografi pertama oleh
putra Indonesia. Karya lainnya adalah tentang fisika oseanografi perairan
Indonesia yang ditulis Wyrtki (1961). Karya tulis tersebut mengenalkan apa
yang kita ketahui saat ini sebagai sistem arus lintas Indonesia.
Riset kelautan pada perioda tahun 1960 sampai dengan 1980 lebih fokus pada
proses fisik aspek lokal dan dikaitkan dengan bidang perikanan dengan
memanfaatkan kedua kapal riset LIPI tersebut. Thema umum penelitian adalah
menentukand aerah upwelling di perairan Indonesia: Selat Makassar (Illahude,
1970, 1978); Selatan Bali (Illahude, 1975; Nontji dan Illahude, 1975); Laut
Banda, Maluku, Halmahera dan Seram (Birowo dan Illahude, 1977); Selat Sunda
3Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
4Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
justru peneliti dari Prancis mendominasi. Pada tahun 1858 mulailah era
penelitian laut dalam. Diawali dengan kapal Cachelot yang diketuai oleh
Seidenburg (Belanda) melakukan pengambilan sample sampai kedalaman
4900m di laut Banda. Pada tahun 1875 HMS Challenger yang dikomandoi
Wyville Thomson (Inggris) melakukan pengukuran di laut banda sampai
kedlaman 500m. Mereka menemukan temperature dasar sekitar 3.3ºC dan
mereka mengindikasikan adanya air laut dari kutub masuk ke laut Banda. Kapal
Gazelle yang dikomandoi Von Schleinitz dari Jerman mengobservasi
temperature sekitar 2.9ºC dan 3.3ºC pada kedalaman 3700m dan 4300m.
Penelitian komprehensif pertama kalai dilakukan dalam suatu ekspedisi yang
dinamakan ekspedisi Siboga. Ekspedisi ini diketuai oleh professor Max Weber
yang mempunyai latar belakang ahli zoology di universitas Amsterdam. Pada
bula Mei 1898 Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia membangun kapal
riset Siboga yang dimodifikasi dari kapal Perang. Sebagai kapten kapal
dipegang oleh LetKol G.F Tydeman. Meskipun tentara Tyderman sangat tertarik
pada ilmu pengetahuan. Tyderman pernah bekerja di observatory di universitas
Leiden. Pada akhir kariernya Tyderman mengajar Astronomi dan Navigasi di
Akademi Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Kapal Siboga mempunyai panjang
50.6m, dua propeller dan mesin uap 1400 hp .Peralatan berat oseanografi
seperti winche di pasang di tempat bekas meriam. Dalam ekspedisinya Siboga
membawa beberapa thermometer untuk mengukur arus permukaan dan bawah
permukaan, botol sampling dan peralatan kimia untuk menentukan konsentrasi
DO dan lain sebagainya. Disamping itu beberapa peralatan seperti plankton
net, trawl dan vertical nets di bawa untuk menangkap plankton dan organisme
lainnya. Istri Weber, Anne Weber-van Bosse ahli alga dan plankton ikut serta
dan membawahi devisi flora laut. Dia adalah wanita pertama yang ikut dalam
riset oseanografi. Akibat penelitiannya dari ekspedisi Siboga ini Anne Weber
mendapatkan gelar Doktor dari universitas Utrecht. Sayang sekalai dalam
ekspedisi ini tak ada ahli oesenografi fisika dan kimia. Pada saat itu tak ada
ahli yang mengkususkan diri pada bidang fisika oseanografi. Ekspedisi Siboga
mendapatkan 323 titik sampling termasuk stasiun dekat karang dan pantai.
Ekspedisi berakhir pada 27 februari 1900 di pelabuhan Surabaya. Hasil dari
ekspedisi ini di publikasikan dalam bentuk monograf antara tahun 1901 sampai
1982. Hasil yang menarik adalah prediksi Tyderman tentang adanya sirkulasi
arus dari pasifik masuk ke laut Banda dan akhirnya ke lautan Hindia. Hasil ini
tak pernah di publikasikan oleh Tyderman, hanya diberikan di kuliahnya. Tapi
20 tahun kemudian karya ini dipublikasikan. Pada tahun 1925 seorang
hydrografer belanda LetKol Luymes mengusulkan kepada himpunan Geografi
Kerajaan untuk melakukan penelitian dasar laut (deep basin) Indonesia.
Ekpedisi ini memgkususkan diri dalam bidang fisika oseanografi dan geologi
laut. Luymes memprogandakan ekspedisi ini sebagai perhatian pemerintah
belanda terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di Negara tropis. Kenyataanya
ilmuwan dari Polyteknik Bandung (sekarang ITB) tak dilibatkan. Inilah watak
asli orang Belanda. Profesor Max Weber dan Laksamana Tyderman duduk
sebagai komite. Ekspedisi ini dinamakan Snellius diketuai oleh van Riel dimulai
pada bulan Maret 1929. Dalam ekspedisinya Snellius membawa dua
echosounder, coring (40-210cm), botol nansen dan thermometer. Dua teknisi
dari Indonesia Kartodiharjo dan Erie ikut serta membantu sampling geologi dan
biologi. Selama ekspedisi Snellius mempunyai 374 titik sampling dan 500 botol
sample. Hasil dari Snellius berupa 23 volume report dan 35 papwer di jurnal
internasional. Pada tahun 1978 masih terdapat paper yang menggunakan data
Snellius.
Masa setelah Kemerdekaan IndonesiaRiset kelautan pada perioda ini dimulai oleh Hardenberg dan Soeriaatmadja
yang mengumpulkan sampel data suhu dan salinitas bulanan yang diperoleh
dari kapal dagang kerajaan Hindia Belanda pada awal dekade tahun 1950-1960.
Data mereka juga menjadi acuan Wyrtki (1957, 1961) yang melakukan studi
sebaran rata-rata salinitas di permukaan pada perairan Indonesia dan
sekitarnya.
Riset kelautan di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat besar ketika
untuk pertama kalinya Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI mendapatkan kapal
riset, KR Samudera pada tahun 1950, kemudian bertambah lagi dengan kapal
yang lebih besar KR Jalanidhi pada tahun 1961. Dengan kedua kapal ini,
Indonesia berpartisipasi dalam penelitian Internasional Indian Ocean
Expedition (Wyrtki, K., 1971). Jumlah ekspedisi yang telah dilakukan dalam
kurun waktu singkat tersebut jumlahnya hampir 2x ekspedisi kelautan yang
dilakukan selama perioda kolonial dalam rentang waktu panjang 173 tahun.
Karya tulis ilmiah yang dihasilkan pada era itu (antara tahun 1950-1960)
tercatat ada 3 buah penelitian yang dinilai penting. Penelitian tentang salinitas
utara pantai Jawa dan Arus Pantai Selatan Jawa oleh Soeriaatmadja (1956,
1957). Kedua artikel tersebut adalah karya tulis oseanografi pertama oleh
putra Indonesia. Karya lainnya adalah tentang fisika oseanografi perairan
Indonesia yang ditulis Wyrtki (1961). Karya tulis tersebut mengenalkan apa
yang kita ketahui saat ini sebagai sistem arus lintas Indonesia.
Riset kelautan pada perioda tahun 1960 sampai dengan 1980 lebih fokus pada
proses fisik aspek lokal dan dikaitkan dengan bidang perikanan dengan
memanfaatkan kedua kapal riset LIPI tersebut. Thema umum penelitian adalah
menentukand aerah upwelling di perairan Indonesia: Selat Makassar (Illahude,
1970, 1978); Selatan Bali (Illahude, 1975; Nontji dan Illahude, 1975); Laut
Banda, Maluku, Halmahera dan Seram (Birowo dan Illahude, 1977); Selat Sunda
3Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
4Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
(Illahude dan Ermaitis, 1992); Laut Arafura (Illahude dkk, 1990); dan sepanjang
selatan Jawa sampai Sumbawa (Illahude, 1992).Memasuki tahun 1980 hingga menutup abad ke-20 riset kelautan di Indonesia
sangat intensif dilakukan. Hal itu terutama karena minat peneliti dunia pada
sistem arus yang kita kenal sebagai Arlindo (Arus Lintas Indonesia) memiliki
kaitan yang sangat penting dalam konteks studi perubahan iklim dunia. Pada
masa tersebut paling tidak ada 4 program internasional yang telah dilakukan di
perairan Indonesia.1. Kerjasama riset keluatan antara Indonesia yang diwakili BPPT (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan Prancis dalam program JADE
(Java-Australia Dynamic Experiment) dari tahun 1985 sampai dengan
1995. Tujuan program JADE ini adalah mengukur transport arlindo dan
variabilitasnya pada pintu keluar di perairan antara Jawa dan Australia
(Fieux dkk., 1994, 1996).2. Kerjasama riset kelautan antar negara ASEAN dan Australia pada program
ROD (Regional Oceanographic Dynamic) Current Meter Experiment dari
tahun 1993 sampai dengan 1995 (Cresswell and Wells, 1998).3. Kerjasama riset kelautan antara Indonesia (BPPT) dan Amerika yang
diwakili Universitas Columbia dan Universitas California at San Diego
dalam program Arlindo dari tahun 1991 sampai dengan 1998. Studi
program Arlindo mencakup pemahaman pada proses mixing, stratifikasi
dan variabilitas arlindo pada beberapa selat penting Makassar, Lombok,
dan Ombai.
Memasuki abad ke-21 ini, pemahaman laut Indonesia sudah semakin maju,
meskipun pengetahuan tentang variabilitas transport Arlindo itu sendiri masih
menjadi pertanyaan besar saat ini. Untuk itulah, melalui kolaborasi 5 negara
(Indonesia, Amerika, Prancis, Belanda, dan Australia) kerjasama riset kelautan
memantau arlindo pada semua selat penting yang dilaluinya telah dilakukan
sejak tahun 2004 dan direncanakan berakhir pada tahun 2007 dengan program
yang disebut INSTANT (Internasional Nusatara Stratification and Transport).
Kerjasama riset ini melibatkan BPPT, BRKP, LIPI, LDEO Universitas Columbia,
SIO-UCSD, LODYC Prancis, NIOZ Belanda, dan CSIRO Australia.
1.2 KARAKTERISTIK UMUMSirkulasi arus laut di kepulauan Indonesia di pengaruhi oleh dua samudra. Beda
tekanan diantara mereka akan memberikan gaya pengerak sirkulasi arus di
perairan Indonesia. Gaya pengerak lain yang cukup dominan adalah monsoon.
Pada musim timur (boreal summer) (Juli-September) angin bergerak dari benua
Australia ke benua Asia sedangkan pada musim barat (boreal winter) (Januari-
Maret) angin bergerak dari benua Asia ke benua Australia. Pada musim timur
suhu muka laut lebih panas di sebelah utara dan berkebalikan jika musim
barat.
Sirkulasi arus di daerah paparan bergerak dari laut Cina selatan, masuk ke laut
Jawa melalui selat Karimata kemudian bergerak ke timur sampai ke laut Flores
dan akhirnya ke laut Banda. Sirkulasi arus ini sangat dipengaruhi oleh
monsoon. Arus di laut antara pulau Sumatra dan pulau Kalimantan selalau
berarah utara-selatan, sedangkan di laut Jawa berarah timur-barat. Sistem
laut ini merupakan sistem laut tertutup sehingga angin monsoon yang
berhembus tak dapat menimbulkan swell karena fetch tak terbentuk. Musim
transisi terjadi pada bulan April dimana arus bergerak dari laut Cina Selatan
masuk ke laut Jawa dengan kecepatan sekitar 0.5 m/s. Sesampainya di laut
Flores, arus ini bertemu dengan arus dari selat Makasar. Di pantai selatan Jawa
arus yang berasal dari pantai Sumatra bergerak ke timur dengan kecepatan
0.75 m/s. Arus ini akan bertemu dengan arus lintas yang muncul di selat
Lombok dan selat Ombai.
Pada bulan Agustus (musim timur) arus bergerak dari timur ke barat yaitu
mulai dari laut Flores ke laut Cina Selatan. Kecepatan arus permukaan sekitar
0.5-0.7 m/s. Pada bulan ini angin monsoon yang bertiup dari benua Australia
ke benua Asia akan mengenerasi arus yang bergerak sepanjang pantai selatan
jawa sampai ke pantai barat Sumatra. Beberapa peneliti menyebutkan arus ini
akan mengenerasi Up welling sepanjang pantai selatan Jawa (Susanto,D et al
2002).
Pada musim transisi ke dua yaitu sekitar bulan Oktober, dimana angin monsoon
mulai melemah, di laut Jawa terdapat dua sistem arus yaitu di pantai selatan
Kalimantan arus bergerak ke barat, sedangkan di pantai utara Jawa arus
bergerak ke timur. Di pantai timur Sumatra arus bergerak ke selatan sedangka
di pantai barat Kalimantan arus bergerak ke utara. Dimusim barat dimana agin
monsoon bergerak dari benua Asia ke benua Australia, akan mengenerasi arus
permukaan yang bergerak dari laut Cina Selatan masuk ke laut Jawa dan
akhirnya ke laut Flores dengan kecepatan rata-rata sekitar 0.7 m/s.
Tingginya curah hujan dan banyaknya aliran sungai menyebabkan massa air di
lautan bagian dalam kepulauan Indonesia mempunyai salinitas permukaan yang
rendah yaitu dibawah 34 ‰. Salinitas permukaan tinggi hanya ada di perairan
Indonesia bagian timur yaitu di laut Banda dan laut Arafura. Di laut Jawa
sampai Sumatra salinitas besar pada bulan Juli-Agustus dan rendah pada bulan
Maret-April.
Pasang surut laut umumnya terdiri dari tipe diurnal dan campuran. Di wilayah
bagian barat umumnya bertipe diurnal sedangkan di laut Jawa umumnya
bertipe campuran cenderung diurnal kecuali di beberapa pantai di Jawa Timur
bertipe diurnal. Di perairan wilayah timur umumnya bertipe campuran
cenderung semi-diurnal.
5Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
6Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
(Illahude dan Ermaitis, 1992); Laut Arafura (Illahude dkk, 1990); dan sepanjang
selatan Jawa sampai Sumbawa (Illahude, 1992).Memasuki tahun 1980 hingga menutup abad ke-20 riset kelautan di Indonesia
sangat intensif dilakukan. Hal itu terutama karena minat peneliti dunia pada
sistem arus yang kita kenal sebagai Arlindo (Arus Lintas Indonesia) memiliki
kaitan yang sangat penting dalam konteks studi perubahan iklim dunia. Pada
masa tersebut paling tidak ada 4 program internasional yang telah dilakukan di
perairan Indonesia.1. Kerjasama riset keluatan antara Indonesia yang diwakili BPPT (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan Prancis dalam program JADE
(Java-Australia Dynamic Experiment) dari tahun 1985 sampai dengan
1995. Tujuan program JADE ini adalah mengukur transport arlindo dan
variabilitasnya pada pintu keluar di perairan antara Jawa dan Australia
(Fieux dkk., 1994, 1996).2. Kerjasama riset kelautan antar negara ASEAN dan Australia pada program
ROD (Regional Oceanographic Dynamic) Current Meter Experiment dari
tahun 1993 sampai dengan 1995 (Cresswell and Wells, 1998).3. Kerjasama riset kelautan antara Indonesia (BPPT) dan Amerika yang
diwakili Universitas Columbia dan Universitas California at San Diego
dalam program Arlindo dari tahun 1991 sampai dengan 1998. Studi
program Arlindo mencakup pemahaman pada proses mixing, stratifikasi
dan variabilitas arlindo pada beberapa selat penting Makassar, Lombok,
dan Ombai.
Memasuki abad ke-21 ini, pemahaman laut Indonesia sudah semakin maju,
meskipun pengetahuan tentang variabilitas transport Arlindo itu sendiri masih
menjadi pertanyaan besar saat ini. Untuk itulah, melalui kolaborasi 5 negara
(Indonesia, Amerika, Prancis, Belanda, dan Australia) kerjasama riset kelautan
memantau arlindo pada semua selat penting yang dilaluinya telah dilakukan
sejak tahun 2004 dan direncanakan berakhir pada tahun 2007 dengan program
yang disebut INSTANT (Internasional Nusatara Stratification and Transport).
Kerjasama riset ini melibatkan BPPT, BRKP, LIPI, LDEO Universitas Columbia,
SIO-UCSD, LODYC Prancis, NIOZ Belanda, dan CSIRO Australia.
1.2 KARAKTERISTIK UMUMSirkulasi arus laut di kepulauan Indonesia di pengaruhi oleh dua samudra. Beda
tekanan diantara mereka akan memberikan gaya pengerak sirkulasi arus di
perairan Indonesia. Gaya pengerak lain yang cukup dominan adalah monsoon.
Pada musim timur (boreal summer) (Juli-September) angin bergerak dari benua
Australia ke benua Asia sedangkan pada musim barat (boreal winter) (Januari-
Maret) angin bergerak dari benua Asia ke benua Australia. Pada musim timur
suhu muka laut lebih panas di sebelah utara dan berkebalikan jika musim
barat.
Sirkulasi arus di daerah paparan bergerak dari laut Cina selatan, masuk ke laut
Jawa melalui selat Karimata kemudian bergerak ke timur sampai ke laut Flores
dan akhirnya ke laut Banda. Sirkulasi arus ini sangat dipengaruhi oleh
monsoon. Arus di laut antara pulau Sumatra dan pulau Kalimantan selalau
berarah utara-selatan, sedangkan di laut Jawa berarah timur-barat. Sistem
laut ini merupakan sistem laut tertutup sehingga angin monsoon yang
berhembus tak dapat menimbulkan swell karena fetch tak terbentuk. Musim
transisi terjadi pada bulan April dimana arus bergerak dari laut Cina Selatan
masuk ke laut Jawa dengan kecepatan sekitar 0.5 m/s. Sesampainya di laut
Flores, arus ini bertemu dengan arus dari selat Makasar. Di pantai selatan Jawa
arus yang berasal dari pantai Sumatra bergerak ke timur dengan kecepatan
0.75 m/s. Arus ini akan bertemu dengan arus lintas yang muncul di selat
Lombok dan selat Ombai.
Pada bulan Agustus (musim timur) arus bergerak dari timur ke barat yaitu
mulai dari laut Flores ke laut Cina Selatan. Kecepatan arus permukaan sekitar
0.5-0.7 m/s. Pada bulan ini angin monsoon yang bertiup dari benua Australia
ke benua Asia akan mengenerasi arus yang bergerak sepanjang pantai selatan
jawa sampai ke pantai barat Sumatra. Beberapa peneliti menyebutkan arus ini
akan mengenerasi Up welling sepanjang pantai selatan Jawa (Susanto,D et al
2002).
Pada musim transisi ke dua yaitu sekitar bulan Oktober, dimana angin monsoon
mulai melemah, di laut Jawa terdapat dua sistem arus yaitu di pantai selatan
Kalimantan arus bergerak ke barat, sedangkan di pantai utara Jawa arus
bergerak ke timur. Di pantai timur Sumatra arus bergerak ke selatan sedangka
di pantai barat Kalimantan arus bergerak ke utara. Dimusim barat dimana agin
monsoon bergerak dari benua Asia ke benua Australia, akan mengenerasi arus
permukaan yang bergerak dari laut Cina Selatan masuk ke laut Jawa dan
akhirnya ke laut Flores dengan kecepatan rata-rata sekitar 0.7 m/s.
Tingginya curah hujan dan banyaknya aliran sungai menyebabkan massa air di
lautan bagian dalam kepulauan Indonesia mempunyai salinitas permukaan yang
rendah yaitu dibawah 34 ‰. Salinitas permukaan tinggi hanya ada di perairan
Indonesia bagian timur yaitu di laut Banda dan laut Arafura. Di laut Jawa
sampai Sumatra salinitas besar pada bulan Juli-Agustus dan rendah pada bulan
Maret-April.
Pasang surut laut umumnya terdiri dari tipe diurnal dan campuran. Di wilayah
bagian barat umumnya bertipe diurnal sedangkan di laut Jawa umumnya
bertipe campuran cenderung diurnal kecuali di beberapa pantai di Jawa Timur
bertipe diurnal. Di perairan wilayah timur umumnya bertipe campuran
cenderung semi-diurnal.
5Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
6Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
1.3 DINAMIKA LAUT INDONESIADiatas telah diuraikan bahwa dinamika laut perairan Indonesia dapat di
golongkan dalam empat daerah kajian. Pertama adalah dinamika laut samudra
Pasifik Barat. Kedua dinamika laut arus lintas Indonesia (Arlindo). Ketiga
dinamika arus samudra India Timur dan ke empat adalah dinamika laut
paparan. Kita akan membahasnya satu persatu.
1.3.1 Dinamika Laut Samudra Pasifik BaratSistem sirkulasi arus di Pasifik Barat dinamakan sistem sirkulasi arus batas
barat lintang rendah Pasifik (The Pacific low latitude western boundary
currents/LLWBCs). Didunia ini ada tiga buah lautan yang mempunyai sistem
sirkulasi arus LLWBCs yaitu lautan Pasifik, lautan Atlantik dan lautan India. Dari
ketiga lautan tersebut hanya LLBWCs di lautan Pasifik yang mempunyai
dinamika paling kompleks. Ada dua factor utama yang menyebabkan dinamika
arus di LLBWCs ini kompleks. Faktor pertama adalah angin (merupakan gaya
pengerak utama arus) mempunyai variabilitas yang tinggi karena pengaruh
monsoon. Faktor yang lain adalah daerah batasnya berupa kepulauan sehingga
akan menyusun kondisi batas yang tak teratur. Bandingkan dengan lautan
Atlantik dengan kondisi angin yang umumnya tunak serta batasnya berupa
benua afrika dan amerika. Skematik dari LLWBCs di lautan Pasifik dan arus
lintas Indonesia dapat dinyatakan dalam gambar berikut:
Gambar 1.1 Diagram skematik the Pacific low latitude western boundary currents (LLBWCs)dan arus lintas Indonesia (Arlindo). (Sumber: Lukas, R., dkk, 1996).
Sumber utama massa air yang menopang sistem sirkulasi arus LLWBCs adalah
arus pasifik selatan/South Equatorial Currents (SEC) dan arus pasifik
utara/North Equatorial Currents (NEC) (Lukas et al 1996). Di belahan bumi
utara arus pasifik utara (NEC) yang bergerak ke barat pada lintang 14 N akan
memecah menjadi dua, arus yang satu bergerak ke utara dan yang lain ke
selatan. Arus yang ke utara menjadi arus Kuroshiwo yang bergerak ke perairan
Jepang dan yang bergerak ke selatan menjadi arus Mindanao.
Dibelahan Bumi bagian selatan arus ekuator selatan (SEC) yang bergerak
kebarat akan membelah di sekitar 15 S yang satu bergerak sepanjang Great
Barrier Reef dan akan menjadi Great Barrier Reef Undercurrents (GBRUC) dan
kemudian mengalir ke sepanjang pantai Papua New Guenia menjadi The New
Guinea Coastal Undercurrents (NGCUC). Massa air yang mengalir ke selatan
menjadi arus Australia timur /East Australia Currents (EAC). Dilapisan
termokline massa air dari NGCUC mengalir ke timur menjadi Equatorial
Undercurrents (EUC), sebagian menjadi North Equatorial Countercurrents
(NECC), sebagian lagi menjadi North Subsurface Counter Currents (NSCC) dan
sebagian menjadi arus lintas Indonesia yang diduga masuk melalui laut
Halmahera. Massa air dari SEC juga masuk ke kepulauan Indonesia melalui
selat Torres terus ke laut Arafura. Arus Mindanao bergerak ke selatan sebagian
masuk ke laut Sulawesi dan sebagian berinteraksi dengan arus ekuator selatan
(SEC). Akibat interaksi ini terjadi defleksi arus ke selatan menjadi North
Equatorial Counter Currents yang tak stabil. Akibat defleksi ini juga memicu
timbulnya Mindanau Eddy.
Arus Mindanao yang masuk ke laut Sulawesi sebagian masuk ke selat Makasar
dan sebagian dibelokkan ke timur sepanjang pantai utara Sulawesi dan
akhirnya masuk ke laut Halmahera. Interaksi arus ini dengan arus the New
Guinea Coastal Currents (NGCC) yang bergerak sepanjang pantai Papua New
Guinea akan menimbulkan adanya Halmahera Eddy. Kedua eddy ini dibatasi
oleh the North Equatorial Countercurrents (NECC). North Pacific Intermediate
Water (NPIW) dan Antarctic Intermediate Water (AAIW) juga terobsevasi di laut
Sulawesi dan Laut Halmahera (Kashino, Y., dkk, 1996).
Massa air laut Pasifik utara dan massa air dari pasifik selatan mempunyai sifat
yang berbeda dan mudah dibedakan dari salinitasnya atau profil oxigennya.
Massa air Pasifik utara mempunyai salinitas maksimum 34.75 pada 100 meter
dan massa air Pasifik selatan mempunyai salinitas maksimum 35.41
º
º
‰
‰ pada 150
meter. Profil oksigen dari massa air Pasifik utara mempunyai curva yang
menurun dari permukaan ke dalam dengan minimum disekitar 10 C, sedangkan
massa air Pasifik selatan mempunyai profil oksigen yang cenderung konstan
antara 25ºC-10ºC (Ffield,A & A.L. Gordon 1992). Hasil analisi massa air yang
7Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
8Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
1.3 DINAMIKA LAUT INDONESIADiatas telah diuraikan bahwa dinamika laut perairan Indonesia dapat di
golongkan dalam empat daerah kajian. Pertama adalah dinamika laut samudra
Pasifik Barat. Kedua dinamika laut arus lintas Indonesia (Arlindo). Ketiga
dinamika arus samudra India Timur dan ke empat adalah dinamika laut
paparan. Kita akan membahasnya satu persatu.
1.3.1 Dinamika Laut Samudra Pasifik BaratSistem sirkulasi arus di Pasifik Barat dinamakan sistem sirkulasi arus batas
barat lintang rendah Pasifik (The Pacific low latitude western boundary
currents/LLWBCs). Didunia ini ada tiga buah lautan yang mempunyai sistem
sirkulasi arus LLWBCs yaitu lautan Pasifik, lautan Atlantik dan lautan India. Dari
ketiga lautan tersebut hanya LLBWCs di lautan Pasifik yang mempunyai
dinamika paling kompleks. Ada dua factor utama yang menyebabkan dinamika
arus di LLBWCs ini kompleks. Faktor pertama adalah angin (merupakan gaya
pengerak utama arus) mempunyai variabilitas yang tinggi karena pengaruh
monsoon. Faktor yang lain adalah daerah batasnya berupa kepulauan sehingga
akan menyusun kondisi batas yang tak teratur. Bandingkan dengan lautan
Atlantik dengan kondisi angin yang umumnya tunak serta batasnya berupa
benua afrika dan amerika. Skematik dari LLWBCs di lautan Pasifik dan arus
lintas Indonesia dapat dinyatakan dalam gambar berikut:
Gambar 1.1 Diagram skematik the Pacific low latitude western boundary currents (LLBWCs)dan arus lintas Indonesia (Arlindo). (Sumber: Lukas, R., dkk, 1996).
Sumber utama massa air yang menopang sistem sirkulasi arus LLWBCs adalah
arus pasifik selatan/South Equatorial Currents (SEC) dan arus pasifik
utara/North Equatorial Currents (NEC) (Lukas et al 1996). Di belahan bumi
utara arus pasifik utara (NEC) yang bergerak ke barat pada lintang 14 N akan
memecah menjadi dua, arus yang satu bergerak ke utara dan yang lain ke
selatan. Arus yang ke utara menjadi arus Kuroshiwo yang bergerak ke perairan
Jepang dan yang bergerak ke selatan menjadi arus Mindanao.
Dibelahan Bumi bagian selatan arus ekuator selatan (SEC) yang bergerak
kebarat akan membelah di sekitar 15 S yang satu bergerak sepanjang Great
Barrier Reef dan akan menjadi Great Barrier Reef Undercurrents (GBRUC) dan
kemudian mengalir ke sepanjang pantai Papua New Guenia menjadi The New
Guinea Coastal Undercurrents (NGCUC). Massa air yang mengalir ke selatan
menjadi arus Australia timur /East Australia Currents (EAC). Dilapisan
termokline massa air dari NGCUC mengalir ke timur menjadi Equatorial
Undercurrents (EUC), sebagian menjadi North Equatorial Countercurrents
(NECC), sebagian lagi menjadi North Subsurface Counter Currents (NSCC) dan
sebagian menjadi arus lintas Indonesia yang diduga masuk melalui laut
Halmahera. Massa air dari SEC juga masuk ke kepulauan Indonesia melalui
selat Torres terus ke laut Arafura. Arus Mindanao bergerak ke selatan sebagian
masuk ke laut Sulawesi dan sebagian berinteraksi dengan arus ekuator selatan
(SEC). Akibat interaksi ini terjadi defleksi arus ke selatan menjadi North
Equatorial Counter Currents yang tak stabil. Akibat defleksi ini juga memicu
timbulnya Mindanau Eddy.
Arus Mindanao yang masuk ke laut Sulawesi sebagian masuk ke selat Makasar
dan sebagian dibelokkan ke timur sepanjang pantai utara Sulawesi dan
akhirnya masuk ke laut Halmahera. Interaksi arus ini dengan arus the New
Guinea Coastal Currents (NGCC) yang bergerak sepanjang pantai Papua New
Guinea akan menimbulkan adanya Halmahera Eddy. Kedua eddy ini dibatasi
oleh the North Equatorial Countercurrents (NECC). North Pacific Intermediate
Water (NPIW) dan Antarctic Intermediate Water (AAIW) juga terobsevasi di laut
Sulawesi dan Laut Halmahera (Kashino, Y., dkk, 1996).
Massa air laut Pasifik utara dan massa air dari pasifik selatan mempunyai sifat
yang berbeda dan mudah dibedakan dari salinitasnya atau profil oxigennya.
Massa air Pasifik utara mempunyai salinitas maksimum 34.75 pada 100 meter
dan massa air Pasifik selatan mempunyai salinitas maksimum 35.41
º
º
‰
‰ pada 150
meter. Profil oksigen dari massa air Pasifik utara mempunyai curva yang
menurun dari permukaan ke dalam dengan minimum disekitar 10 C, sedangkan
massa air Pasifik selatan mempunyai profil oksigen yang cenderung konstan
antara 25ºC-10ºC (Ffield,A & A.L. Gordon 1992). Hasil analisi massa air yang
7Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
8Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
dinyatakan dalam TS diagram dan profil oksigen dari hasil observasi di perairan
Indonesia dapat dilihat dari gambar berikut:Hasil diatas menunjukkan bahwa massa air dari Pasifik masuk ke perairan
Indonesia. Masuknya massa air ini ke perairan Indonesia ini akan dikenal
dengan nama arus lintas Indonesia (Arlindo). Arus lintas ini ternyata
mempengaruhi dinamika atmosfer-laut skala global yang dikenal dengan El
Nino. Variasi tahunan dari suhu muka laut (SST) di lautan Pasifik (khususnya
Pasifik tengah dan Pasifik timur) mempunyai kaitan erat dengan anomali
atmosfer global. Pemanasan abnormal skala besar di samudra Pasifik ekuator
disebut El Nino.
Fenomena ini berkaitan erat dengan sistem osilasi global di atmosfer yang
dinamakan osilasi selatan, sehingga kedua fenomena tersebut merupakan
suatu kesatuan yang sering disebut dengan nama El Nino Southern Oscillation
Gambar 1.2 Analisis massa air di perairan Indonesia bagian timur NP(north pasific) danSP(south pacific) (sumber: Ffield, A. dan A. Gordon, 1992).
(ENSO). Selama masa El Nino, tekanan lebih rendah dari normal terobservasi di
Pasifik tropis sebelah timur dan tekanan lebih tinggi dari normal terobservasi
di Indonesia dan Australia utara. Pada periode ini di Indonesia terjadi
penurunan penguapan sehingga terjadi kekeringan. Siklus ENSO merupakan
flukstuasi skala besar dari temperatur laut, curah hujan, sirkulasi atmosfer,
gerakan vertikal dan gerakan sepanjang ekuator Pasifik. Selama periode El
Nino temperatur muka laut sekitar 2ºC-5ºC diatas normal dan lawan dari
kondisi diatas yang disebut La Nina, suhu muka laut sekitar 1ºC-4ºC dibawah
normal.
Hubungan antara El Nino dengan arus lintas diakibatkan kenyataan bahwa
hubungan dinamik antara samudra Pasifik dan samudra India dikontrol oleh
benua maritim Indonesia yang mempunyai topografi dan jaringan selat yang
kompleks. Dengan menggunakan simulasi global ocean general circulation
model (GOGCM) menunjukkan bahwa dengan adanya Arlindo maka pemanasan
suhu muka laut di Pasifik akan bergeser ke arah barat dibandingankan tanpa
kehadiran Arlindo. Lautan Pasifik juga akan lebih panas dan lautan India akan
lebih dingin jika Arlindo tidak hadir. Perubahan magnitude Arlindo akan
mempengaruhi pola suhu muka laut di Pasifik ekuator.
1.3.2 Dinamika Laut Arus Lintas IndonesiaDinamika arus lintas Indonesia ini sangat terpengaruh oleh musim dan
mempunyai variabilitas tinggi (Wyrtki, K., 1987). Selama musim tenggara arus
lintas ini menguat, dan selama musim barat arus lintas melemah. Pada lapisan
permukaan dinamika massa air arus lintas ini dipengaruhi oleh angin
permukaan. Selama musim tenggara massa air permukaan bergerak dari laut
Banda ke laut Flores, kemudian meneruskan perjalanan ke laut Jawa dan
akhirnya ke laut Cina selatan. Selama musim barat massa air bergerak dari laut
Jawa dan selat Malaka kemudian memotong laut Flores dan akhirnya masuk ke
laut Banda. Hasil observasi menunjukkan bahwa untuk lapisan atas, massa air
laut Banda berasal dari massa air lautan Pasifik utara (Gordon, A., dkk, 1994).
Massa air itu masuk ke arus lintas Indonesia melalui selat Makasar. Skematik
arus lintas Indonesia dapat dilihat pada gambar 1.3.
Massa air dari Pasifik Barat masuk ke perairan Indonesia melalui selat Makasar,
kemudian diteruskan ke laut Flores. Di laut ini arus memecah, sekitar 20%
masuk ke Selat Lombok dan diteruskan ke Samudra India dan sisinya masuk ke
Laut Banda. Dari laut Banda massa air keluar ke Samudra Indonesia melalui
laut Timor.
Selat Makasar merupakan lintasan utama dari pergerakan massa air di lautan
Pasifik ke lautan India. Sumber utama massa air yang masuk ke selat Makasar
adalah massa air dari Pasifik utara. Massa air ini akan bergerak dari laut
9Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
10Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
dinyatakan dalam TS diagram dan profil oksigen dari hasil observasi di perairan
Indonesia dapat dilihat dari gambar berikut:Hasil diatas menunjukkan bahwa massa air dari Pasifik masuk ke perairan
Indonesia. Masuknya massa air ini ke perairan Indonesia ini akan dikenal
dengan nama arus lintas Indonesia (Arlindo). Arus lintas ini ternyata
mempengaruhi dinamika atmosfer-laut skala global yang dikenal dengan El
Nino. Variasi tahunan dari suhu muka laut (SST) di lautan Pasifik (khususnya
Pasifik tengah dan Pasifik timur) mempunyai kaitan erat dengan anomali
atmosfer global. Pemanasan abnormal skala besar di samudra Pasifik ekuator
disebut El Nino.
Fenomena ini berkaitan erat dengan sistem osilasi global di atmosfer yang
dinamakan osilasi selatan, sehingga kedua fenomena tersebut merupakan
suatu kesatuan yang sering disebut dengan nama El Nino Southern Oscillation
Gambar 1.2 Analisis massa air di perairan Indonesia bagian timur NP(north pasific) danSP(south pacific) (sumber: Ffield, A. dan A. Gordon, 1992).
(ENSO). Selama masa El Nino, tekanan lebih rendah dari normal terobservasi di
Pasifik tropis sebelah timur dan tekanan lebih tinggi dari normal terobservasi
di Indonesia dan Australia utara. Pada periode ini di Indonesia terjadi
penurunan penguapan sehingga terjadi kekeringan. Siklus ENSO merupakan
flukstuasi skala besar dari temperatur laut, curah hujan, sirkulasi atmosfer,
gerakan vertikal dan gerakan sepanjang ekuator Pasifik. Selama periode El
Nino temperatur muka laut sekitar 2ºC-5ºC diatas normal dan lawan dari
kondisi diatas yang disebut La Nina, suhu muka laut sekitar 1ºC-4ºC dibawah
normal.
Hubungan antara El Nino dengan arus lintas diakibatkan kenyataan bahwa
hubungan dinamik antara samudra Pasifik dan samudra India dikontrol oleh
benua maritim Indonesia yang mempunyai topografi dan jaringan selat yang
kompleks. Dengan menggunakan simulasi global ocean general circulation
model (GOGCM) menunjukkan bahwa dengan adanya Arlindo maka pemanasan
suhu muka laut di Pasifik akan bergeser ke arah barat dibandingankan tanpa
kehadiran Arlindo. Lautan Pasifik juga akan lebih panas dan lautan India akan
lebih dingin jika Arlindo tidak hadir. Perubahan magnitude Arlindo akan
mempengaruhi pola suhu muka laut di Pasifik ekuator.
1.3.2 Dinamika Laut Arus Lintas IndonesiaDinamika arus lintas Indonesia ini sangat terpengaruh oleh musim dan
mempunyai variabilitas tinggi (Wyrtki, K., 1987). Selama musim tenggara arus
lintas ini menguat, dan selama musim barat arus lintas melemah. Pada lapisan
permukaan dinamika massa air arus lintas ini dipengaruhi oleh angin
permukaan. Selama musim tenggara massa air permukaan bergerak dari laut
Banda ke laut Flores, kemudian meneruskan perjalanan ke laut Jawa dan
akhirnya ke laut Cina selatan. Selama musim barat massa air bergerak dari laut
Jawa dan selat Malaka kemudian memotong laut Flores dan akhirnya masuk ke
laut Banda. Hasil observasi menunjukkan bahwa untuk lapisan atas, massa air
laut Banda berasal dari massa air lautan Pasifik utara (Gordon, A., dkk, 1994).
Massa air itu masuk ke arus lintas Indonesia melalui selat Makasar. Skematik
arus lintas Indonesia dapat dilihat pada gambar 1.3.
Massa air dari Pasifik Barat masuk ke perairan Indonesia melalui selat Makasar,
kemudian diteruskan ke laut Flores. Di laut ini arus memecah, sekitar 20%
masuk ke Selat Lombok dan diteruskan ke Samudra India dan sisinya masuk ke
Laut Banda. Dari laut Banda massa air keluar ke Samudra Indonesia melalui
laut Timor.
Selat Makasar merupakan lintasan utama dari pergerakan massa air di lautan
Pasifik ke lautan India. Sumber utama massa air yang masuk ke selat Makasar
adalah massa air dari Pasifik utara. Massa air ini akan bergerak dari laut
9Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
10Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 1.3 Skematik arus lintas Indonesia (www.ldeo.columbia.edu)
Sulawesi masuk ke selat Makasar sepanjang tahun (Wyrtki, K., 1966). Arus yang
kuat yang menuju ke selatan terdeteksi di lapisan intermediate (Waworuntu,
J., dkk,1999). Temperatur dasar dari selat Makasar umumnya konstant dan
hanya bervariasi sekitar 0.007ºC. Untuk memahami struktur termal di selat
Makasar di perlukan minimal sistem hidrodinamika tiga lapis (Waworuntu, J.,
dkk, 1999). Sedangkan massa air dari Pasifik selatan akan berinfiltrasi dari laut
Sulawesi masuk ke laut Banda melalui selat Lifamatola. Massa air ini adalah
massa air intermediate yaitu massa air dibawah temokline.
Gordon, A dan A. Field 1994 mengobservasi bahwa pada musim barat yaitu
pada bulan Desember di Laut Flores dan Laut Banda bagian barat mempunyai
salinitas maksimum di sekitar 110 dbar (20ºC) dan salinitas minimum disekitar
300dbar (10ºC) yang merupakan ciri dari massa air Pasifik utara sub tropik dan
massa air Pasifik utara intermediate. Salinitas permukaan lebih tawar dari
salinitas sub permukaan, hal ini diakibatkan sebagai konsekuensi tingginya
curah hujan dan adanya transport massa air tawar dari sungai. Salinitas
permukaan terendah terendah berada di Laut Flores bagian barat. Salinitas
permukaan sebesar 34.5‰ terobservasi di laut Flores sebelah timur dan laut
Banda terobservasi salinitas diatas 34.4‰ . Pada musim barat di lapisan
6 3permukaan mempunyai transport massa sebesar 6.3 Sv (1 Sv = 10 m /det)
yang berarah ke timur, sedangkan antara 300 sampai 1000dbar mempunyai
transport massa sebesar 3.5 Sv ke arah barat.
Pergerakan massa air dapat dilihat dari transport massa air yang dapat dihitung
dari data CTD. Transport geostropik di Laut Banda dapat dilihat pada gambar
berikut:Gordon, A dan A. Ffield mengemukakan gagasan bahwa tingginya salinitas di
laut Flores sebesar 34.4‰ -34.6‰ pada kedalaman 300 dbar sampai 1000 dbar
diakibatkan adanya massa air dari dari laut Banda dengan salinitas antara
34.5‰ -34.6‰ yang bergerak ke barat menuju laut Flores akan menabrak sill
(gundukan) di dekat selat Makasar sehingga massa air tadi dibelokkan kembali
ke laut Banda Massa air laut Banda di bawah termoklin yang mempunyai
salinitas tinggi diindikasikan berasal dari laut Pasifik selatan atau lautan India.
Massa air dari laut Pasifik selatan masuk ke arus lintas Indonesia melalui laut
Maluku dan laut Halmahera, sedangkan massa air dari laut India masuk ke arus
lintas melalui celah Alor-Wetar dan celah Timor.
Gambar 1.4 Transport geostropik laut Banda (sumber: Gordon, A dan A. Ffield, 1994)
11Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
12Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 1.3 Skematik arus lintas Indonesia (www.ldeo.columbia.edu)
Sulawesi masuk ke selat Makasar sepanjang tahun (Wyrtki, K., 1966). Arus yang
kuat yang menuju ke selatan terdeteksi di lapisan intermediate (Waworuntu,
J., dkk,1999). Temperatur dasar dari selat Makasar umumnya konstant dan
hanya bervariasi sekitar 0.007ºC. Untuk memahami struktur termal di selat
Makasar di perlukan minimal sistem hidrodinamika tiga lapis (Waworuntu, J.,
dkk, 1999). Sedangkan massa air dari Pasifik selatan akan berinfiltrasi dari laut
Sulawesi masuk ke laut Banda melalui selat Lifamatola. Massa air ini adalah
massa air intermediate yaitu massa air dibawah temokline.
Gordon, A dan A. Field 1994 mengobservasi bahwa pada musim barat yaitu
pada bulan Desember di Laut Flores dan Laut Banda bagian barat mempunyai
salinitas maksimum di sekitar 110 dbar (20ºC) dan salinitas minimum disekitar
300dbar (10ºC) yang merupakan ciri dari massa air Pasifik utara sub tropik dan
massa air Pasifik utara intermediate. Salinitas permukaan lebih tawar dari
salinitas sub permukaan, hal ini diakibatkan sebagai konsekuensi tingginya
curah hujan dan adanya transport massa air tawar dari sungai. Salinitas
permukaan terendah terendah berada di Laut Flores bagian barat. Salinitas
permukaan sebesar 34.5‰ terobservasi di laut Flores sebelah timur dan laut
Banda terobservasi salinitas diatas 34.4‰ . Pada musim barat di lapisan
6 3permukaan mempunyai transport massa sebesar 6.3 Sv (1 Sv = 10 m /det)
yang berarah ke timur, sedangkan antara 300 sampai 1000dbar mempunyai
transport massa sebesar 3.5 Sv ke arah barat.
Pergerakan massa air dapat dilihat dari transport massa air yang dapat dihitung
dari data CTD. Transport geostropik di Laut Banda dapat dilihat pada gambar
berikut:Gordon, A dan A. Ffield mengemukakan gagasan bahwa tingginya salinitas di
laut Flores sebesar 34.4‰ -34.6‰ pada kedalaman 300 dbar sampai 1000 dbar
diakibatkan adanya massa air dari dari laut Banda dengan salinitas antara
34.5‰ -34.6‰ yang bergerak ke barat menuju laut Flores akan menabrak sill
(gundukan) di dekat selat Makasar sehingga massa air tadi dibelokkan kembali
ke laut Banda Massa air laut Banda di bawah termoklin yang mempunyai
salinitas tinggi diindikasikan berasal dari laut Pasifik selatan atau lautan India.
Massa air dari laut Pasifik selatan masuk ke arus lintas Indonesia melalui laut
Maluku dan laut Halmahera, sedangkan massa air dari laut India masuk ke arus
lintas melalui celah Alor-Wetar dan celah Timor.
Gambar 1.4 Transport geostropik laut Banda (sumber: Gordon, A dan A. Ffield, 1994)
11Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
12Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Laut utama dari arus lintas adalah laut Banda dan di laut ini pada musim barat
mempunyai suhu muka laut rata-rata 4 C lebih panas daripada musim timur
(Ilahude, A.G dan A. Gordon, 1996). Di tengah laut Banda pada musim timur
mempunyai suhu muka laut antara 25.7ºC-26.1ºC dan di musim barat suhu
muka laut antara 29.6ºC-30.3ºC. Pada musim timur lapisan termokline lebih
dangkal sekitar 40m, hal ini mengindikasikan adanya proses upwelling di laut
Banda (Wyrtki, K 1961). Salinitas pada musim barat maupun musim timur
cenderung sama yaitu berkisar antara 34.1‰ - 34.4‰. Dibeberapa daerah di
sebelah selatan yang berdekatan dengan laut Timor mempunyai harga salinitas
sebesar 34.5‰.
Beberapa fenomena menarik tentang sirkulasi arus lintas adalah proses
pengadukan (mixing processes). SST (sea surface temperatur/temperatur muka
laut) bervariasi secara empat belas harian dan bulanan di perairan Indonesia
dan ini mengindikasikan adanya proses mixing yang digenerasi oleh pasang
surut (Ffield dan Gordon, 1996). Periode 14 harian secara kuat muncul di laut
Seram-Maluku dan laut Banda. Lebih lanjut Ffield dan Gordon
menghipotesakan bahwa proses mixing atau turbulen yang kuat digenerasi di
termoklin selama pasut kuat. Mereka menghitung bahwa dengan pendinginan
permukaan 0.2ºC dalam periode 14 hari mensyaratkan difusivitas diapiknal di
termoklin adalah:Dimana kedalaman lapisan permukaan D = 20 m dan temperatur dibawah
lapisan permukaan menurun secara linier pada T/z=0.06ºC/m. Difusivitas ini
berharga sepuluh kali lebih besar dibandingkan laut terbuka. A. Field dan A.
Gordon oceanographer dari LDEO Columbia University dan Hautala dkk dari
Universitas Washington menggunakan model adveksi-difusi untuk menghitung
sifat transport besaran skalar (salinitas, temperatur dan konsentrasi oksigen),
dan mereka menyimpulkan bahwa supaya perhitungan mereka cocok dengan
data di lapangan maka laut Banda harus mempunyai difusivitas diapiknal -4 2(difusivitas vertikal) 10 m /det. Hasil ini menunjukkan tingginya
difusivitas diapiknal yang harus terjadi di laut Banda. Sebagai perbandingan -6 2untuk rata-rata laut terbuka mempunyai difusivitas vertikal 10 m /det.
Sjoberg & Stigebrandt 1992 mengemukakan bahwa mixing yang kuat di
perairan Indonesia diakibatkan adanya topografi yang kompleks serta pasang
º
125105.5 smzT
tTD
surut yang kuat.
Hasil pengukuran mixing pada bulan September-Oktober 1998 di koordinat
(6.5ºS;128ºE) yang merupakan pusat dari laut Banda dengan Modular
Microstructure Profiler (MMP) yang mengukur parameter: potensial temperatur,
salinitas, potensial densitas, tekanan serta energi kinetik dissipation rate
menunjukkan hasil yang mengejutkan.Harga rata-rata kedalaman dibawah lapisan permukaan (20m z 300m)
-9untuk rate of dissipation = (9.57 0.34) x 10 W/kg dan difusivitas vertikal -6 2<>= (9.2 0.55) x 10 m2/det. Hasil juga menunjukkan bahwa ~N dan
0~N . Kondisi ini adalah tipikal turbulensi untuk laut terbuka. Pola deret
waktu dari rate of dissipation () menunjukan bahwa rate of dissipation
terkonsentrasi di daerah dengan stratifikasi maksimum yaitu daerah dengan
shear tinggi. Profil deret waktu dari kecepatan arus dan shear baik dalam arah
zonal maupun arah meridional menunjukkan suatu pola osilasi (dalam gambar
tampak berbentuk pita miring ke kanan). Pola osilasi ini timbul sebagai akibat
hadirnya suatu gelombang yang ada di badan air yang dikenal dengan nama
gelombang internal. Syarat untuk terjadinya gelombang internal adalah adanya
gradient densitas (Brunt-Vaisala frequency 0).
Umumnya mixing di laut dihasilkan oleh pecahnya gelombang internal.
Parameterisasi mixing dalam bentuk energi gelombang internal untuk laut
terbuka menunjukkan suatu fraksi kecil dari total yang diperlukan untuk
mempertahankan stratifikasi abisal (jurang). Sejauh ini diyakini pada umumnya
Gambar 1.4 a) Akusisi data MMP dari buritan kapal Baruna Jaya IV. (sumber foto: Jenifer ).b) Harga rata-rata dari dan K di Laut Banda pada saat pengamatan.
13Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
14Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Laut utama dari arus lintas adalah laut Banda dan di laut ini pada musim barat
mempunyai suhu muka laut rata-rata 4 C lebih panas daripada musim timur
(Ilahude, A.G dan A. Gordon, 1996). Di tengah laut Banda pada musim timur
mempunyai suhu muka laut antara 25.7ºC-26.1ºC dan di musim barat suhu
muka laut antara 29.6ºC-30.3ºC. Pada musim timur lapisan termokline lebih
dangkal sekitar 40m, hal ini mengindikasikan adanya proses upwelling di laut
Banda (Wyrtki, K 1961). Salinitas pada musim barat maupun musim timur
cenderung sama yaitu berkisar antara 34.1‰ - 34.4‰. Dibeberapa daerah di
sebelah selatan yang berdekatan dengan laut Timor mempunyai harga salinitas
sebesar 34.5‰.
Beberapa fenomena menarik tentang sirkulasi arus lintas adalah proses
pengadukan (mixing processes). SST (sea surface temperatur/temperatur muka
laut) bervariasi secara empat belas harian dan bulanan di perairan Indonesia
dan ini mengindikasikan adanya proses mixing yang digenerasi oleh pasang
surut (Ffield dan Gordon, 1996). Periode 14 harian secara kuat muncul di laut
Seram-Maluku dan laut Banda. Lebih lanjut Ffield dan Gordon
menghipotesakan bahwa proses mixing atau turbulen yang kuat digenerasi di
termoklin selama pasut kuat. Mereka menghitung bahwa dengan pendinginan
permukaan 0.2ºC dalam periode 14 hari mensyaratkan difusivitas diapiknal di
termoklin adalah:Dimana kedalaman lapisan permukaan D = 20 m dan temperatur dibawah
lapisan permukaan menurun secara linier pada T/z=0.06ºC/m. Difusivitas ini
berharga sepuluh kali lebih besar dibandingkan laut terbuka. A. Field dan A.
Gordon oceanographer dari LDEO Columbia University dan Hautala dkk dari
Universitas Washington menggunakan model adveksi-difusi untuk menghitung
sifat transport besaran skalar (salinitas, temperatur dan konsentrasi oksigen),
dan mereka menyimpulkan bahwa supaya perhitungan mereka cocok dengan
data di lapangan maka laut Banda harus mempunyai difusivitas diapiknal -4 2(difusivitas vertikal) 10 m /det. Hasil ini menunjukkan tingginya
difusivitas diapiknal yang harus terjadi di laut Banda. Sebagai perbandingan -6 2untuk rata-rata laut terbuka mempunyai difusivitas vertikal 10 m /det.
Sjoberg & Stigebrandt 1992 mengemukakan bahwa mixing yang kuat di
perairan Indonesia diakibatkan adanya topografi yang kompleks serta pasang
º
125105.5 smzT
tTD
surut yang kuat.
Hasil pengukuran mixing pada bulan September-Oktober 1998 di koordinat
(6.5ºS;128ºE) yang merupakan pusat dari laut Banda dengan Modular
Microstructure Profiler (MMP) yang mengukur parameter: potensial temperatur,
salinitas, potensial densitas, tekanan serta energi kinetik dissipation rate
menunjukkan hasil yang mengejutkan.Harga rata-rata kedalaman dibawah lapisan permukaan (20m z 300m)
-9untuk rate of dissipation = (9.57 0.34) x 10 W/kg dan difusivitas vertikal -6 2<>= (9.2 0.55) x 10 m2/det. Hasil juga menunjukkan bahwa ~N dan
0~N . Kondisi ini adalah tipikal turbulensi untuk laut terbuka. Pola deret
waktu dari rate of dissipation () menunjukan bahwa rate of dissipation
terkonsentrasi di daerah dengan stratifikasi maksimum yaitu daerah dengan
shear tinggi. Profil deret waktu dari kecepatan arus dan shear baik dalam arah
zonal maupun arah meridional menunjukkan suatu pola osilasi (dalam gambar
tampak berbentuk pita miring ke kanan). Pola osilasi ini timbul sebagai akibat
hadirnya suatu gelombang yang ada di badan air yang dikenal dengan nama
gelombang internal. Syarat untuk terjadinya gelombang internal adalah adanya
gradient densitas (Brunt-Vaisala frequency 0).
Umumnya mixing di laut dihasilkan oleh pecahnya gelombang internal.
Parameterisasi mixing dalam bentuk energi gelombang internal untuk laut
terbuka menunjukkan suatu fraksi kecil dari total yang diperlukan untuk
mempertahankan stratifikasi abisal (jurang). Sejauh ini diyakini pada umumnya
Gambar 1.4 a) Akusisi data MMP dari buritan kapal Baruna Jaya IV. (sumber foto: Jenifer ).b) Harga rata-rata dari dan K di Laut Banda pada saat pengamatan.
13Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
14Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
ada dua sumber gelombang internal yaitu pasang surut Bulan dan stress angin.
Untuk sumber Bulan, aliran pasut barotropik yang lewat dalam topografi yang
kasar akan diubah ke aliran pasut baroklinik untuk menggenerasi gelombang
internal dengan frekuensi pasut. Gelombang internal mempunyai frekuensi
yang kontinu. Angin akan merangsang gerakan inersia (lembam) di lapisan
campuran yang menghasilkan gelombang internal semi-inersia (near-inertial 12internal wave). Dari total sebesar 2.1 TW (10 W) energi mixing di jurang
laut, 0.9 TW akibat pasang surut dan 1.2 TW akibat angin (Munk, 1998).
Gelombang internal yang digenerasi angin mempunyai tipikal frekuensi intrisik
( ) yang sama dengan frekuensi Koriolis lokal (f ). Gelombang ini dikendala I o
penjalarannya diekuator. Jika frekuensinya menjadi lebih kecil dari frekuensi
kritis maka dia menjadi frekuensi superinersia. Gelombang semi-inersia ini
pada suatu saat akan mentransfer energinya ke skala gelombang pecah melalui
mekanisme interaksi gelombang-gelombang atau melalui ketakstabilan shear.
Di dalam keadaan yang ekstrim gelombang semi-inersia ini akan mencapai
disuatu daerah lintang tinggi dengan frekuensi =2f dengan mekanisme I
parametric subharmonic instability (PSI) (Hibiya, P., dkk, 1999). Disamping
mekanisme pecahnya gelombang internal, angin juga merupakan sumber untuk
turbulen yang biasanya disebut mixing diimbuh angin.
Shear didominasi oleh pita yang miring keatas. Kondisi ini merepresentasikan
eksistensi gelombang internal semi inersia dengan rotasi berlawanan arah
jarum jam dan berarah kebawah. Perioda yang terobservasi adalah 4.4 hari
Gambar 1.5 Kecepatan shear arus dalam arah Zonal dan Meridional (Sulaiman, A, 2000).
(frekuensi f=1/4.4 hari =0.227). Frekuensi ini sama dengan f = 2 sin. o o
Lintang dilaut Banda adalah =6.5 maka f =0.22743 dimana =1/hari. Maka o o
kita dapatkan frekuensi observasi dinyatakan oleh =(1.02 0.02) f . Hasil ini o o
menunjukkan bahwa frekuensi yang terobservasi sama dengan frekuensi
Coriolis lokal sehingga disebut frekuensi intrisik. Dengan demikian kita
mempunyai gelombang internal tipe semi-inersia.
Hasil menunjukan bahwa gelombang mencepai kedalaman 10m selama 19.4
hari pada lintang (6.9 S;130.6 E), kira-kira sejauh 300 km. Perubahan lintang
juga akan mempengaruhi perubahan frekuensi intrisik, dengan kata lain
penjalaran gelombang juga dipengaruhi oleh lintang. Dari hasil ini dapat
diduga gelombang internal semi-inersia digenerasi di salah satu sisi cekungan
di sebelah barat daya pada saat musim tenggara (southeast monsoon) dan
menjalar ke barat laut. Rekaman pada saat survei menunjukkan gelombang
bergerak ke dasar cekungan, jadi gelombang pada penjalarannya ke atas akan
dipantulkan lagi ke dasar.
1.3.3 Dinamika Laut Samudra India TimurLaut India merupakan lautan yang paling sempit dan paling kompleks
dibandingkan lautan lainnya (Pasifik dan Atlantik). Gaya pengerak utama
sisitem sirkulasi arus di samudra India adalah monsoon. Lautan India bagian
barat sirkulasi arus akibat monsoon mempunyaiperiode semi annual, sedangkan
bagian timur sirkulasi arus mempunyai periode annual dan dipengaruhi oleh
arus lintas Indonesia (Ueda, H, 2001, Matsumoto,Y. dan G. Mayer, 1998).
Anomali beda fase antara bagian barat dan timur terutama di ekuator akan
menciptakan pola dua kutub (dipole). Struktur dipole timur-barat di samudra
India ekuator bisasnya diasosiasikan dengan sebuah anomaly interannual suhu
muka laut (tinggi-rendah) dan kompresi conveksi di timur-barat samudra India.
Selama Musim Tenggara, angin tenggara dari Australia membangkitkan
Upwelling sepanjang Jawa-Sumatra dan kondisi ini berbalik pada Musim
Baratlaut. Sedangkan pada periode transisi yaitu bulan April-May dan October-
November, equatorial westerly generated equatorial downwelling Kelvin waves
menjalar ke timur, menumbuk pulau Sumatra dan memecah menjadi dua,
sebagian ke utara menuku ke teluk bengala dan sebagian menyusur pantai
Sumatra dan Jawa. Di pantai Sumatra dan Jawa gelombang ini coastally
trapped Kelvin waves dan masuk ke perairan dalam Indonesia melalui selat
Lombok (Susanto, D., dkk, 2002).
Profil salinitas di lautan India bagian timur mempunyai bentuk yang sama
dengan profil pada 03N,90E 03S,90E yang mana memmpunyai salinitas 35 psu
pada 100m dan menurun pada kedalamaan (Sulaiman, A., dkk, 2002). Pada
04S,90E salinitas maksimum 35.2 psu terdapat pada kedalaman sekitar 70m
º
º º
15Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
16Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
ada dua sumber gelombang internal yaitu pasang surut Bulan dan stress angin.
Untuk sumber Bulan, aliran pasut barotropik yang lewat dalam topografi yang
kasar akan diubah ke aliran pasut baroklinik untuk menggenerasi gelombang
internal dengan frekuensi pasut. Gelombang internal mempunyai frekuensi
yang kontinu. Angin akan merangsang gerakan inersia (lembam) di lapisan
campuran yang menghasilkan gelombang internal semi-inersia (near-inertial 12internal wave). Dari total sebesar 2.1 TW (10 W) energi mixing di jurang
laut, 0.9 TW akibat pasang surut dan 1.2 TW akibat angin (Munk, 1998).
Gelombang internal yang digenerasi angin mempunyai tipikal frekuensi intrisik
( ) yang sama dengan frekuensi Koriolis lokal (f ). Gelombang ini dikendala I o
penjalarannya diekuator. Jika frekuensinya menjadi lebih kecil dari frekuensi
kritis maka dia menjadi frekuensi superinersia. Gelombang semi-inersia ini
pada suatu saat akan mentransfer energinya ke skala gelombang pecah melalui
mekanisme interaksi gelombang-gelombang atau melalui ketakstabilan shear.
Di dalam keadaan yang ekstrim gelombang semi-inersia ini akan mencapai
disuatu daerah lintang tinggi dengan frekuensi =2f dengan mekanisme I
parametric subharmonic instability (PSI) (Hibiya, P., dkk, 1999). Disamping
mekanisme pecahnya gelombang internal, angin juga merupakan sumber untuk
turbulen yang biasanya disebut mixing diimbuh angin.
Shear didominasi oleh pita yang miring keatas. Kondisi ini merepresentasikan
eksistensi gelombang internal semi inersia dengan rotasi berlawanan arah
jarum jam dan berarah kebawah. Perioda yang terobservasi adalah 4.4 hari
Gambar 1.5 Kecepatan shear arus dalam arah Zonal dan Meridional (Sulaiman, A, 2000).
(frekuensi f=1/4.4 hari =0.227). Frekuensi ini sama dengan f = 2 sin. o o
Lintang dilaut Banda adalah =6.5 maka f =0.22743 dimana =1/hari. Maka o o
kita dapatkan frekuensi observasi dinyatakan oleh =(1.02 0.02) f . Hasil ini o o
menunjukkan bahwa frekuensi yang terobservasi sama dengan frekuensi
Coriolis lokal sehingga disebut frekuensi intrisik. Dengan demikian kita
mempunyai gelombang internal tipe semi-inersia.
Hasil menunjukan bahwa gelombang mencepai kedalaman 10m selama 19.4
hari pada lintang (6.9 S;130.6 E), kira-kira sejauh 300 km. Perubahan lintang
juga akan mempengaruhi perubahan frekuensi intrisik, dengan kata lain
penjalaran gelombang juga dipengaruhi oleh lintang. Dari hasil ini dapat
diduga gelombang internal semi-inersia digenerasi di salah satu sisi cekungan
di sebelah barat daya pada saat musim tenggara (southeast monsoon) dan
menjalar ke barat laut. Rekaman pada saat survei menunjukkan gelombang
bergerak ke dasar cekungan, jadi gelombang pada penjalarannya ke atas akan
dipantulkan lagi ke dasar.
1.3.3 Dinamika Laut Samudra India TimurLaut India merupakan lautan yang paling sempit dan paling kompleks
dibandingkan lautan lainnya (Pasifik dan Atlantik). Gaya pengerak utama
sisitem sirkulasi arus di samudra India adalah monsoon. Lautan India bagian
barat sirkulasi arus akibat monsoon mempunyaiperiode semi annual, sedangkan
bagian timur sirkulasi arus mempunyai periode annual dan dipengaruhi oleh
arus lintas Indonesia (Ueda, H, 2001, Matsumoto,Y. dan G. Mayer, 1998).
Anomali beda fase antara bagian barat dan timur terutama di ekuator akan
menciptakan pola dua kutub (dipole). Struktur dipole timur-barat di samudra
India ekuator bisasnya diasosiasikan dengan sebuah anomaly interannual suhu
muka laut (tinggi-rendah) dan kompresi conveksi di timur-barat samudra India.
Selama Musim Tenggara, angin tenggara dari Australia membangkitkan
Upwelling sepanjang Jawa-Sumatra dan kondisi ini berbalik pada Musim
Baratlaut. Sedangkan pada periode transisi yaitu bulan April-May dan October-
November, equatorial westerly generated equatorial downwelling Kelvin waves
menjalar ke timur, menumbuk pulau Sumatra dan memecah menjadi dua,
sebagian ke utara menuku ke teluk bengala dan sebagian menyusur pantai
Sumatra dan Jawa. Di pantai Sumatra dan Jawa gelombang ini coastally
trapped Kelvin waves dan masuk ke perairan dalam Indonesia melalui selat
Lombok (Susanto, D., dkk, 2002).
Profil salinitas di lautan India bagian timur mempunyai bentuk yang sama
dengan profil pada 03N,90E 03S,90E yang mana memmpunyai salinitas 35 psu
pada 100m dan menurun pada kedalamaan (Sulaiman, A., dkk, 2002). Pada
04S,90E salinitas maksimum 35.2 psu terdapat pada kedalaman sekitar 70m
º
º º
15Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
16Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
dan menurun sampai 34.6 psu pada kedalamana 150m. Salinitas tertinggi
berada di sebelah selatan ekuator yang mengindikasikan kehadiran massa air
the Indian Central Water (ICW). Di lintang utara salinitas rendah (<34 psu)
berasal dari Laut Andaman dimana massa air tawar berasal dari sungai
Irrawady dan sungai Salween. Termoklin lebih dalam di bagian selatan ekuator
dari pada di bagian utara pada bulan Agustus, hal ini disebabkan oleh posisi
Matahari pada bulan itu. Profil temperatur menunjukkan kedalaman termoklin lebih dalam di lintang
yang tinggi. Salinitas yang tinggi sepanjang 5S pada kedalaman 50-100m
Gambar 1.6 Diagram TS di Timur Samudra India.
Gambar 1.7 Profil temperatur dan salinitas pada bujur 90E. (Sulaiman, A. dkk, 2002)
Gambar 1.8 Profil temperatur dan salinitas 90ºE sampai selatan Jawa. (Sulaiman, A., dkk, 2002)
menunjukkan massa air ICW yang mengalir dari barat ke timur dan rendahnya
salinitas di permukaan diduga disebabkan oleh transport massa air dari arus
lintas Indonesia. Dari analisisi Ts diangram menunjukkan bahwa massa air ICW
terobservasi dibujur 95E-102E dan massa air the Australasian Maditerranean
Water (AAMW) terobservasi di bujur 103E-110E.
Hasil pengukuran beberapa parameter oseanografi dapat dilihat pada gambar-
gambar dibawah ini.1.3.4 Dinamika Laut PaparanGaya pengerak utama dinamika laut di daerah paparan angin musim (Monsoon)
yang berubah arah dua kali dalam setahun. Monsoon ini terdiri dari Southeast
Monsoon (SE)/musim timur, biasanya terjadi pada bulan Juni-September,
musim peralihan pada bulan April-Mei serta Oktober-November dan Northwest
Monsoon (NW)/musim barat pada bulan Desember-Maret. Pada musim barat
yaitu sekitar bulan Desember-Februari arus permukaan bergerak ke timur
dengan kecepatan rata-rata 75 cm/det. Pada musim peralihan yaitu sekitar
bulan April/Mei arus melemah menjadi sekitar 25 cm/det. Sedangkan pada
musim timur yaitu pada bulan Juni-Agustus arus bergerak ke barat dengan
kecepatan rata-rata 50 cm/det dan menguat pada bulan Agustus. Sedangkan
pada musim peralihan kedua sekitar bulan Oktober/November arus berbalik
menuju ke timur dengan kecepatan rata-rata 60 cm/det. Laut Jawa pada
musim barat dicirikan dengan salinitas yang rendah (< 32 ) akibat suplai
massa air dari laut China Selatan yang bersalinitas rendah serta adanya runoff
dari sungai dari Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Sedangkan pada musim timur
Juni-September salinitas naik akibat suplai massa air dari timur yaitu laut
Flores (>32 ).
‰
‰
DAFTAR PUSTAKA
Alford, M.H dan M. C Gregg 1999 “Diapycnal Mixing in The Banda Sea: Result
of the First Microstructure Measurement in the Indonesian Througflow” J.
Geophys. Lett; Vol:26, No:17, hal. 2741-2744.Alford, M.H dan M.C Gregg 2000 “Near-Inertial Mixing: Modulation of Shear,
strain and Microstructure at Low latitude” J. Geophys. Res. Submitted.Ffield, A dan A. Gordon 1992 “Vertical Mixing in The Indonesian Thermocline”
J. Phys. Ocean, Vol: 22 184-195.Gordon, A dan J. Mc Clean 1999 “Thermohaline Stratification of the
Indonesian seas: Model and Observation” J. Phys. Oceanorg, Vol:29,
hal.198-216.Gordon, A., A. Ffield dan A.G Ilahude, 1994 “Thermocline of the Flores and
Banda Sea”J. Geophys. Res Vol:99 No: C9, hal. 18.235-18.242.Gordon, A; D. Susanto dan A. Ffield 1999 “Througflow within Makassar Strait”
Geophys.Res. Lett Vol:26, No:21, 3325-3328.Gregg,M.C 1987 “Dyapicnal Mixing in the Thermocline : A Review” J. Geophys.
Res. Vol: 92, No:C5 , 5249-5286.
17Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
18Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
dan menurun sampai 34.6 psu pada kedalamana 150m. Salinitas tertinggi
berada di sebelah selatan ekuator yang mengindikasikan kehadiran massa air
the Indian Central Water (ICW). Di lintang utara salinitas rendah (<34 psu)
berasal dari Laut Andaman dimana massa air tawar berasal dari sungai
Irrawady dan sungai Salween. Termoklin lebih dalam di bagian selatan ekuator
dari pada di bagian utara pada bulan Agustus, hal ini disebabkan oleh posisi
Matahari pada bulan itu. Profil temperatur menunjukkan kedalaman termoklin lebih dalam di lintang
yang tinggi. Salinitas yang tinggi sepanjang 5S pada kedalaman 50-100m
Gambar 1.6 Diagram TS di Timur Samudra India.
Gambar 1.7 Profil temperatur dan salinitas pada bujur 90E. (Sulaiman, A. dkk, 2002)
Gambar 1.8 Profil temperatur dan salinitas 90ºE sampai selatan Jawa. (Sulaiman, A., dkk, 2002)
menunjukkan massa air ICW yang mengalir dari barat ke timur dan rendahnya
salinitas di permukaan diduga disebabkan oleh transport massa air dari arus
lintas Indonesia. Dari analisisi Ts diangram menunjukkan bahwa massa air ICW
terobservasi dibujur 95E-102E dan massa air the Australasian Maditerranean
Water (AAMW) terobservasi di bujur 103E-110E.
Hasil pengukuran beberapa parameter oseanografi dapat dilihat pada gambar-
gambar dibawah ini.1.3.4 Dinamika Laut PaparanGaya pengerak utama dinamika laut di daerah paparan angin musim (Monsoon)
yang berubah arah dua kali dalam setahun. Monsoon ini terdiri dari Southeast
Monsoon (SE)/musim timur, biasanya terjadi pada bulan Juni-September,
musim peralihan pada bulan April-Mei serta Oktober-November dan Northwest
Monsoon (NW)/musim barat pada bulan Desember-Maret. Pada musim barat
yaitu sekitar bulan Desember-Februari arus permukaan bergerak ke timur
dengan kecepatan rata-rata 75 cm/det. Pada musim peralihan yaitu sekitar
bulan April/Mei arus melemah menjadi sekitar 25 cm/det. Sedangkan pada
musim timur yaitu pada bulan Juni-Agustus arus bergerak ke barat dengan
kecepatan rata-rata 50 cm/det dan menguat pada bulan Agustus. Sedangkan
pada musim peralihan kedua sekitar bulan Oktober/November arus berbalik
menuju ke timur dengan kecepatan rata-rata 60 cm/det. Laut Jawa pada
musim barat dicirikan dengan salinitas yang rendah (< 32 ) akibat suplai
massa air dari laut China Selatan yang bersalinitas rendah serta adanya runoff
dari sungai dari Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Sedangkan pada musim timur
Juni-September salinitas naik akibat suplai massa air dari timur yaitu laut
Flores (>32 ).
‰
‰
DAFTAR PUSTAKA
Alford, M.H dan M. C Gregg 1999 “Diapycnal Mixing in The Banda Sea: Result
of the First Microstructure Measurement in the Indonesian Througflow” J.
Geophys. Lett; Vol:26, No:17, hal. 2741-2744.Alford, M.H dan M.C Gregg 2000 “Near-Inertial Mixing: Modulation of Shear,
strain and Microstructure at Low latitude” J. Geophys. Res. Submitted.Ffield, A dan A. Gordon 1992 “Vertical Mixing in The Indonesian Thermocline”
J. Phys. Ocean, Vol: 22 184-195.Gordon, A dan J. Mc Clean 1999 “Thermohaline Stratification of the
Indonesian seas: Model and Observation” J. Phys. Oceanorg, Vol:29,
hal.198-216.Gordon, A., A. Ffield dan A.G Ilahude, 1994 “Thermocline of the Flores and
Banda Sea”J. Geophys. Res Vol:99 No: C9, hal. 18.235-18.242.Gordon, A; D. Susanto dan A. Ffield 1999 “Througflow within Makassar Strait”
Geophys.Res. Lett Vol:26, No:21, 3325-3328.Gregg,M.C 1987 “Dyapicnal Mixing in the Thermocline : A Review” J. Geophys.
Res. Vol: 92, No:C5 , 5249-5286.
17Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
18Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB IISatelit Oseanografi N. Hendiarti, M. Sadly, M.C.G. Frederik, R. Andiastuti A., A. Sulaiman
Bab ini akan membahas secara komprehensif tentang satelit oseanografi.
Diawali dengan ulasan singkat tentang sejarah satelit oseanografi, dilanjutkan
dengan pengamatan fenomena laut menggunakan data satelit penginderaan
jauh, analisis kesuburan perairan dan hubungannya dengan keberadaan ikan
pelagis, serta pengamatan fenomena pesisir.
Pada bagian ini akan ditunjukkan bahwa teknologi satelit, khususnya satelit
oseanografi memiliki peranan dan kontribusi besar di dalam penyediaan
informasi tentang sumberdaya laut serta mampu melakukan identifikasi dan
monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut secara
cepat dan berkelanjutan.
2.1 SEJARAH SATELIT OSEANOGRAFIIndonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi sumberdaya
alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Sekitar 70 % muka bumi kita terdiri
dari lautan dengan segala potensi dan sumberdaya laut yang dikandungnya.
Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat
dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Dengan
melihat luasnya wilayah laut Indonesia, maka penanganan dan pengelolaan
potensi sumberdaya alam kelautan memerlukan suatu teknologi yang mampu
melakukan identifikasi serta monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam
dan lingkungan laut secara cepat dan berkelanjutan.
Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu teknologi
alternatif yang dapat digunakan dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam
dan lautan. Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) mempunyai
kemampuan yang baik di dalam mengidentifikasi serta melakukan monitoring
terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut dalam periode
tertentu. Benefit yang diperoleh di dalam pemanfaatan Teknologi
penginderaan jauh satelit adalah cakupan pengamatan yang luas, resolusi
temporal (perulangan) yang tinggi karena datanya dapat diperoleh hampir
setiap hari bahkan setiap jam sehingga dapat digunakan untuk
pemantauan/monitoring, mampu mengamati daerah-daerah terpencil,
pengamatan dan penerimaan data secara near real time sehingga data yang
Hautala,S; J.L Reid & N. Bray 1996 “The Distribition and Mixing of Pacific
water Masses in The Indonesian Seas” J. Geophys.Res. Vol: 101, No: C5,
12.375-12.389.Ilahude,A.G & A. Gordon 1996 “ Thermocline Stratification within the
Indonesian Seas” J. Geophys. Res, Vol:101, No:C5 12.401-12.409.Ilyas,M; A. Sulaiman & M.C Gregg 1999 “The Water Mass Dynamics of the Banda
Sea (Results from Arlindo Microstructure Survey)” Prosiding. Konferensi
ESDAL'99, Jakarta.Kashino,Y; E. Firing; P. Hacker; A. Sulaiman & Lukiyanto “Direct Current
Measurement in and around the Celebes Sea at February 1999“ J.
Geophys. Res. Letter. Submitted.Monin,A.S & R.V Ozminov1985 “Turbulence in the Ocean” D. Reidel
Pubs.Comp. Dordrecht.Moum,F; D. Caldwell & C. Paulson 1989 “Mixing in the Equatorial Surface
Layer and Thermocline” J. Geophys.Res. Vol:94, No:C2, 2005-2021.Munk,W & C. Wunsch 1998 “Energitic of Tidal and Wind" Res. Vol:104, No:C5,
10.981-10.989Sulaiman, 2000 “Turbulensi Laut Banda” P3 TISDA, Jakarta.Sulaiman,A; Agus A. Dipoera & Mekky 2002 “Mirai Cruise Report”, Jakarta.Waworuntu,J et al 2000 “Througflow Dynamics in the Makassar Strait and the
Western Pacific” Procc. Int. Conference on Ocean Science Technology and
Industry, Jakarta.Wyrtki,K 1961 “Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters” Univ of
California,La Jolla, california.Mixing” Deep-Sea Res.I 45, 1977-2009.
19Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
20Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB IISatelit Oseanografi N. Hendiarti, M. Sadly, M.C.G. Frederik, R. Andiastuti A., A. Sulaiman
Bab ini akan membahas secara komprehensif tentang satelit oseanografi.
Diawali dengan ulasan singkat tentang sejarah satelit oseanografi, dilanjutkan
dengan pengamatan fenomena laut menggunakan data satelit penginderaan
jauh, analisis kesuburan perairan dan hubungannya dengan keberadaan ikan
pelagis, serta pengamatan fenomena pesisir.
Pada bagian ini akan ditunjukkan bahwa teknologi satelit, khususnya satelit
oseanografi memiliki peranan dan kontribusi besar di dalam penyediaan
informasi tentang sumberdaya laut serta mampu melakukan identifikasi dan
monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut secara
cepat dan berkelanjutan.
2.1 SEJARAH SATELIT OSEANOGRAFIIndonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi sumberdaya
alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Sekitar 70 % muka bumi kita terdiri
dari lautan dengan segala potensi dan sumberdaya laut yang dikandungnya.
Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat
dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Dengan
melihat luasnya wilayah laut Indonesia, maka penanganan dan pengelolaan
potensi sumberdaya alam kelautan memerlukan suatu teknologi yang mampu
melakukan identifikasi serta monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam
dan lingkungan laut secara cepat dan berkelanjutan.
Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu teknologi
alternatif yang dapat digunakan dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam
dan lautan. Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) mempunyai
kemampuan yang baik di dalam mengidentifikasi serta melakukan monitoring
terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut dalam periode
tertentu. Benefit yang diperoleh di dalam pemanfaatan Teknologi
penginderaan jauh satelit adalah cakupan pengamatan yang luas, resolusi
temporal (perulangan) yang tinggi karena datanya dapat diperoleh hampir
setiap hari bahkan setiap jam sehingga dapat digunakan untuk
pemantauan/monitoring, mampu mengamati daerah-daerah terpencil,
pengamatan dan penerimaan data secara near real time sehingga data yang
Hautala,S; J.L Reid & N. Bray 1996 “The Distribition and Mixing of Pacific
water Masses in The Indonesian Seas” J. Geophys.Res. Vol: 101, No: C5,
12.375-12.389.Ilahude,A.G & A. Gordon 1996 “ Thermocline Stratification within the
Indonesian Seas” J. Geophys. Res, Vol:101, No:C5 12.401-12.409.Ilyas,M; A. Sulaiman & M.C Gregg 1999 “The Water Mass Dynamics of the Banda
Sea (Results from Arlindo Microstructure Survey)” Prosiding. Konferensi
ESDAL'99, Jakarta.Kashino,Y; E. Firing; P. Hacker; A. Sulaiman & Lukiyanto “Direct Current
Measurement in and around the Celebes Sea at February 1999“ J.
Geophys. Res. Letter. Submitted.Monin,A.S & R.V Ozminov1985 “Turbulence in the Ocean” D. Reidel
Pubs.Comp. Dordrecht.Moum,F; D. Caldwell & C. Paulson 1989 “Mixing in the Equatorial Surface
Layer and Thermocline” J. Geophys.Res. Vol:94, No:C2, 2005-2021.Munk,W & C. Wunsch 1998 “Energitic of Tidal and Wind" Res. Vol:104, No:C5,
10.981-10.989Sulaiman, 2000 “Turbulensi Laut Banda” P3 TISDA, Jakarta.Sulaiman,A; Agus A. Dipoera & Mekky 2002 “Mirai Cruise Report”, Jakarta.Waworuntu,J et al 2000 “Througflow Dynamics in the Makassar Strait and the
Western Pacific” Procc. Int. Conference on Ocean Science Technology and
Industry, Jakarta.Wyrtki,K 1961 “Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters” Univ of
California,La Jolla, california.Mixing” Deep-Sea Res.I 45, 1977-2009.
19Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
20Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
dihasilkan selalu yang terbaru. Spektrum sensor penginderaan jauh yang
mencakup sinar tampak, infra merah, infra merah termal, dan gelombang
mikro dapat memberikan bebagai informasi tentang obyek daratan dan
perairan di permukaan bumi. Teknik mengindera permukaan bumi dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu secara pasif dan aktif (lihat Gambar 2.1). Secara pasif
yaitu dengan merekam pantulan radiasi matahari dari benda-benda di
permukaan bumi. Sensor pasif biasanya menggunakan panjang gelombang sinar
tampak hingga infra merah. Mengindera secara aktif, yaitu sensor
memantulkan radiasi di panjang gelombang micro ke permukaan bumi dan
merekam pantulannya.
Pengamatan muka bumi, samudra/lautan, atmosfir dan interaksi ketiganya
dengan satelit berlangsung secara kontinyu, cepat dan selalu dapat
diperbaharui dengan segera. Secara garis besar, empat jenis satelit pengindera
bumi yang sudah beroperasi adalah: (a). Satelit cuaca/lingkungan, (b). Satelit
Gambar 2.1 Visualiasi perbedaan cara kerja sensor pasif dan aktif.
sumber alam, (c). Satelit pengamatan kelautan, dan (d). Satelit pengamat
sifat-sifat fisika/geofisika bumi. Khusus satelit penginderaan kelautan tidak
cukup hanya dilakukan melalui satelit cuaca/lingkungan dan satelit sumber
alam saja, namun juga oleh satelit yang khusus dirancang untuk tugas
tersebut.
Peluncuran satelit pertama dunia, badan ruang angkasa telah memulai untuk
mempertimbangan aplikasi praktis bahwa teknologi baru memungkinkan
digunakan untuk memasang kamera dan instrumen pengindera lain pada
platform.
Pemanfaatan satelit penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan kelautan
diawali pada tahun 1960 dengan pengembangan teknologi satelit oleh Amerika
Serikat (USA) yang disebut TIROS (Television and Infrared Observation
Satellite), yang mana menyediakan sistem pemantauan cuaca 24 jam.
Selanjutnya pada tahun 1970, generasi kedua sistem satelit cuaca,
penyempurnaan sistem operasional TIROS (Television and Infrared Observation
Satellite) yang dikembangkan dari teknologi TIROS. Terdapat total 6 (enam)
satelit yang berurutan, semuanya membawa infrared dengan ITOS-D,
diluncurkan pada tahun 1972 membawa sensor Very High Resolution
Radiometer (VHRR). Pada tahun 1978, diluncurkan satelit generasi ketiga yang
mana membawa sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) .
Generasi ini termasuk NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration). Hingga saat ini program tersebut masih berjalan, dan masih
beroperasinya 5 (lima) satelit NOAA, yaitu NOAA-12, 14, 15, 16, dan 17. Satelit
NOAA berorbit polar pada ketinggian 833 km dan memiliki sensor utama yaitu
AVHRR 5 kanal.
Pada tahun 1978, NASA meluncurkan satelit SEASAT, satelit pengamatan
samudra yang pertama, guna mengamati sifat-sifat fisika samudra. Sensor
imaging radar dan altimeter yang dibawa SEASAT berhasil merekam data arus
laut, pola gelombang arah dan kekuatan gelombang laut, serta bentuk
topografi bawah laut hasil interpretasi dari profil muka laut. Dari data yang
diperoleh, dilakukan berbagai aplikasi, antara lain usaha penginventarisasian
potensi energi gelombang laut untuk pembangkit energi listrik, potensi
akumulasi migas berdasarkan profil topografi bawah laut, prediksi arus serta
arah pergerakan gelombang dan angin.
SEASAT disusul oleh satelit GEOSAT (Geodetic Satellite), satelit geodesi milik
AL-AS, meruang angkasa pada tahun 1985, dan sejak tahun 1986 dialihkan
kepada NOAA guna dipakai dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Data GEOSAT
khusus diarahkan kepada pengamatan potensi gelombang laut dan studi
topografi bawah laut untuk eksplorasi. Wilayah samudra disekitar Indonesia
21Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
22Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
dihasilkan selalu yang terbaru. Spektrum sensor penginderaan jauh yang
mencakup sinar tampak, infra merah, infra merah termal, dan gelombang
mikro dapat memberikan bebagai informasi tentang obyek daratan dan
perairan di permukaan bumi. Teknik mengindera permukaan bumi dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu secara pasif dan aktif (lihat Gambar 2.1). Secara pasif
yaitu dengan merekam pantulan radiasi matahari dari benda-benda di
permukaan bumi. Sensor pasif biasanya menggunakan panjang gelombang sinar
tampak hingga infra merah. Mengindera secara aktif, yaitu sensor
memantulkan radiasi di panjang gelombang micro ke permukaan bumi dan
merekam pantulannya.
Pengamatan muka bumi, samudra/lautan, atmosfir dan interaksi ketiganya
dengan satelit berlangsung secara kontinyu, cepat dan selalu dapat
diperbaharui dengan segera. Secara garis besar, empat jenis satelit pengindera
bumi yang sudah beroperasi adalah: (a). Satelit cuaca/lingkungan, (b). Satelit
Gambar 2.1 Visualiasi perbedaan cara kerja sensor pasif dan aktif.
sumber alam, (c). Satelit pengamatan kelautan, dan (d). Satelit pengamat
sifat-sifat fisika/geofisika bumi. Khusus satelit penginderaan kelautan tidak
cukup hanya dilakukan melalui satelit cuaca/lingkungan dan satelit sumber
alam saja, namun juga oleh satelit yang khusus dirancang untuk tugas
tersebut.
Peluncuran satelit pertama dunia, badan ruang angkasa telah memulai untuk
mempertimbangan aplikasi praktis bahwa teknologi baru memungkinkan
digunakan untuk memasang kamera dan instrumen pengindera lain pada
platform.
Pemanfaatan satelit penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan kelautan
diawali pada tahun 1960 dengan pengembangan teknologi satelit oleh Amerika
Serikat (USA) yang disebut TIROS (Television and Infrared Observation
Satellite), yang mana menyediakan sistem pemantauan cuaca 24 jam.
Selanjutnya pada tahun 1970, generasi kedua sistem satelit cuaca,
penyempurnaan sistem operasional TIROS (Television and Infrared Observation
Satellite) yang dikembangkan dari teknologi TIROS. Terdapat total 6 (enam)
satelit yang berurutan, semuanya membawa infrared dengan ITOS-D,
diluncurkan pada tahun 1972 membawa sensor Very High Resolution
Radiometer (VHRR). Pada tahun 1978, diluncurkan satelit generasi ketiga yang
mana membawa sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) .
Generasi ini termasuk NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration). Hingga saat ini program tersebut masih berjalan, dan masih
beroperasinya 5 (lima) satelit NOAA, yaitu NOAA-12, 14, 15, 16, dan 17. Satelit
NOAA berorbit polar pada ketinggian 833 km dan memiliki sensor utama yaitu
AVHRR 5 kanal.
Pada tahun 1978, NASA meluncurkan satelit SEASAT, satelit pengamatan
samudra yang pertama, guna mengamati sifat-sifat fisika samudra. Sensor
imaging radar dan altimeter yang dibawa SEASAT berhasil merekam data arus
laut, pola gelombang arah dan kekuatan gelombang laut, serta bentuk
topografi bawah laut hasil interpretasi dari profil muka laut. Dari data yang
diperoleh, dilakukan berbagai aplikasi, antara lain usaha penginventarisasian
potensi energi gelombang laut untuk pembangkit energi listrik, potensi
akumulasi migas berdasarkan profil topografi bawah laut, prediksi arus serta
arah pergerakan gelombang dan angin.
SEASAT disusul oleh satelit GEOSAT (Geodetic Satellite), satelit geodesi milik
AL-AS, meruang angkasa pada tahun 1985, dan sejak tahun 1986 dialihkan
kepada NOAA guna dipakai dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Data GEOSAT
khusus diarahkan kepada pengamatan potensi gelombang laut dan studi
topografi bawah laut untuk eksplorasi. Wilayah samudra disekitar Indonesia
21Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
22Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
juga dicakup oleh GEOSAT dengan lebar cakupan 3 km dan jarak antar jalur
orbit 150 km. Data akan sangat membantu dalam eksplorasi migas dan
inventarisasi potensi energi gelombang laut di wilayah Indonesia. Pada tahun
1978 juga, sensor satelit khusus untuk kelautan dikembangkan oleh NASA yang
disebut Coastal Zone Color Scanner (CZCS). Sensor ini digunakan untuk
mengamati warna laut (ocean color) dari kondisi suatu perairan.Pada periode dari tahun 1980 sampai saat ini mempunyai keberlanjutan pada
pengembangan untuk oseanografi dengan memaksimalkan sensor satelit. Pada
tahun 1988 Badan Antariksa Cina meluncurkan satelit lingkungan Fengyun-1A
(FY-1A) dan programnya terus berlanjut hingga peluncuran satelit FY-1D pada
bulan Mei 2002. Satelit FY memiliki sensor MVISR (Multispectral Visible and
Infrared Scan Radiometer) dengan 10 kanal. FY-1 MVISR dapat digunakan untuk
pemantauan warna laut, serta dapat digunakan juga untuk mendeteksi sebaran
klorofil dan kekeruhan di perairan.
Eropa juga telah meluncurkan satelitnya dengan sensor SAR, yang disebut
European Remote Sensing Satellite (ERS-1) pada tahun 1991, selanjutnya pada
tahun 1992, Jepang telah meluncurkan satelit yang disebut Japanese earth
Resources Satellite (JERS-1). Pada tahun 1992, gabungan antara Amerika dan
Perancis telah meluncurkan satelit TOPEX/POSEIDON. Pada tahun 1997 NASA
(USA) meluncurkan satelit Seastar dengan membawa sensor SeaWiFS (Sea
viewing Wide Field-of view Sensor) dengan minimum luas area yang dapat
dideteksi (resolusi spasial) 1.1 km, dengan jumlah kanal 8 (delapan). Data
satelit ini digunakan untuk pemantauan distribusi klorofil di laut, yang sangat
berguna dan merupakan salah satu parameter didalam penentuan lokasi
keberadaan ikan.
Sementara itu pada akhir tahun 1999 telah diorbitkan satelit lingkungan Terra
atau EOS-AM yang membawa sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer). Kemudian pada tahun 2002 diorbitkan satelit Aqua atau
EOS-PM yang membawa sensor yang sama dengan Terra. Satelit tersebut
berorbit polar pada ketinggian 705 km dengan sistem descending pada satelit
Terra dan ascending pada satelit Aqua.satelit ini memiliki 36 kanal dengan
resolusi spasial 250 m untuk kanal 1 dan 2, 500 m untuk kanal 3 hingga 7 dan 1
km untuk kanal 8 hingga 36.
Dengan melihat perkembangan pesat dari teknologi satelit dengan dukungan
sensor yang semakin canggih, dapat dikatakan bahwa saat ini data satelit
memungkinkan untuk dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi, khususnya aplikasi
dibidang kelautan dan perikanan. Pertanyaan seputar peranan dan benefit
dari satelit untuk aplikasi bidang kelautan telah terjawab dengan deskripsi
singkat diatas.
Gambar 2.2 memperlihatkan karakteristik sensor-sensor pasif yang pernah
Gam
bar
2.2
Kara
kte
rist
ik s
enso
r pasi
f ya
ng t
ela
h d
imanfa
atk
an u
ntu
k p
engam
ata
n p
era
iran Indonesi
a.
23Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
24Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
juga dicakup oleh GEOSAT dengan lebar cakupan 3 km dan jarak antar jalur
orbit 150 km. Data akan sangat membantu dalam eksplorasi migas dan
inventarisasi potensi energi gelombang laut di wilayah Indonesia. Pada tahun
1978 juga, sensor satelit khusus untuk kelautan dikembangkan oleh NASA yang
disebut Coastal Zone Color Scanner (CZCS). Sensor ini digunakan untuk
mengamati warna laut (ocean color) dari kondisi suatu perairan.Pada periode dari tahun 1980 sampai saat ini mempunyai keberlanjutan pada
pengembangan untuk oseanografi dengan memaksimalkan sensor satelit. Pada
tahun 1988 Badan Antariksa Cina meluncurkan satelit lingkungan Fengyun-1A
(FY-1A) dan programnya terus berlanjut hingga peluncuran satelit FY-1D pada
bulan Mei 2002. Satelit FY memiliki sensor MVISR (Multispectral Visible and
Infrared Scan Radiometer) dengan 10 kanal. FY-1 MVISR dapat digunakan untuk
pemantauan warna laut, serta dapat digunakan juga untuk mendeteksi sebaran
klorofil dan kekeruhan di perairan.
Eropa juga telah meluncurkan satelitnya dengan sensor SAR, yang disebut
European Remote Sensing Satellite (ERS-1) pada tahun 1991, selanjutnya pada
tahun 1992, Jepang telah meluncurkan satelit yang disebut Japanese earth
Resources Satellite (JERS-1). Pada tahun 1992, gabungan antara Amerika dan
Perancis telah meluncurkan satelit TOPEX/POSEIDON. Pada tahun 1997 NASA
(USA) meluncurkan satelit Seastar dengan membawa sensor SeaWiFS (Sea
viewing Wide Field-of view Sensor) dengan minimum luas area yang dapat
dideteksi (resolusi spasial) 1.1 km, dengan jumlah kanal 8 (delapan). Data
satelit ini digunakan untuk pemantauan distribusi klorofil di laut, yang sangat
berguna dan merupakan salah satu parameter didalam penentuan lokasi
keberadaan ikan.
Sementara itu pada akhir tahun 1999 telah diorbitkan satelit lingkungan Terra
atau EOS-AM yang membawa sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer). Kemudian pada tahun 2002 diorbitkan satelit Aqua atau
EOS-PM yang membawa sensor yang sama dengan Terra. Satelit tersebut
berorbit polar pada ketinggian 705 km dengan sistem descending pada satelit
Terra dan ascending pada satelit Aqua.satelit ini memiliki 36 kanal dengan
resolusi spasial 250 m untuk kanal 1 dan 2, 500 m untuk kanal 3 hingga 7 dan 1
km untuk kanal 8 hingga 36.
Dengan melihat perkembangan pesat dari teknologi satelit dengan dukungan
sensor yang semakin canggih, dapat dikatakan bahwa saat ini data satelit
memungkinkan untuk dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi, khususnya aplikasi
dibidang kelautan dan perikanan. Pertanyaan seputar peranan dan benefit
dari satelit untuk aplikasi bidang kelautan telah terjawab dengan deskripsi
singkat diatas.
Gambar 2.2 memperlihatkan karakteristik sensor-sensor pasif yang pernah
Gam
bar
2.2
Kara
kte
rist
ik s
enso
r pasi
f ya
ng t
ela
h d
imanfa
atk
an u
ntu
k p
engam
ata
n p
era
iran Indonesi
a.
23Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
24Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
digunakan dalam penelitian di perairan Indonesia. Sumbu x menampilkan
panjang gelombang optik hingga infra-merah. Sumbu Y (kiri) menampilkan
sensor satelit dan sumbu Y (kanan) adalah tahun beroperasinya. Warna biru
menunjukkan resolusi spasial citra berukuran 250 meter atau lebih dan warna
hijau menunjukkan resolusi spasial berukuran 90 meter atau kurang. Lebar dari
masing-masing kotak menampilkan lebar kanalnya. Di gambar ini terlihat
bahwa hampir seluruh panjang gelombang sudah dapat dipantau dengan sensor
yang ada.
Berikut adalah ulasan singkat tentang satelit-satelit yang pernah dan telah
dimanfaatkan untuk observasi perairan indonesia antara lain:
CZCSSatelit Nimbus-7 yang salah satu sensornya
adalah Coastal Zone Color Sensor (CZCS)
dibuat oleh NASA, Amerika khusus untuk
pemantauan warna perairan laut. Satelit ini
beroperasi tahun 1978 - 1986, memiliki 6
band spektral (433-12500nm), dan dengan
reso- lusi spasial 825 meter. Produknya
adalah peta konsentrasi klorofil, vegetasi
permukaan, dan suhu permukaan laut. CZCS
membuktikan bahwa pemantauan dari satelit
dapat memberikan informasi berguna
tentang konsentrasi klorofil dan sedimen dan
memberikan jalan untuk dikembangkannya misi kelautan lainnya seperti
SeaWiFS dan MODIS.
OCTSSatelit ADEOS yang dilengkapi dengan sensor
Ocean Color and Temperature Scanner
(OCTS) dibuat oleh NASDA, Jepang
beroperasi tahun 1996 - 1997. Sensor ini
memiliki 12 band spektral (402-12500 nm)
dan resolusi spasial 700 meter. Produknya
adalah peta konsen- trasi klorofil, materi
terlarut dan suhu permukaan laut. Dengan
cakupan yang kasar, maka sensor ini dapat
memantau suatu lokasi setiap 3 hari.
SeaWiFSSatelit OrbView-2 (SeaStar) dengan sensor
satu-satunya SeaWiFS (Sea Viewing Wide
Field of View Sensor) dioperasikan oleh OSC,
Amerika. Beroperasi dari tahun 1997 -
sekarang. Sensor ini memiliki 8 band spektral
(402-885 nm) dengan resolusi spasial 9 dan
1.1 km. Produknya adalah peta konsentrasi
klorofil, suhu permukaan laut, batimetri,
turbiditas, dan pemantauan terumbu karang.
Karena besarnya cakupan citra, maka sensor ini dapat memantau kondisi laut
setiap hari.
Aqua – MODISSatelit Aqua (EOS PM-1) dengan sensor MODIS
(Moderate Resolution Imaging Spectro-
radiometer) dibuat oleh NASA, Amerika
diluncurkan tahun 2002 dan masih beroperasi
hingga sekarang. Sensor ini memiliki 36 band
spektral (620-965nm, 3660-14385 µm),
dengan 3 resolusi spektral (250m, 500m, dan
1 km). Band spektral 8-16 diperuntukan
khusus untuk pemantauan warna perairan.
Produknya adalah: sebaran konsentrasi
klorofil, suhu permukaan laut, turbiditas, dan kecerahan. Sedangkan untuk
aplikasi lainnya antara lain adalah untuk pemantauan aerosol, atmosfer, suhu
permukaan dll.
MERISSatelit ENVISAT yang dibuat oleh ESA, Eropa,
memiliki beberapa sensor, salah satunya
adalah MERIS (MEdium Resolution Imaging
Spectrometer). Satelit ini diluncurkan tahun
2002 dan masih beroperasi hingga sekarang.
Sensor ini memiliki 15 band spektral (412-
1050 nm) dengan resolusi spasial 300 dan
1200 meter. Produk sensor ini adalah:
konsentrasi klorofil, turbiditas, sedimen,
vegetasi, dan aerosol.
:www.ioccg.org /sensors/czcs.html
www.ioccg.org/sensors/octs.html
oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/IMAGES/seastar_orbit.jpg
ww.mumm.ac.be/ OceanColour/Sensors/modis.php
ww.mumm.ac.be/ OceanColour/Sensors/modis.php
www.ioccg.org/sensors/meris.html
25Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
26Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
digunakan dalam penelitian di perairan Indonesia. Sumbu x menampilkan
panjang gelombang optik hingga infra-merah. Sumbu Y (kiri) menampilkan
sensor satelit dan sumbu Y (kanan) adalah tahun beroperasinya. Warna biru
menunjukkan resolusi spasial citra berukuran 250 meter atau lebih dan warna
hijau menunjukkan resolusi spasial berukuran 90 meter atau kurang. Lebar dari
masing-masing kotak menampilkan lebar kanalnya. Di gambar ini terlihat
bahwa hampir seluruh panjang gelombang sudah dapat dipantau dengan sensor
yang ada.
Berikut adalah ulasan singkat tentang satelit-satelit yang pernah dan telah
dimanfaatkan untuk observasi perairan indonesia antara lain:
CZCSSatelit Nimbus-7 yang salah satu sensornya
adalah Coastal Zone Color Sensor (CZCS)
dibuat oleh NASA, Amerika khusus untuk
pemantauan warna perairan laut. Satelit ini
beroperasi tahun 1978 - 1986, memiliki 6
band spektral (433-12500nm), dan dengan
reso- lusi spasial 825 meter. Produknya
adalah peta konsentrasi klorofil, vegetasi
permukaan, dan suhu permukaan laut. CZCS
membuktikan bahwa pemantauan dari satelit
dapat memberikan informasi berguna
tentang konsentrasi klorofil dan sedimen dan
memberikan jalan untuk dikembangkannya misi kelautan lainnya seperti
SeaWiFS dan MODIS.
OCTSSatelit ADEOS yang dilengkapi dengan sensor
Ocean Color and Temperature Scanner
(OCTS) dibuat oleh NASDA, Jepang
beroperasi tahun 1996 - 1997. Sensor ini
memiliki 12 band spektral (402-12500 nm)
dan resolusi spasial 700 meter. Produknya
adalah peta konsen- trasi klorofil, materi
terlarut dan suhu permukaan laut. Dengan
cakupan yang kasar, maka sensor ini dapat
memantau suatu lokasi setiap 3 hari.
SeaWiFSSatelit OrbView-2 (SeaStar) dengan sensor
satu-satunya SeaWiFS (Sea Viewing Wide
Field of View Sensor) dioperasikan oleh OSC,
Amerika. Beroperasi dari tahun 1997 -
sekarang. Sensor ini memiliki 8 band spektral
(402-885 nm) dengan resolusi spasial 9 dan
1.1 km. Produknya adalah peta konsentrasi
klorofil, suhu permukaan laut, batimetri,
turbiditas, dan pemantauan terumbu karang.
Karena besarnya cakupan citra, maka sensor ini dapat memantau kondisi laut
setiap hari.
Aqua – MODISSatelit Aqua (EOS PM-1) dengan sensor MODIS
(Moderate Resolution Imaging Spectro-
radiometer) dibuat oleh NASA, Amerika
diluncurkan tahun 2002 dan masih beroperasi
hingga sekarang. Sensor ini memiliki 36 band
spektral (620-965nm, 3660-14385 µm),
dengan 3 resolusi spektral (250m, 500m, dan
1 km). Band spektral 8-16 diperuntukan
khusus untuk pemantauan warna perairan.
Produknya adalah: sebaran konsentrasi
klorofil, suhu permukaan laut, turbiditas, dan kecerahan. Sedangkan untuk
aplikasi lainnya antara lain adalah untuk pemantauan aerosol, atmosfer, suhu
permukaan dll.
MERISSatelit ENVISAT yang dibuat oleh ESA, Eropa,
memiliki beberapa sensor, salah satunya
adalah MERIS (MEdium Resolution Imaging
Spectrometer). Satelit ini diluncurkan tahun
2002 dan masih beroperasi hingga sekarang.
Sensor ini memiliki 15 band spektral (412-
1050 nm) dengan resolusi spasial 300 dan
1200 meter. Produk sensor ini adalah:
konsentrasi klorofil, turbiditas, sedimen,
vegetasi, dan aerosol.
:www.ioccg.org /sensors/czcs.html
www.ioccg.org/sensors/octs.html
oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/IMAGES/seastar_orbit.jpg
ww.mumm.ac.be/ OceanColour/Sensors/modis.php
ww.mumm.ac.be/ OceanColour/Sensors/modis.php
www.ioccg.org/sensors/meris.html
25Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
26Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
NOAASatelit NOAA dibuat oleh NASA, Amerika
memiliki beberapa sensor yang salah satunya
adalah sensor AVHRR (Advanced Very High
Resolution Radiometer). Satelit ini sangat
terkenal, sejak diluncurkan tahun 1978
hingga satelit seri ke 18 yang diluncurkan
tahun 2005. Konstelasinya telah memberikan
informasi berguna di berbagai bidang studi
meteorologi dan lingkungan. Sensor AVHRR
memiliki 5 band spektral (580-1250 nm) dengan resolusi spasial 4 km dan 1.1
km. Produknya adalah: suhu permukaan laut dan daratan, anomali suhu
permukaan, pemetaan awan, deteksi es dan salju, batas air dan darat, deteksi
hot spot.
LANDSATSatelit LANDSAT pertama kali diluncurkan
tahun 1972 dan yang terbaru (Landsat 7
ETM+) diluncurkan tahun 1999. Satelit ini
dibuat oleh NASA, Amerika dan dioperasikan
oleh USGS, Amerika. Sensor ETM (Enhanced
Thematic Mapper) memiliki 7 band spektral
(450-2350 nm) dengan resolusi spasial 30 dan
60 meter, sedangkan band spektral ke 8
(520-9000 nm) memiliki resolusi 15 meter.
Satelit ini berguna bagi berbagai bidang studi
seperti pertanian, kehutanan, geologi, kelautan dll. Produknya adalah:
konsentrasi klorofil, turbiditas, sedimen, garis pantai, tutupan lahan, dll.
SPOTSatelit SPOT (Le Systéme Pour l’Observation
de la Terre)dengan sensor HRG (High
Resolution Geometry) dibuat oleh Perancis.
Diluncurkan tahun 1986, seri 5 diluncurkan
tahun 2002. SPOT 5 memiliki 4 band spektral
(500-1750 nm) dengan resolusi spasial 10 dan
20 meter, 2 band spektral pankromatik (480-
710 nm) dengan resolusi spasial 5 m dengan
hasil citra beresolusi 2.5 meter. Satelit SPOT
juga memiliki sensor VEGETATION dengan 4
band spektral (450 – 1750 nm) dengan
resolusi spasial 1 km. Produknya adalah: deteksi tumpahan minyak, sedimen,
garis pantai, tutupan lahan, DEM, tutupan vegetasi, dll.
TERRA – ASTERSatelit Terra (EOS AM-1) memiliki beberapa
sensor yang salah satunya adalah ASTER
(Advanced Spaceborne Thermal Emission and
Reflection Radiometer) yang dioperasikan
oleh GSFC-NASA, Amerika dan ERSDAC,
Jepang. Diluncurkan tahun 1999 dan masih
beroperasi hingga sekarang. Sensor ASTER
memiliki 14 band spektral yang dibagi
menjadi 3, VNIR (520-860 nm) beresolusi
spasial 15 meter, SWRI (1600-2430nm)
beresolusi 30 meter, dan TIR (8125-11650
nm) beresolusi 90 meter. Produknya adalah:
peta geologi, turbiditas, suhu permukaan darat dan laut, tutupan lahan, DEM,
dll.
TOPEX/PoseidonSatelit TOPEX/Poseidon dibuat oleh NASA
(Amerika) dan CNES (Perancis), diluncurkan
tahun 1992 yang kemudian dilanjutkan oleh
Jason-1 sejak tahun 2001 hingga kini.
Instrumen yang digunakan adalah radar
altimeter, beroperasi pada frekuensi 13.6
dan 5.3 GHz. Instrumen ini dikombinasikan
dengan instrumen lainnya seperti GPS, TMR
(TOPEX Microwave Radiometer) dan DORIS
untuk mengukur ketinggian permukaan laut
dengan akurasi pengukuran hingga 2.5 cm.
Produknya: anomali ketinggian permukaan laut, tinggi gelombang, kecepatan
angin, dan uap air.
RADARSATSatelit Radarsat dioperasikan oleh CSA
(Kanada) dan MDA (Amerika). Radarsat-1
diluncur-kan tahun 1995 dan Radarsat-2
direncanakan tahun 2006. Radarsat-1
dilengkapi sensor SAR (Synthetic Aperture
Radar) dengan frequensi 5.3 GHz. Sensor ini
dapat berfungsi dalam beberapa mode yang
menghasilkan citra dengan resolusi spasial
antara 8 hingga 100 meter. Aplikasinya
www.spaceflightnow.com/titan/g14/
landsat.gsfc.nasa.gov
telsat.belspo.be/ beo/en/satellites/spot.htm
asterweb.jpl.nasa.gov
www.jpl.nasa.gov
www.space.gc.ca/asc/eng/satellites/radarsat1/default.asp
27Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
28Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
NOAASatelit NOAA dibuat oleh NASA, Amerika
memiliki beberapa sensor yang salah satunya
adalah sensor AVHRR (Advanced Very High
Resolution Radiometer). Satelit ini sangat
terkenal, sejak diluncurkan tahun 1978
hingga satelit seri ke 18 yang diluncurkan
tahun 2005. Konstelasinya telah memberikan
informasi berguna di berbagai bidang studi
meteorologi dan lingkungan. Sensor AVHRR
memiliki 5 band spektral (580-1250 nm) dengan resolusi spasial 4 km dan 1.1
km. Produknya adalah: suhu permukaan laut dan daratan, anomali suhu
permukaan, pemetaan awan, deteksi es dan salju, batas air dan darat, deteksi
hot spot.
LANDSATSatelit LANDSAT pertama kali diluncurkan
tahun 1972 dan yang terbaru (Landsat 7
ETM+) diluncurkan tahun 1999. Satelit ini
dibuat oleh NASA, Amerika dan dioperasikan
oleh USGS, Amerika. Sensor ETM (Enhanced
Thematic Mapper) memiliki 7 band spektral
(450-2350 nm) dengan resolusi spasial 30 dan
60 meter, sedangkan band spektral ke 8
(520-9000 nm) memiliki resolusi 15 meter.
Satelit ini berguna bagi berbagai bidang studi
seperti pertanian, kehutanan, geologi, kelautan dll. Produknya adalah:
konsentrasi klorofil, turbiditas, sedimen, garis pantai, tutupan lahan, dll.
SPOTSatelit SPOT (Le Systéme Pour l’Observation
de la Terre)dengan sensor HRG (High
Resolution Geometry) dibuat oleh Perancis.
Diluncurkan tahun 1986, seri 5 diluncurkan
tahun 2002. SPOT 5 memiliki 4 band spektral
(500-1750 nm) dengan resolusi spasial 10 dan
20 meter, 2 band spektral pankromatik (480-
710 nm) dengan resolusi spasial 5 m dengan
hasil citra beresolusi 2.5 meter. Satelit SPOT
juga memiliki sensor VEGETATION dengan 4
band spektral (450 – 1750 nm) dengan
resolusi spasial 1 km. Produknya adalah: deteksi tumpahan minyak, sedimen,
garis pantai, tutupan lahan, DEM, tutupan vegetasi, dll.
TERRA – ASTERSatelit Terra (EOS AM-1) memiliki beberapa
sensor yang salah satunya adalah ASTER
(Advanced Spaceborne Thermal Emission and
Reflection Radiometer) yang dioperasikan
oleh GSFC-NASA, Amerika dan ERSDAC,
Jepang. Diluncurkan tahun 1999 dan masih
beroperasi hingga sekarang. Sensor ASTER
memiliki 14 band spektral yang dibagi
menjadi 3, VNIR (520-860 nm) beresolusi
spasial 15 meter, SWRI (1600-2430nm)
beresolusi 30 meter, dan TIR (8125-11650
nm) beresolusi 90 meter. Produknya adalah:
peta geologi, turbiditas, suhu permukaan darat dan laut, tutupan lahan, DEM,
dll.
TOPEX/PoseidonSatelit TOPEX/Poseidon dibuat oleh NASA
(Amerika) dan CNES (Perancis), diluncurkan
tahun 1992 yang kemudian dilanjutkan oleh
Jason-1 sejak tahun 2001 hingga kini.
Instrumen yang digunakan adalah radar
altimeter, beroperasi pada frekuensi 13.6
dan 5.3 GHz. Instrumen ini dikombinasikan
dengan instrumen lainnya seperti GPS, TMR
(TOPEX Microwave Radiometer) dan DORIS
untuk mengukur ketinggian permukaan laut
dengan akurasi pengukuran hingga 2.5 cm.
Produknya: anomali ketinggian permukaan laut, tinggi gelombang, kecepatan
angin, dan uap air.
RADARSATSatelit Radarsat dioperasikan oleh CSA
(Kanada) dan MDA (Amerika). Radarsat-1
diluncur-kan tahun 1995 dan Radarsat-2
direncanakan tahun 2006. Radarsat-1
dilengkapi sensor SAR (Synthetic Aperture
Radar) dengan frequensi 5.3 GHz. Sensor ini
dapat berfungsi dalam beberapa mode yang
menghasilkan citra dengan resolusi spasial
antara 8 hingga 100 meter. Aplikasinya
www.spaceflightnow.com/titan/g14/
landsat.gsfc.nasa.gov
telsat.belspo.be/ beo/en/satellites/spot.htm
asterweb.jpl.nasa.gov
www.jpl.nasa.gov
www.space.gc.ca/asc/eng/satellites/radarsat1/default.asp
27Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
28Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
adalah untuk pertanian, penggunaan lahan, pemantauan bencana alam dan
tumpahan minyak, peta kehutanan, geologi,
deteksi kapal, dll. ERSSatelit ERS dibuat oleh ESA (Eropa), seri 1
diluncurkan tahun 1991 dan seri ke 2 tahun
1995. Satelit ERS memiliki 7 instrumen, salah
satu-nya adalah Radar Altimetri yang bekerja
di panjang gelombang 13.8 GHz dan
memberikan informasi tinggi gelombang,
kecepatan angin permukaan, dan tinggi
permukaan laut. Sensor ATSR-1 memiliki 4
band spektral (1600-12000 nm) dan ATSR-2
memiliki tambahan 3 band (550-870 nm) yang
memberikan informasi suhu permukaan laut dan vegetasi. Sensor SAR bekerja
di frekuensi 5.3 GHz dan dapat menghasilkan citra dengan resolusi spasial <=
30 meter. Produk SAR antara lain: deteksi tumpahan minyak, batimetri
perairan dangkal, kondisi permukaan laut (internal wave, eddy, front), tutupan
lahan, fitur geomorfologi, dan peta interferometri.
Informasi lebih lanjut tentang satelit dan sensornya serta contoh data dapat
dilihat di website berikut:CZCS: podaac.jpl.nasa.gov:2031/SENSOR_DOCS/czcs.html dan
earthobservatory.nasa.gov/Observatory/Datasets/chlor.czcs.htmlOCTS: www.eorc.nasda.go.jp/ADEOS/Project/Octs.html dan
daac.gsfc.nasa.gov/data/datapool/OCTS/SeaWiFS: oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/ dan
earthobservatory.nasa.gov/Observatory/Datasets/bios.seawifs.htmlAqua-MODIS: modis.gsfc.nasa.gov/ dan www.ioccg.org/gallery/ aqua.htmlMERIS: envisat.esa.int/instruments/meris/ dan
visibleearth.nasa.gov/view_set.php?sensorName=MERISNOAA-AVHRR: noaasis.noaa.gov/NOAASIS/ml/avhrr.html dan
podaac.jpl.nasa.gov/sst/Landsat: landsat.gsfc.nasa.gov/ dan landsat.usgs.gov/SPOT: www.spotimage.fr/html/_.php dan spot4.cnes.fr/Terra-ASTER: terra.nasa.gov/About/ASTER/about_aster.html dan
imsweb.aster.ersdac.or.jp/ims/html/MainMenu/ MainMenu.htmlTOPEX/Poseidon: sealevel.jpl.nasa.gov/ dan
directory.eoportal.org/info_TOPEXPoseidonTopographyExperimentPoseidon.ht
mlRadarsat: www.space.gc.ca/asc/eng/satellites/radarsat1/ default.asp dan
ccrs.nrcan.gc.ca/radar/spaceborne/ radarsat1/index_e.phpERS: earth.esa.int/ers/ dan ceos.cnes.fr:8100/cdrom-
7/ceos1/satellit/ers/ers.htm
2.2 METODA PENGINDERAAN JAUH KELAUTANPemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk mendeteksi parameter bio-
fisik perairan yang kemudian digunakan untuk aplikasi yang lebih luas.
Parameter biologi laut yang dapat dideteksi antara lain kandungan klorofil-a,
produktivitas primer, dan dissolved organic. Parameter fisika laut mencakup
profil dasar perairan, endapan terlarut, suhu permukaan laut, gelombang
permukaan, modulasi gelombang permukaan, tinggi muka laut / sea surface
height (SSH), dan kontras surface reflectance. Data pada panjang gelombang
akustik dapat menghasilkan seismic reflection.
Data satelit Penginderaan Jauh Kelautan (PJK) untuk jenis sensor pasif yang
telah banyak dikaji dan diterapkan di Indonesia adalah data NOAA-AVHRR yang
merupakan satelit cuaca dan data ocean color (CZCS, OCTS, SeaWiFS, dan
MODIS). Secara sangat sederhana alur kerja dari penerapan teknologi
penginderaan jauh kelautan dapat dilihat pada Gambar 2.3 (urutan tahapan
kerja: kiri ke kanan).
Energi yang terekam oleh sensor satelit akan dikirim ke stasiun penerima data
satelit di bumi atau SGRS (satellite gound receiving station). Selanjutnya, data
tersebut diproses dengan menggunakan perangkat lunak / software image
processing untuk menghasilkan citra satelit digital yang berisi informasi
directory.eoportal.org/pres_ERS2EUROPEANREMOTESENSINGSATELLITE2.html
Gambar 2.3 Tahapan kerja dalam penginderaan jauh kelautan
29Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
30Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
adalah untuk pertanian, penggunaan lahan, pemantauan bencana alam dan
tumpahan minyak, peta kehutanan, geologi,
deteksi kapal, dll. ERSSatelit ERS dibuat oleh ESA (Eropa), seri 1
diluncurkan tahun 1991 dan seri ke 2 tahun
1995. Satelit ERS memiliki 7 instrumen, salah
satu-nya adalah Radar Altimetri yang bekerja
di panjang gelombang 13.8 GHz dan
memberikan informasi tinggi gelombang,
kecepatan angin permukaan, dan tinggi
permukaan laut. Sensor ATSR-1 memiliki 4
band spektral (1600-12000 nm) dan ATSR-2
memiliki tambahan 3 band (550-870 nm) yang
memberikan informasi suhu permukaan laut dan vegetasi. Sensor SAR bekerja
di frekuensi 5.3 GHz dan dapat menghasilkan citra dengan resolusi spasial <=
30 meter. Produk SAR antara lain: deteksi tumpahan minyak, batimetri
perairan dangkal, kondisi permukaan laut (internal wave, eddy, front), tutupan
lahan, fitur geomorfologi, dan peta interferometri.
Informasi lebih lanjut tentang satelit dan sensornya serta contoh data dapat
dilihat di website berikut:CZCS: podaac.jpl.nasa.gov:2031/SENSOR_DOCS/czcs.html dan
earthobservatory.nasa.gov/Observatory/Datasets/chlor.czcs.htmlOCTS: www.eorc.nasda.go.jp/ADEOS/Project/Octs.html dan
daac.gsfc.nasa.gov/data/datapool/OCTS/SeaWiFS: oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/ dan
earthobservatory.nasa.gov/Observatory/Datasets/bios.seawifs.htmlAqua-MODIS: modis.gsfc.nasa.gov/ dan www.ioccg.org/gallery/ aqua.htmlMERIS: envisat.esa.int/instruments/meris/ dan
visibleearth.nasa.gov/view_set.php?sensorName=MERISNOAA-AVHRR: noaasis.noaa.gov/NOAASIS/ml/avhrr.html dan
podaac.jpl.nasa.gov/sst/Landsat: landsat.gsfc.nasa.gov/ dan landsat.usgs.gov/SPOT: www.spotimage.fr/html/_.php dan spot4.cnes.fr/Terra-ASTER: terra.nasa.gov/About/ASTER/about_aster.html dan
imsweb.aster.ersdac.or.jp/ims/html/MainMenu/ MainMenu.htmlTOPEX/Poseidon: sealevel.jpl.nasa.gov/ dan
directory.eoportal.org/info_TOPEXPoseidonTopographyExperimentPoseidon.ht
mlRadarsat: www.space.gc.ca/asc/eng/satellites/radarsat1/ default.asp dan
ccrs.nrcan.gc.ca/radar/spaceborne/ radarsat1/index_e.phpERS: earth.esa.int/ers/ dan ceos.cnes.fr:8100/cdrom-
7/ceos1/satellit/ers/ers.htm
2.2 METODA PENGINDERAAN JAUH KELAUTANPemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk mendeteksi parameter bio-
fisik perairan yang kemudian digunakan untuk aplikasi yang lebih luas.
Parameter biologi laut yang dapat dideteksi antara lain kandungan klorofil-a,
produktivitas primer, dan dissolved organic. Parameter fisika laut mencakup
profil dasar perairan, endapan terlarut, suhu permukaan laut, gelombang
permukaan, modulasi gelombang permukaan, tinggi muka laut / sea surface
height (SSH), dan kontras surface reflectance. Data pada panjang gelombang
akustik dapat menghasilkan seismic reflection.
Data satelit Penginderaan Jauh Kelautan (PJK) untuk jenis sensor pasif yang
telah banyak dikaji dan diterapkan di Indonesia adalah data NOAA-AVHRR yang
merupakan satelit cuaca dan data ocean color (CZCS, OCTS, SeaWiFS, dan
MODIS). Secara sangat sederhana alur kerja dari penerapan teknologi
penginderaan jauh kelautan dapat dilihat pada Gambar 2.3 (urutan tahapan
kerja: kiri ke kanan).
Energi yang terekam oleh sensor satelit akan dikirim ke stasiun penerima data
satelit di bumi atau SGRS (satellite gound receiving station). Selanjutnya, data
tersebut diproses dengan menggunakan perangkat lunak / software image
processing untuk menghasilkan citra satelit digital yang berisi informasi
directory.eoportal.org/pres_ERS2EUROPEANREMOTESENSINGSATELLITE2.html
Gambar 2.3 Tahapan kerja dalam penginderaan jauh kelautan
29Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
30Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
mengenai kondisi bio-fisk lingkungan perairan seperti suhu permukaan laut
(SPL), klorofil (kesuburan perairan), TSM / total suspended matter (kekeruhan
perairan). Sebelum digunakan oleh pengguna, produk citra satelit tersebut
perlu dianalisis oleh ahli yang berkompeten dibidang aplikasi tertentu secara
multi disiplin ilmu.Resolusi spasial dari data satelit yang biasa digunakan untuk
kajian skala regional (cakupan seluruh wilayah Perairan Indonesia) adalah data
GAC (Global Area Coverage) dengan resolusi spasial >2 km. Untuk kajian semi-
lokal seperti perairan Laut Jawa sebaiknya digunakan data LAC (Local Area
Coverage) dengan resolusi spasial 0.5-1.1 km. Kedua jenis data tersebut
dimanfaatkan untuk menghasilkan informasi secara rutin mengenai kondisi bio-
fisik lingkungan perairan.
Data GAC dapat dipesan secara near-real time melalui akses internet dengan
prosedur yang tidak terlalu sulit. Sedangkan, pengadaan data LAC hanya
dimungkinkan dengan adanya SGRS untuk HRPT (High Resolution Picture
Transmission) yang mencakup wilayah Indonesia.
Data GAC dan arsip data LAC serta produknya seperti citra SPL dan klorofil-a
dapat diperoleh secara gratis antara lain melalui alamat homepage berikut:
http://daac.gsfc.nasa.gov/data http://oceancolor.gsfc.nasa.gov
Data LAC (NOAA, MODIS, Feng-Yun) secara near-real time dapat diperoleh dari
LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Antariksa Nasional) dan SEACORM
(Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring). Permasalahan yang sering dijumpai pada penerapan teknologi PJK sensor pasif
ini adalah intensitas tutupan awan yang tinggi di daerah tropis terutama pada
kondisi musim hujan (Desember-April). Padahal kajian data seri untuk perioda
waktu yang lama akan sangat bermanfaat untuk mengetahui perubahan
dinamika laut menurut ruang dan waktu yang antara lain dipicu oleh pengaruh
angin musiman. Untuk itu, diperlukan dukungan data lain dari satelit sensor
aktif (radar) serta dari teknologi lain seperti pemodelan hidrodinamika laut,
untuk melengkapi informasi / data yang 'bolong' karena tertutup awan. Riset dan pengembangan teknologi PJK mencakup berbagai aspek antara lain
akuisisi data termasuk pemrosesan dan analisisnya. Untuk memperoleh
informasi yang diinginkan, data tersebut perlu diproses dengan menggunakan
seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak (software) yang
disebut dengan image processing. Saat ini, cukup banyak software image
processing yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut, baik yang berbasis
komersial maupun open source termasuk juga software yang dikembangkan
sendiri oleh putra bangsa Indonesia.
Salah satu perangkat lunak berbasis open source tersebut adalah SeaDAS
(SeaWiFS Data Analysis System) yang dikembangkan oleh NASA (National
Aeronautics and Space Administration), Amerika pada tahun 1997. SeaDAS
merupakan paket analisis citra satelit secara komprehensif untuk memproses,
menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color
SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor) termasuk data ancillary-nya.
Dalam perkembangannya, software tersebut kini juga memiliki kemampuan
untuk memproses data satelit ocean color lainnya seperti CZCS (Coastal Zone
Color Scanner), ADEOS / OCTS (Ocean Color Thermal System), MODIS (Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer), dan MOS (Modular Optoelectronic
Scanner). Selain itu, dapat juga digunakan untuk menampilkan citra suhu
permukaan laut dari data AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer).
SeaDAS ini dilengkapi juga dengan software pemrograman IDL (Interactive Data
Language) yang memungkinkan sipengguna mengembang- kan aplikasinya.
Pemanfaatan software ini telah memberikan hasil yang cukup memuaskan baik
bagi komunitas pengguna maupun pengembang teknologi penginderaan jauh
dalam bidang aplikasi pesisir dan kelautan di Indonesia. SeaDAS dalam
beberapa versi dan IDL embedded termasuk prosedur instalasi dapat
didownload di http://seadas.gsfc.nasa.gov/.
Selanjutnya akan dijabarkan prosedur pembuatan peta lingkungan perairan
dari satelit yang secara rutin telah dimanfaatkan untuk pemantauan laut
Indonesia.
Suhu Permukaan Laut dari data NOAA-AVHRRCitra Suhu Permukaan Laut (SPL) dihasilkan dari data satelit NOAA-AVHRR
untuk kanal infra merah jauh yang memiliki kisaran panjang gelombang 3-14
um. Masing-masing satelit NOAA mampu memberikan informasi dua kali dalam
sehari dengan daerah pengamatan yang sama untuk data LAC dengan resolusi
spasial 1.1 km2. Prosedur umum dari pemrosesan data tersebut meliputi:
deteksi dan eliminasi awan, koreksi geometri, determinasi nilai brightness
temperature, dan koreksi atmosfer (Cracknell, 1997). Pengukuran radiasi dan
energi pada spektrum infra merah jauh yang dipancarkan oleh permukaan laut
hanya dapat memberikan informasi suhu air pada lapisan permukaan.
Prosedur koreksi atmosfer merupakan langkah yang penting dalam pemrosesan
data untuk menghasilkan citra SPL. Untuk Perairan Indonesia, metoda koreksi
atmosfer yang digunakan adalah split window dengan algoritma McMillin dan
31Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
32Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
mengenai kondisi bio-fisk lingkungan perairan seperti suhu permukaan laut
(SPL), klorofil (kesuburan perairan), TSM / total suspended matter (kekeruhan
perairan). Sebelum digunakan oleh pengguna, produk citra satelit tersebut
perlu dianalisis oleh ahli yang berkompeten dibidang aplikasi tertentu secara
multi disiplin ilmu.Resolusi spasial dari data satelit yang biasa digunakan untuk
kajian skala regional (cakupan seluruh wilayah Perairan Indonesia) adalah data
GAC (Global Area Coverage) dengan resolusi spasial >2 km. Untuk kajian semi-
lokal seperti perairan Laut Jawa sebaiknya digunakan data LAC (Local Area
Coverage) dengan resolusi spasial 0.5-1.1 km. Kedua jenis data tersebut
dimanfaatkan untuk menghasilkan informasi secara rutin mengenai kondisi bio-
fisik lingkungan perairan.
Data GAC dapat dipesan secara near-real time melalui akses internet dengan
prosedur yang tidak terlalu sulit. Sedangkan, pengadaan data LAC hanya
dimungkinkan dengan adanya SGRS untuk HRPT (High Resolution Picture
Transmission) yang mencakup wilayah Indonesia.
Data GAC dan arsip data LAC serta produknya seperti citra SPL dan klorofil-a
dapat diperoleh secara gratis antara lain melalui alamat homepage berikut:
http://daac.gsfc.nasa.gov/data http://oceancolor.gsfc.nasa.gov
Data LAC (NOAA, MODIS, Feng-Yun) secara near-real time dapat diperoleh dari
LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Antariksa Nasional) dan SEACORM
(Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring). Permasalahan yang sering dijumpai pada penerapan teknologi PJK sensor pasif
ini adalah intensitas tutupan awan yang tinggi di daerah tropis terutama pada
kondisi musim hujan (Desember-April). Padahal kajian data seri untuk perioda
waktu yang lama akan sangat bermanfaat untuk mengetahui perubahan
dinamika laut menurut ruang dan waktu yang antara lain dipicu oleh pengaruh
angin musiman. Untuk itu, diperlukan dukungan data lain dari satelit sensor
aktif (radar) serta dari teknologi lain seperti pemodelan hidrodinamika laut,
untuk melengkapi informasi / data yang 'bolong' karena tertutup awan. Riset dan pengembangan teknologi PJK mencakup berbagai aspek antara lain
akuisisi data termasuk pemrosesan dan analisisnya. Untuk memperoleh
informasi yang diinginkan, data tersebut perlu diproses dengan menggunakan
seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak (software) yang
disebut dengan image processing. Saat ini, cukup banyak software image
processing yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut, baik yang berbasis
komersial maupun open source termasuk juga software yang dikembangkan
sendiri oleh putra bangsa Indonesia.
Salah satu perangkat lunak berbasis open source tersebut adalah SeaDAS
(SeaWiFS Data Analysis System) yang dikembangkan oleh NASA (National
Aeronautics and Space Administration), Amerika pada tahun 1997. SeaDAS
merupakan paket analisis citra satelit secara komprehensif untuk memproses,
menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color
SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor) termasuk data ancillary-nya.
Dalam perkembangannya, software tersebut kini juga memiliki kemampuan
untuk memproses data satelit ocean color lainnya seperti CZCS (Coastal Zone
Color Scanner), ADEOS / OCTS (Ocean Color Thermal System), MODIS (Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer), dan MOS (Modular Optoelectronic
Scanner). Selain itu, dapat juga digunakan untuk menampilkan citra suhu
permukaan laut dari data AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer).
SeaDAS ini dilengkapi juga dengan software pemrograman IDL (Interactive Data
Language) yang memungkinkan sipengguna mengembang- kan aplikasinya.
Pemanfaatan software ini telah memberikan hasil yang cukup memuaskan baik
bagi komunitas pengguna maupun pengembang teknologi penginderaan jauh
dalam bidang aplikasi pesisir dan kelautan di Indonesia. SeaDAS dalam
beberapa versi dan IDL embedded termasuk prosedur instalasi dapat
didownload di http://seadas.gsfc.nasa.gov/.
Selanjutnya akan dijabarkan prosedur pembuatan peta lingkungan perairan
dari satelit yang secara rutin telah dimanfaatkan untuk pemantauan laut
Indonesia.
Suhu Permukaan Laut dari data NOAA-AVHRRCitra Suhu Permukaan Laut (SPL) dihasilkan dari data satelit NOAA-AVHRR
untuk kanal infra merah jauh yang memiliki kisaran panjang gelombang 3-14
um. Masing-masing satelit NOAA mampu memberikan informasi dua kali dalam
sehari dengan daerah pengamatan yang sama untuk data LAC dengan resolusi
spasial 1.1 km2. Prosedur umum dari pemrosesan data tersebut meliputi:
deteksi dan eliminasi awan, koreksi geometri, determinasi nilai brightness
temperature, dan koreksi atmosfer (Cracknell, 1997). Pengukuran radiasi dan
energi pada spektrum infra merah jauh yang dipancarkan oleh permukaan laut
hanya dapat memberikan informasi suhu air pada lapisan permukaan.
Prosedur koreksi atmosfer merupakan langkah yang penting dalam pemrosesan
data untuk menghasilkan citra SPL. Untuk Perairan Indonesia, metoda koreksi
atmosfer yang digunakan adalah split window dengan algoritma McMillin dan
31Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
32Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Crosby (1984). Algoritma perhitungan SPL tersebut telah divalidasi oleh Marine
Research of the Australia's Commonwealth Scientific and Industrial Research
Organisation (CSIRO, Australia) dengan menggunakan data pengukuran in situ
yang sebagian mencakup wilayah perairan Samudra India (Komunikasi pribadi
dengan Paul Tildesley dari CSIRO, Hobart). Persamaan matematis dari
algoritma tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
SPL ( K) = T + 2.702 * (T - T ) - 273.734 4 5
dimana, SPL adalah nilai suhu permukaan laut dalam derajat Kelvin;T adalah brightness temperature untuk kanal 4 (10500-11500 nm);4
T adalah brightness temperature untuk kanal 5 (1150012500 nm).5
Verifikasi algoritma SPL untuk Perairan Indonesia telah dilakukan oleh BPPT
dengan menggunakan data pengukuran in situ di Samudra India, laut Jawa,
Selat Bali, Selat Lombok, dan Selat Sunda. Prosedur validasi tersebut
º
menghasilkan akurasi yang lebih tinggi yaitu 0.8C dan 1.5C untuk data AVHRR
LAC yang direkam pada malam dan siang hari (Farahidy dkk, 1996; Hendiarti
dan Lestiana, 1999). Data AVHRR yang direkam pada malam hari menghasilkan
tingkat ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan data siang hari. Dimana, pada siang hari terbentuk termoklin diurnal dekat lapisan permukaan
yang menyebabkan kondisi pada lapisan tersebut menjadi kurang akurat untuk
menggambarkan nilai SPL dari kolom air tersebut.
Contoh citra SPL dari data MODIS GAC yang dapat didownload dalam format
'hdf' dan gambar melalui alamat homepage NASA diperlihatkan pada Gambar
2.4. Analisis yang dapat dilakukan terhadap citra satelit tersebut hanya
kualitatif untuk kajian regional seperti terlihat bahwa Samudra Pasifik Barat
memiliki sebaran SPL yang lebih hangat (warna oranye) dibandingkan dengan
Samudra India (warna kuning).
Tingkat ketelitian dari informasi yang dihasilkan juga lebih rendah
dibandingkan produk dari data AVHRR, karena sensor MODIS hanya merekam
data pada siang hari yang merupakan kondisi kurang optimal untuk perhitungan
SPL namun optimal untuk pengukuran kandungan material dalam air. Contoh
produk SPL dari data LAC dengan resolusi spasial 1.1 km disajikan dalam
Juli Agustus September
2002
2003
2004
2005
SPL (C)
Gambar 2.4 Pengamatan regional: Citra SPL dari tahun 2002 2005 pada bulan Juli sampai September.Pada perioda tersebut, kondisi perairan Samudra Pasifik lebih hangat dibandingkan Samudra India;masa air dari Pasifik barat bergerak masuk ke perairan Indonesia menuju samudra India (Arlindo).
Sumber : GSFC-NASA
Gambar 2.5. Pengamatan semi-lokal: Citra SPL pada 28 Agustus 2001 memperlihatkan fenomenaupwelling di Selatan Jawa ditunjukkan dengan sebaran SPL lebih rendah dengan warna biru.
33Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
34Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Crosby (1984). Algoritma perhitungan SPL tersebut telah divalidasi oleh Marine
Research of the Australia's Commonwealth Scientific and Industrial Research
Organisation (CSIRO, Australia) dengan menggunakan data pengukuran in situ
yang sebagian mencakup wilayah perairan Samudra India (Komunikasi pribadi
dengan Paul Tildesley dari CSIRO, Hobart). Persamaan matematis dari
algoritma tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
SPL ( K) = T + 2.702 * (T - T ) - 273.734 4 5
dimana, SPL adalah nilai suhu permukaan laut dalam derajat Kelvin;T adalah brightness temperature untuk kanal 4 (10500-11500 nm);4
T adalah brightness temperature untuk kanal 5 (1150012500 nm).5
Verifikasi algoritma SPL untuk Perairan Indonesia telah dilakukan oleh BPPT
dengan menggunakan data pengukuran in situ di Samudra India, laut Jawa,
Selat Bali, Selat Lombok, dan Selat Sunda. Prosedur validasi tersebut
º
menghasilkan akurasi yang lebih tinggi yaitu 0.8C dan 1.5C untuk data AVHRR
LAC yang direkam pada malam dan siang hari (Farahidy dkk, 1996; Hendiarti
dan Lestiana, 1999). Data AVHRR yang direkam pada malam hari menghasilkan
tingkat ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan data siang hari. Dimana, pada siang hari terbentuk termoklin diurnal dekat lapisan permukaan
yang menyebabkan kondisi pada lapisan tersebut menjadi kurang akurat untuk
menggambarkan nilai SPL dari kolom air tersebut.
Contoh citra SPL dari data MODIS GAC yang dapat didownload dalam format
'hdf' dan gambar melalui alamat homepage NASA diperlihatkan pada Gambar
2.4. Analisis yang dapat dilakukan terhadap citra satelit tersebut hanya
kualitatif untuk kajian regional seperti terlihat bahwa Samudra Pasifik Barat
memiliki sebaran SPL yang lebih hangat (warna oranye) dibandingkan dengan
Samudra India (warna kuning).
Tingkat ketelitian dari informasi yang dihasilkan juga lebih rendah
dibandingkan produk dari data AVHRR, karena sensor MODIS hanya merekam
data pada siang hari yang merupakan kondisi kurang optimal untuk perhitungan
SPL namun optimal untuk pengukuran kandungan material dalam air. Contoh
produk SPL dari data LAC dengan resolusi spasial 1.1 km disajikan dalam
Juli Agustus September
2002
2003
2004
2005
SPL (C)
Gambar 2.4 Pengamatan regional: Citra SPL dari tahun 2002 2005 pada bulan Juli sampai September.Pada perioda tersebut, kondisi perairan Samudra Pasifik lebih hangat dibandingkan Samudra India;masa air dari Pasifik barat bergerak masuk ke perairan Indonesia menuju samudra India (Arlindo).
Sumber : GSFC-NASA
Gambar 2.5. Pengamatan semi-lokal: Citra SPL pada 28 Agustus 2001 memperlihatkan fenomenaupwelling di Selatan Jawa ditunjukkan dengan sebaran SPL lebih rendah dengan warna biru.
33Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
34Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 2.5.
Kandungan Material dalam Air dari Data Satelit Ocean ColorTeknologi penginderaan jauh kelautan dapat digunakan untuk memantau
sebaran material organik (klorofil-a) dan material anorganik (sedimen terlarut)
yang terkait dengan kesuburan dan kekeruhan perairan mulai dari cakupan
regional hingga lokal.
Citra satelit dapat menyajikan hasil dari proses interaksi antara gelombang
energi matahari (Tenaga Elektro Magnetik = TEM) dengan perairan termasuk
material yang dikandungnya (gambar 2.6). Sensor ocean color SeaWiFS dan
MODIS menerima radiasi matahari dalam spektrum sinar tampak (400-700 nm)
dari gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh lapisan permukaan
perairan dan yang dihamburkan oleh atmosfer. Radiasi pantulan ini
mengandung informasi sifat bio-optik air laut yang diakibatkan oleh adanya
bahan tersuspensi dan terlarut pada air laut tersebut, serta membentuk warna
perairan (Gordon dan Morel, 1983). Pada umumnya bahan-bahan sedimen
anorganik, fitoplankton dan produk-produk turunannya, bahan-bahan hasil
penghancuran organisme laut dan terestrial (disebut juga material kuning atau
“yellow substance”) menjadi bahan utama yang mempengaruhi kenampakan
warna air laut.
Gambar 2.6 Sistem penginderaan jauh satelit ocean color.
Fitoplankton menyerap energi cahaya pada panjang gelombang pendek
sehingga terlihat adanya penurunan besarnya energi yang dipantulkan pada
panjang gelombang tersebut. Penyerapan dan penghamburan energi cahaya
oleh material organik dan inorganik menyebabkan naiknya besar energi pada
panjang gelombang biru-hijau (blue-green).Data satelit ocean color dapat dikelompokkan menjadi 3 tingkatan (level) yang
berbeda yaitu level 1 (1A dan 1B), 2, dan 3. Prosedur pemrosesan data ocean
color SeaWIFS diperlihatkan dalam Gambar 2.7. Level 1A berisi total radiasi
yang terekam oleh sensor (Lt), dimana mencakup komponen informasi lainnya
dari atmosfer dan laut dalam volume yang besar. Data level 2 merupakan
produk dengan nilai radiasi yang telah terkoreksi atmosfer dan informasi
mengenai parameter fisika dan biologi (klorofil-a dan material terlarut). Data
level 3 merupakan citra hasil komposit. Pada prosedur pemrosesan ini, koreksi
atmosfer merupakan tahapan yang terpenting untuk memperoleh hasil yang
maksimal. Kesuburan Perairan (konsentrasi klorofil-a perairan)Citra klorofil-a merupakan salah satu produk dari data satelit ocean color
seperti Satelit SeaStar dengan sensor SeaWiFS (Sea Viewing Wide Field of View
Sensor) dan Satelit Aqua dengan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer). Informasi ini diperoleh sekali dalam sehari dan diakuisisi
pada siang hari dengan ketelitian spasial 1.1 Km2. Satelit SeaStar yang lebih
dikenal dengan SeaWiFS, dirancang untuk memperoleh informasi tentang
Gambar 2.7 Prosedur pemrosesan data SeaWIFS (Senga, 2002).
35Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
36Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 2.5.
Kandungan Material dalam Air dari Data Satelit Ocean ColorTeknologi penginderaan jauh kelautan dapat digunakan untuk memantau
sebaran material organik (klorofil-a) dan material anorganik (sedimen terlarut)
yang terkait dengan kesuburan dan kekeruhan perairan mulai dari cakupan
regional hingga lokal.
Citra satelit dapat menyajikan hasil dari proses interaksi antara gelombang
energi matahari (Tenaga Elektro Magnetik = TEM) dengan perairan termasuk
material yang dikandungnya (gambar 2.6). Sensor ocean color SeaWiFS dan
MODIS menerima radiasi matahari dalam spektrum sinar tampak (400-700 nm)
dari gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh lapisan permukaan
perairan dan yang dihamburkan oleh atmosfer. Radiasi pantulan ini
mengandung informasi sifat bio-optik air laut yang diakibatkan oleh adanya
bahan tersuspensi dan terlarut pada air laut tersebut, serta membentuk warna
perairan (Gordon dan Morel, 1983). Pada umumnya bahan-bahan sedimen
anorganik, fitoplankton dan produk-produk turunannya, bahan-bahan hasil
penghancuran organisme laut dan terestrial (disebut juga material kuning atau
“yellow substance”) menjadi bahan utama yang mempengaruhi kenampakan
warna air laut.
Gambar 2.6 Sistem penginderaan jauh satelit ocean color.
Fitoplankton menyerap energi cahaya pada panjang gelombang pendek
sehingga terlihat adanya penurunan besarnya energi yang dipantulkan pada
panjang gelombang tersebut. Penyerapan dan penghamburan energi cahaya
oleh material organik dan inorganik menyebabkan naiknya besar energi pada
panjang gelombang biru-hijau (blue-green).Data satelit ocean color dapat dikelompokkan menjadi 3 tingkatan (level) yang
berbeda yaitu level 1 (1A dan 1B), 2, dan 3. Prosedur pemrosesan data ocean
color SeaWIFS diperlihatkan dalam Gambar 2.7. Level 1A berisi total radiasi
yang terekam oleh sensor (Lt), dimana mencakup komponen informasi lainnya
dari atmosfer dan laut dalam volume yang besar. Data level 2 merupakan
produk dengan nilai radiasi yang telah terkoreksi atmosfer dan informasi
mengenai parameter fisika dan biologi (klorofil-a dan material terlarut). Data
level 3 merupakan citra hasil komposit. Pada prosedur pemrosesan ini, koreksi
atmosfer merupakan tahapan yang terpenting untuk memperoleh hasil yang
maksimal. Kesuburan Perairan (konsentrasi klorofil-a perairan)Citra klorofil-a merupakan salah satu produk dari data satelit ocean color
seperti Satelit SeaStar dengan sensor SeaWiFS (Sea Viewing Wide Field of View
Sensor) dan Satelit Aqua dengan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer). Informasi ini diperoleh sekali dalam sehari dan diakuisisi
pada siang hari dengan ketelitian spasial 1.1 Km2. Satelit SeaStar yang lebih
dikenal dengan SeaWiFS, dirancang untuk memperoleh informasi tentang
Gambar 2.7 Prosedur pemrosesan data SeaWIFS (Senga, 2002).
35Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
36Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
kondisi lautan melalui kenampakan warna pada perairan yang direkamnya.
Dengan 6 kanal pada cahaya tampak dan dua kanal pada inframerah dekat,
sensor SeaWiFS sangat baik untuk mendeteksi tingkat kehijauan (klorofil-a) di
suatu perairan. Satelit AQUA yang membawa sensor multikanal MODIS
diharapkan informasi oseanografi yang diperoleh dapat lebih baik dan akurat.
Hal ini dikarenakan MODIS memiliki 36 kanal spectral yang bekerja pada
kisaran gelombang visible dan infra merah (1-19 dan 26) dan termal pada
kanal-kanal selebihnya. Kisaran gelombang pada kanal-kanal yang dimilikinya
yang lebih sempit tersebut diharapkan menghasilkan informasi parameter yang
lebih baik dan akurat.
Algoritma multi-scattering yang menggunakan band 670/865 nm dengan iterasi
infra merah dekat di perangkat lunak SeaDAS 4 adalah prosedur yang
direkomendasikan untuk koreksi atmosfer di perairan Indonesia (Hendiarti,
2003).
Algoritma yang digunakan untuk menghitung kandungan klorofil dari citra
SeaWiFS dan MODIS adalah OC4 (Ocean Chlorophyll 4-band) versi 4. Algoritma
OC4 ini dibuat dan dikembangkan untuk perairan dengan konsentrasi klorofil
rendah (di bawah 0.03 mg/m3) ke tinggi (di atas 1.0 mg/m3) berdasarkan
basis data in situ global dan hasil prediksi dari model bio-optik. Persamaan
empiris algoritma ini menggunakan ratio nilai nLw tertinggi untuk kanal 443,
490, 510 dan 555 nm (O'Reilly dkk., 2000).Algoritma OC4 memiliki akurasi lebih baik dibandingkan algoritma klorofil
lainnya seperti OC2 (Ocean Chlorophyll 2-band) dengan tingkat ketelitian 35%
(Hooker et al., 1992).
Untuk Perairan Indonesia, koefisien korelasi antara konsentrasi klorofil-a yang
diperoleh dari citra SeaWiFS dan hasil pengukuran lapangan di permukaan
perairan pada perioda pengamatan Agustus 2000 Juli 2001 berkisar 0.26-0.42
untuk perairan keruh /pesisir dan 0.65-0.81 untuk perairan laut (Hendiarti,
)532.1649.0930.1067.3366.0( 432
10)44(RRRR
vOCChla
)555(
)555(
)510(
)510(,
)490(
)490(,
)443(
)443(max
0000 F
nL
F
nL
F
nL
F
nLR wwww
F0 adalah nilai irradiance dari extraterrestrial solar.
Juli Agustus September
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 2.8 Pengamatan regional: pola sebaran klorofil-a pada bulan Juli sampai September.Konsentrasi klorofil tinggi (> 0.5 mg/m3) ditunjukkan dengan warna hijau-kuning-merah.
Sumber : GSFC-NASA
37Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
38Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
kondisi lautan melalui kenampakan warna pada perairan yang direkamnya.
Dengan 6 kanal pada cahaya tampak dan dua kanal pada inframerah dekat,
sensor SeaWiFS sangat baik untuk mendeteksi tingkat kehijauan (klorofil-a) di
suatu perairan. Satelit AQUA yang membawa sensor multikanal MODIS
diharapkan informasi oseanografi yang diperoleh dapat lebih baik dan akurat.
Hal ini dikarenakan MODIS memiliki 36 kanal spectral yang bekerja pada
kisaran gelombang visible dan infra merah (1-19 dan 26) dan termal pada
kanal-kanal selebihnya. Kisaran gelombang pada kanal-kanal yang dimilikinya
yang lebih sempit tersebut diharapkan menghasilkan informasi parameter yang
lebih baik dan akurat.
Algoritma multi-scattering yang menggunakan band 670/865 nm dengan iterasi
infra merah dekat di perangkat lunak SeaDAS 4 adalah prosedur yang
direkomendasikan untuk koreksi atmosfer di perairan Indonesia (Hendiarti,
2003).
Algoritma yang digunakan untuk menghitung kandungan klorofil dari citra
SeaWiFS dan MODIS adalah OC4 (Ocean Chlorophyll 4-band) versi 4. Algoritma
OC4 ini dibuat dan dikembangkan untuk perairan dengan konsentrasi klorofil
rendah (di bawah 0.03 mg/m3) ke tinggi (di atas 1.0 mg/m3) berdasarkan
basis data in situ global dan hasil prediksi dari model bio-optik. Persamaan
empiris algoritma ini menggunakan ratio nilai nLw tertinggi untuk kanal 443,
490, 510 dan 555 nm (O'Reilly dkk., 2000).Algoritma OC4 memiliki akurasi lebih baik dibandingkan algoritma klorofil
lainnya seperti OC2 (Ocean Chlorophyll 2-band) dengan tingkat ketelitian 35%
(Hooker et al., 1992).
Untuk Perairan Indonesia, koefisien korelasi antara konsentrasi klorofil-a yang
diperoleh dari citra SeaWiFS dan hasil pengukuran lapangan di permukaan
perairan pada perioda pengamatan Agustus 2000 Juli 2001 berkisar 0.26-0.42
untuk perairan keruh /pesisir dan 0.65-0.81 untuk perairan laut (Hendiarti,
)532.1649.0930.1067.3366.0( 432
10)44(RRRR
vOCChla
)555(
)555(
)510(
)510(,
)490(
)490(,
)443(
)443(max
0000 F
nL
F
nL
F
nL
F
nLR wwww
F0 adalah nilai irradiance dari extraterrestrial solar.
Juli Agustus September
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 2.8 Pengamatan regional: pola sebaran klorofil-a pada bulan Juli sampai September.Konsentrasi klorofil tinggi (> 0.5 mg/m3) ditunjukkan dengan warna hijau-kuning-merah.
Sumber : GSFC-NASA
37Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
38Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
2003). Validasi dilakukan di 92 stasiun pada perairan Samudra India, Selat
Sunda, Teluk Pelabuhan Ratu, dan perairan pesisir Timur Lampung.
Pada beberapa kondisi, konsentrasi klorofil-a dari citra ocean color tersebut
ditemukan lebih tinggi dari data lapangan, diduga karena kontribusi klorofil
maksimum di kedalaman. Untuk mengurangi efek ini yang bergantung pada
tingkat penyerapan cahaya di kolom air, dimana suatu prosedur dengan
menggunakan konsentrasi permukaan weighted harus diterapkan. Setelah
dilakukan prosedur koreksi weighted tersebut, tingkat ketelitian dari produk
citra klorofil tersebut meningkat 2-6% untuk perairan laut (Hendiarti, 2003).
Gambar 2.8 memperlihatkan citra klorofil-a yang dihasilkan dari data satelit
GAC ocean color SeaWiFS dan MODIS Aqua dengan resolusi spasial 4-9 km untuk
kajian regional. Hasil pengamatan selama 8 tahun (1998-2005) menunjukkan
bahwa kondisi lingkungan biologi perairan Indonesia pada lapisan paling atas
atau di zona eufotik sangat dinamis, dan fenomena ini juga memiliki korelasi
yang significant dengan potensi perikanan tangkap. Analisis terhadap sebaran
klorofil-a perairan dari menunjukkan kesuburan perairan yang tinggi dengan
konsentrasi klorofil-a tidak kurang dari 0.5 mg/m3 dan penyebarannya yang
lebih luas dijumpai pada bulan Juni-September, puncaknya Agustus terutama di
Samudra Hindia, Laut Jawa, Laut Seram, Laut Banda, Selat Karimata, Selat
Makassar selatan, dan Laut Arafuru. Sedangkan konsentrasi tinggi tersebut di
Laut Aru terjadi sepanjang tahun. Citra satelit klorofil-a secara lengkap dapat
TSS = 005860.0*03040.0
001004.0*5296.0
555
555
R
R
dilihat pada lampiran-A dalam buku ini atau dapat juga didownload di alamat:
http://www.tisda.org/indoo.
Contoh produk citra klorofil dari data LAC yang diterapkan untuk kajian
fenomena semi-lokal dan lokal disajikan dalam Gambar 2.9.
Kekeruhan Perairan (Konsentrasi Endapan Terlarut)Data yang digunakan untuk menghitung konsentrasi endapan terlarut sebagai
salah satu indikator dalam menentukan tingkat kekeruhan perairan adalah juga
data satelit ocean color seperti SeaWiFS dan MODIS. Algoritma yang digunakan untuk menghitung kandungan endapan terlarut (TSM)
dari citra SeaWiFS adalah algoritma yang dikembangkan oleh Institute for
Environmental Studies at the Vrije Universiteit, Amsterdam dengan
menggunakan pantulan energi cahaya dari permukaan pada kanal 555nm
(Dekker and Hoogenboom, 1997). Persamaan empirisnya dapat dijabarkan
sebagai berikut:dimana, adalah pantulan energi cahaya dari permukaan air pada kanal
555nm.
Algoritma TSM ini dikembangkan untuk perairan North Sea, dengan akurasi
555R
MODIS, 28 Juli 2003, 06.10 GMT
Gambar 2.9 Pengamatan semi-lokal: sebaran klorofil-a pada bulan Juni dan Juli 2003memperlihatkan perubahan pola sebaran dipicu oleh fenomena upwelling di selatan Jawa dan Selat
Sunda pada bulan Juli (kandungan klorofil yang tinggi, warna merah).
01.2003
01.2005
04.2003
04.2005
07.2003
07.2005
01.2003
01.2005
04.2003
04.2005
07.2003
07.2005
01.2003
01.2005
04.2003
04.2005
07.2003
07.2005
Gambar 2.10 Pengamatan regional: pola sebaran kekeruhan perairan pada bulan Juli sampaiSeptember. Kekeruhan perairan tinggi ditunjukkan dengan warna kuning-merah.
39Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
40Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
2003). Validasi dilakukan di 92 stasiun pada perairan Samudra India, Selat
Sunda, Teluk Pelabuhan Ratu, dan perairan pesisir Timur Lampung.
Pada beberapa kondisi, konsentrasi klorofil-a dari citra ocean color tersebut
ditemukan lebih tinggi dari data lapangan, diduga karena kontribusi klorofil
maksimum di kedalaman. Untuk mengurangi efek ini yang bergantung pada
tingkat penyerapan cahaya di kolom air, dimana suatu prosedur dengan
menggunakan konsentrasi permukaan weighted harus diterapkan. Setelah
dilakukan prosedur koreksi weighted tersebut, tingkat ketelitian dari produk
citra klorofil tersebut meningkat 2-6% untuk perairan laut (Hendiarti, 2003).
Gambar 2.8 memperlihatkan citra klorofil-a yang dihasilkan dari data satelit
GAC ocean color SeaWiFS dan MODIS Aqua dengan resolusi spasial 4-9 km untuk
kajian regional. Hasil pengamatan selama 8 tahun (1998-2005) menunjukkan
bahwa kondisi lingkungan biologi perairan Indonesia pada lapisan paling atas
atau di zona eufotik sangat dinamis, dan fenomena ini juga memiliki korelasi
yang significant dengan potensi perikanan tangkap. Analisis terhadap sebaran
klorofil-a perairan dari menunjukkan kesuburan perairan yang tinggi dengan
konsentrasi klorofil-a tidak kurang dari 0.5 mg/m3 dan penyebarannya yang
lebih luas dijumpai pada bulan Juni-September, puncaknya Agustus terutama di
Samudra Hindia, Laut Jawa, Laut Seram, Laut Banda, Selat Karimata, Selat
Makassar selatan, dan Laut Arafuru. Sedangkan konsentrasi tinggi tersebut di
Laut Aru terjadi sepanjang tahun. Citra satelit klorofil-a secara lengkap dapat
TSS = 005860.0*03040.0
001004.0*5296.0
555
555
R
R
dilihat pada lampiran-A dalam buku ini atau dapat juga didownload di alamat:
http://www.tisda.org/indoo.
Contoh produk citra klorofil dari data LAC yang diterapkan untuk kajian
fenomena semi-lokal dan lokal disajikan dalam Gambar 2.9.
Kekeruhan Perairan (Konsentrasi Endapan Terlarut)Data yang digunakan untuk menghitung konsentrasi endapan terlarut sebagai
salah satu indikator dalam menentukan tingkat kekeruhan perairan adalah juga
data satelit ocean color seperti SeaWiFS dan MODIS. Algoritma yang digunakan untuk menghitung kandungan endapan terlarut (TSM)
dari citra SeaWiFS adalah algoritma yang dikembangkan oleh Institute for
Environmental Studies at the Vrije Universiteit, Amsterdam dengan
menggunakan pantulan energi cahaya dari permukaan pada kanal 555nm
(Dekker and Hoogenboom, 1997). Persamaan empirisnya dapat dijabarkan
sebagai berikut:dimana, adalah pantulan energi cahaya dari permukaan air pada kanal
555nm.
Algoritma TSM ini dikembangkan untuk perairan North Sea, dengan akurasi
555R
MODIS, 28 Juli 2003, 06.10 GMT
Gambar 2.9 Pengamatan semi-lokal: sebaran klorofil-a pada bulan Juni dan Juli 2003memperlihatkan perubahan pola sebaran dipicu oleh fenomena upwelling di selatan Jawa dan Selat
Sunda pada bulan Juli (kandungan klorofil yang tinggi, warna merah).
01.2003
01.2005
04.2003
04.2005
07.2003
07.2005
01.2003
01.2005
04.2003
04.2005
07.2003
07.2005
01.2003
01.2005
04.2003
04.2005
07.2003
07.2005
Gambar 2.10 Pengamatan regional: pola sebaran kekeruhan perairan pada bulan Juli sampaiSeptember. Kekeruhan perairan tinggi ditunjukkan dengan warna kuning-merah.
39Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
40Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
tidak melebihi 15-20% (Hesselmans dkk., 2000). Pola sebaran TSS yang
dihasilkan akan dibandingkan dengan nilai pengukuran lapangan.
Sedangkan untuk data MODIS Aqua, kekeruhan perairan dilihat dari nilai energi
cahaya yang dipantulkan dari permukaan pada panjang gelombang 510 nm.
Analisis yang dilakukan secara visual pada citra MODIS level 3 tersebut
menghasilkan informasi sebaran material terlarut secara kualitatif seperti
terlihat pada Gambar 2.10.
Parameter lain yang terekam adalah bilangan pokok pengurang menegak atau
disebut dengan attenuation coefficient yang diukur pada panjang gelombang
490 nm (Kd 490). Bilangan ini dihitung dari rata-rata di kedalaman dari
permukaan air hingga kedalaman maksimum dimana sinar matahari dapat
menembus. Bilangan ini mengindikasikan hilangnya cahaya sinar tampak yang
menembus di kedalaman air. Kisaran nilainya dari 0,03 yang mewakili air laut
dimana cahaya matahari dapat menembus sampai kedalaman sekitar 75 m dan
0,5 yang mewakili air di pesisir yang turbid dimana sinar matahari hanya
mencapai kurangdari 5 m. Bilangan pokok ini bisa di interpretasikan menjadi
kecerahan perairan yang biasanya secara manual diukur dengan menggunakan
metoda secchi-disk.
Fenomena Biologi LautBiologi laut sebenarnya bercerita mengenai kehidupan di laut yang sangat
kompleks seperti halnya kehidupan di daratan. Plankton dan sumberdaya ikan
merupakan komponen penting dalam memahami kehidupan di laut dan
ekosistem di pesisir perairan. Nontji (2006) menjabarkan plankton sebagai
makhluk hidup (tumbuhan/ fitoplankton dan hewan/zooplankton) yang
mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan
renangnya sangat terbatas sehingga selalu terbawa hanyut oleh arus.
Fitoplankton sebagai rantai dasar makanan di laut sebagian besar tumbuh dan
berkembang biak pada zona eufotik, yaitu lapisan kedalaman dengan intensitas
cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis atau produksi
fitoplankton. Selain itu, untuk tumbuh dan berkembangbiak fitoplankton juga
membutuhkan supply zat hara yang umumnya berasal dari daratan.
Terkait dengan penjelasan di atas, fenomena biologi laut yang dapat dipantau
dengan menerapkan teknologi penginderaan jauh adalah:1. Limpasan zat hara2. Kesuburan Perairan3. Algae Bloom4. Penentuan zona perikanan tangkap pelagis
Untuk keperluan analisis sebaran partikel dalam air, perlu ditambahkan juga
citra satelit SSH (sea surface height/ tinggi muka laut) dari data TOPEX
POSEIDON untuk menghasilkan informasi mengenai pola arus permukaan.
Riset dan pengembangan teknologi penginderaan jauh untuk pemantauan
fenomena biologi laut Indonesia menjadi penting mengingat luasnya cakupan
perairan Indonesia dan sangat dinamisnya perubahan, serta termanfaatkannya
sumberdaya perikanan laut kita secara optimal dan bijaksana. Selain itu,
kemajuan teknologi penginderaan jauh kelautan menuntut kita untuk
meningkatkan kemampuan terapannya di perairan Indonesia jika kita tidak
menginginkan bangsa lain yang terus menerus memanfaatkan potensi
sumberdaya alam kita
Kesuburan perairan merupakan indikator yang sangat penting bagi
perkembangan perikanan laut kita, bahkan lebih penting dibandingkan dengan
parameter suhu perairan khususnya untuk wilayah perairan berlintang rendah
seperti Perairan Indonesia.
Di masa sekarang dan mendatang, data satelit penginderaan jauh ocean color
dapat diaplikasikan untuk memetakan kesuburan perairan secara spasial dan
rutin dari data sebaran klorofil-a di permukaan (kompas tanggal 27/11/2003).
Dengan pengamatan / pengukuran dalam jangka waktu yang lama dan secara
terus menerus, maka dapat dipantau perubahannya, selanjutnya di masa
mendatang daerah penangkapan ikan pelagis dapat di duga dari data
penginderaan jauh dengan multi-sensor.
Berdasarkan validasi model dengan pengukuran lapangan, informasi yang
diperoleh dari teknologi tersebut cukup baik. Meskipun idealnya, upaya
penerapan teknologi ini perlu didukung dengan program riset untuk validasi
dari keakuratan informasi / produk yang dihasilkan oleh data satelit tersebut
yang sebenarnya didasarkan pada pendekatan model global, dengan melakukan
pengukuran lapangan secara rutin pada beberapa lokasi strategis dan yang
telah ditetapkan sebagai stasiun validasi.
Kandungan material dalam air dari data Landsat 7 ETM+Data satelit resolusi spasial tinggi diperlukan untuk kajian skala lokal ( >100
m). Salah satunya adalah data Landsat yang memiliki resolusi spasial 30 m.
Sensor satelit Landsat ETM memiliki 3 kanal yang merekam pada kisaran
panjang gelombang sinar tampak yaitu pada kanal 1 (450-520 nm), kanal 2
(530-610 nm) dan kanal 3 (630-690 nm). Informasi besarnya radiance/energi
yang terekam pada kanal-kanal tersebut dapat digunakan untuk memetakan
sebaran spasial klorofil-a perairan secara kuantitatif dan sebaran material
endapan terlarut secara kualitatif.
Untuk menghitung konsentrasi klorofil-a, digunakan persamaan matematis
yang diadaptasi dari Chuqun Chen (2003) dimana variable-nya adalah nilai
41Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
42Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
tidak melebihi 15-20% (Hesselmans dkk., 2000). Pola sebaran TSS yang
dihasilkan akan dibandingkan dengan nilai pengukuran lapangan.
Sedangkan untuk data MODIS Aqua, kekeruhan perairan dilihat dari nilai energi
cahaya yang dipantulkan dari permukaan pada panjang gelombang 510 nm.
Analisis yang dilakukan secara visual pada citra MODIS level 3 tersebut
menghasilkan informasi sebaran material terlarut secara kualitatif seperti
terlihat pada Gambar 2.10.
Parameter lain yang terekam adalah bilangan pokok pengurang menegak atau
disebut dengan attenuation coefficient yang diukur pada panjang gelombang
490 nm (Kd 490). Bilangan ini dihitung dari rata-rata di kedalaman dari
permukaan air hingga kedalaman maksimum dimana sinar matahari dapat
menembus. Bilangan ini mengindikasikan hilangnya cahaya sinar tampak yang
menembus di kedalaman air. Kisaran nilainya dari 0,03 yang mewakili air laut
dimana cahaya matahari dapat menembus sampai kedalaman sekitar 75 m dan
0,5 yang mewakili air di pesisir yang turbid dimana sinar matahari hanya
mencapai kurangdari 5 m. Bilangan pokok ini bisa di interpretasikan menjadi
kecerahan perairan yang biasanya secara manual diukur dengan menggunakan
metoda secchi-disk.
Fenomena Biologi LautBiologi laut sebenarnya bercerita mengenai kehidupan di laut yang sangat
kompleks seperti halnya kehidupan di daratan. Plankton dan sumberdaya ikan
merupakan komponen penting dalam memahami kehidupan di laut dan
ekosistem di pesisir perairan. Nontji (2006) menjabarkan plankton sebagai
makhluk hidup (tumbuhan/ fitoplankton dan hewan/zooplankton) yang
mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan
renangnya sangat terbatas sehingga selalu terbawa hanyut oleh arus.
Fitoplankton sebagai rantai dasar makanan di laut sebagian besar tumbuh dan
berkembang biak pada zona eufotik, yaitu lapisan kedalaman dengan intensitas
cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis atau produksi
fitoplankton. Selain itu, untuk tumbuh dan berkembangbiak fitoplankton juga
membutuhkan supply zat hara yang umumnya berasal dari daratan.
Terkait dengan penjelasan di atas, fenomena biologi laut yang dapat dipantau
dengan menerapkan teknologi penginderaan jauh adalah:1. Limpasan zat hara2. Kesuburan Perairan3. Algae Bloom4. Penentuan zona perikanan tangkap pelagis
Untuk keperluan analisis sebaran partikel dalam air, perlu ditambahkan juga
citra satelit SSH (sea surface height/ tinggi muka laut) dari data TOPEX
POSEIDON untuk menghasilkan informasi mengenai pola arus permukaan.
Riset dan pengembangan teknologi penginderaan jauh untuk pemantauan
fenomena biologi laut Indonesia menjadi penting mengingat luasnya cakupan
perairan Indonesia dan sangat dinamisnya perubahan, serta termanfaatkannya
sumberdaya perikanan laut kita secara optimal dan bijaksana. Selain itu,
kemajuan teknologi penginderaan jauh kelautan menuntut kita untuk
meningkatkan kemampuan terapannya di perairan Indonesia jika kita tidak
menginginkan bangsa lain yang terus menerus memanfaatkan potensi
sumberdaya alam kita
Kesuburan perairan merupakan indikator yang sangat penting bagi
perkembangan perikanan laut kita, bahkan lebih penting dibandingkan dengan
parameter suhu perairan khususnya untuk wilayah perairan berlintang rendah
seperti Perairan Indonesia.
Di masa sekarang dan mendatang, data satelit penginderaan jauh ocean color
dapat diaplikasikan untuk memetakan kesuburan perairan secara spasial dan
rutin dari data sebaran klorofil-a di permukaan (kompas tanggal 27/11/2003).
Dengan pengamatan / pengukuran dalam jangka waktu yang lama dan secara
terus menerus, maka dapat dipantau perubahannya, selanjutnya di masa
mendatang daerah penangkapan ikan pelagis dapat di duga dari data
penginderaan jauh dengan multi-sensor.
Berdasarkan validasi model dengan pengukuran lapangan, informasi yang
diperoleh dari teknologi tersebut cukup baik. Meskipun idealnya, upaya
penerapan teknologi ini perlu didukung dengan program riset untuk validasi
dari keakuratan informasi / produk yang dihasilkan oleh data satelit tersebut
yang sebenarnya didasarkan pada pendekatan model global, dengan melakukan
pengukuran lapangan secara rutin pada beberapa lokasi strategis dan yang
telah ditetapkan sebagai stasiun validasi.
Kandungan material dalam air dari data Landsat 7 ETM+Data satelit resolusi spasial tinggi diperlukan untuk kajian skala lokal ( >100
m). Salah satunya adalah data Landsat yang memiliki resolusi spasial 30 m.
Sensor satelit Landsat ETM memiliki 3 kanal yang merekam pada kisaran
panjang gelombang sinar tampak yaitu pada kanal 1 (450-520 nm), kanal 2
(530-610 nm) dan kanal 3 (630-690 nm). Informasi besarnya radiance/energi
yang terekam pada kanal-kanal tersebut dapat digunakan untuk memetakan
sebaran spasial klorofil-a perairan secara kuantitatif dan sebaran material
endapan terlarut secara kualitatif.
Untuk menghitung konsentrasi klorofil-a, digunakan persamaan matematis
yang diadaptasi dari Chuqun Chen (2003) dimana variable-nya adalah nilai
41Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
42Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
pixel pada kanal 1 (gelombang sinar tampak biru) dan kanal 3 (sinar tampak
merah). Berikut adalah rumus persamaan perhitungan klorofil-a:
Chl-a = 86.963*(TM3/TM1) - 24.283
Dimana TM3 dan TM1 adalah nilai pixel kanal 3 dan 1. Dengan rumus
persamaan ini, akurasi rata-rata untuk perairan pesisir di Teluk Daya China
adalah kurang dari 20% (Chuqun Chen, 2003). Nilai akurasi ini lebih kecil jika
dibandingkan dengan akurasi klorofil-a yang dapat diperoleh jika menggunakan
data SeaWiFS yaitu 35% (Hendiarti, 2004) dengan rumus persamaan khusus
untuk data SeaWiFS.Studi pengamatan kandungan klorofil-a di sekitar Pulau Jawa menggunakan
citra Landsat 7 ETM+ yang diakuisisi pada tahun 2002. Gambar 2.11
menampilkan mosaik dari citra klorofil tersebut.Masing-masing tanggal akusisi citra tertera pada setiap citranya. Warna putih
adalah pulau dan warna ungu diatas pulau menunjukkan sungai. Pada
umumnya citra diakuisisi pada pertengahan hingga akhir tahun, yaitu sekitar
musim Timur.
Terlihat beberapa lokasi di pesisir yang menunjukkan nilai klorofil yang lebih
tinggi dari sekitarnya, misalnya di Jawa barat: sekitar Ujung Kulon sampai
Tanjung Karangtaraja dan sebelah utara di teluk Jakarta, di Jawa Tengah di
sebelah utara Rembang, Laguna Segara Anakan, sebelah selatan Karangbolong
Gambar 2.11 Mosaik citra Klorofil Pulau Jawa dan sekitarnya dari data satelit Landsat ETM 2002
29 Juni ‘02
28 Mei ‘02
23 Agus ‘02
6 Juli ‘0230 Agus ‘02
30 Agus ‘02
6 Sept ‘02
4 Juli ‘02
27 Juli ‘02
12 Agus ‘02
20 Sept ‘02
19 Agus ‘02
23 Juni ‘02
22 Mei ‘02
rendah tinggi
Gambar 2.12 Kiri: Citra klorofil-a menunjukkan sebaran klorofil-a pada 23 Juni 2002 di wilayahpesisir Kabupaten Serang; Abu-abu adalah daratan. Kanan: Citra single band kanal 2 (570 nm)
menunjukkan sebaran partikel anorganik (endapan terlarutTSM) secara kualitatif; sebaran dengankonsentrasi TSM yang relatif tinggi dijumpai pada perairan Teluk Banten.
Gambar 2.13 Desa Tengkurak dan Pedaleman yang terletak disebelah kanan kabupaten Serang.Terlihat di kawasan pesisir ini banyak kegiatan aqua kultur atau tambak. Di muara dua sungaiterlihat pola sebaran sedimen. Dan terlihat juga bahwa air di kedua sungai tersebut banyak
mengandung partikel seperti lumpur.
43Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
44Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
pixel pada kanal 1 (gelombang sinar tampak biru) dan kanal 3 (sinar tampak
merah). Berikut adalah rumus persamaan perhitungan klorofil-a:
Chl-a = 86.963*(TM3/TM1) - 24.283
Dimana TM3 dan TM1 adalah nilai pixel kanal 3 dan 1. Dengan rumus
persamaan ini, akurasi rata-rata untuk perairan pesisir di Teluk Daya China
adalah kurang dari 20% (Chuqun Chen, 2003). Nilai akurasi ini lebih kecil jika
dibandingkan dengan akurasi klorofil-a yang dapat diperoleh jika menggunakan
data SeaWiFS yaitu 35% (Hendiarti, 2004) dengan rumus persamaan khusus
untuk data SeaWiFS.Studi pengamatan kandungan klorofil-a di sekitar Pulau Jawa menggunakan
citra Landsat 7 ETM+ yang diakuisisi pada tahun 2002. Gambar 2.11
menampilkan mosaik dari citra klorofil tersebut.Masing-masing tanggal akusisi citra tertera pada setiap citranya. Warna putih
adalah pulau dan warna ungu diatas pulau menunjukkan sungai. Pada
umumnya citra diakuisisi pada pertengahan hingga akhir tahun, yaitu sekitar
musim Timur.
Terlihat beberapa lokasi di pesisir yang menunjukkan nilai klorofil yang lebih
tinggi dari sekitarnya, misalnya di Jawa barat: sekitar Ujung Kulon sampai
Tanjung Karangtaraja dan sebelah utara di teluk Jakarta, di Jawa Tengah di
sebelah utara Rembang, Laguna Segara Anakan, sebelah selatan Karangbolong
Gambar 2.11 Mosaik citra Klorofil Pulau Jawa dan sekitarnya dari data satelit Landsat ETM 2002
29 Juni ‘02
28 Mei ‘02
23 Agus ‘02
6 Juli ‘0230 Agus ‘02
30 Agus ‘02
6 Sept ‘02
4 Juli ‘02
27 Juli ‘02
12 Agus ‘02
20 Sept ‘02
19 Agus ‘02
23 Juni ‘02
22 Mei ‘02
rendah tinggi
Gambar 2.12 Kiri: Citra klorofil-a menunjukkan sebaran klorofil-a pada 23 Juni 2002 di wilayahpesisir Kabupaten Serang; Abu-abu adalah daratan. Kanan: Citra single band kanal 2 (570 nm)
menunjukkan sebaran partikel anorganik (endapan terlarutTSM) secara kualitatif; sebaran dengankonsentrasi TSM yang relatif tinggi dijumpai pada perairan Teluk Banten.
Gambar 2.13 Desa Tengkurak dan Pedaleman yang terletak disebelah kanan kabupaten Serang.Terlihat di kawasan pesisir ini banyak kegiatan aqua kultur atau tambak. Di muara dua sungaiterlihat pola sebaran sedimen. Dan terlihat juga bahwa air di kedua sungai tersebut banyak
mengandung partikel seperti lumpur.
43Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
44Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
dan Yogyakarta, di Jawa Timur: di Tanjung Pangkah hingga Pasuruan dan
Tanjung Panggang dekat Pulau Bali.
Tinjauan lebih rinci tentang sebaran klorofil dan TSM di perairan sekitar Teluk
Banten, ditujukan pada Gambar 2.12. Citra klorofil (kiri) memperlihatkan
sebaran klorofil-a dengan kisaran konsentrasi klorofil-a antara 11 dan
53mg/m3. Gambar 2.12 kanan Sebaran TSM dapat diperlihatkan secara
kualitatif dengan citra single band untuk kanal 2 (570 nm), yaitu gelombang
sinar tampak hijau, dimana citra tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi
sebaran partikel anorganik (endapan terlarut, TSM) secara kualitatif. Sebaran
partikel anorganik tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi yang relatif lebih
tinggi juga dijumpai pada pesisir Teluk Banten dan sekitarnya.Kedua parameter lingkungan, yaitu klorofil-a dan partikel endapan terlarut
dapat digunakan untuk menentukan tingkat kekeruhan perairan, yang
selanjutnya hasil tersebut masih perlu diverifikasi dengan menggunakan data
pengukuran lapangan.
Untuk mengetahui pemicu tingginya kandungan partikel endapan terlarut dan
klorofil pada sekitar Desa Tangkurak dan Pedaleman (pesisir timur Provinsi
Banten). Hasil analisis tutupan lahan pesisir menunjukkan pada zona tersebut
terdapat banyak budidaya tambak (Gambar 2.13). Gambar 2.13 menampilkan
citra TERRA-ASTER dengan resolusi spasial 15 meter yang diakuisisi pada
tanggal 2 April 2004. Gambar ini ditampilkan menggunakan kombinasi RGB
dimana warna hijau menunjukkan tanaman/tumbuhan. Hal ini dilakukan
dengan menggunakan persamaan 3*(band1+band3)/4 pada warna hijau (G),
band 2 pada warna merah (R) dan band 1 pada warna biru (B).
DAFTAR PUSTAKAAllan T.D., 1992. The Marine Environment, International Journal of Remote
Sensing, 13 (6-7), hal. 1261-1276.Allan T.D., 1993. Satellite Microwave Remote Sensing, Ellis Horwood Ltd., UK,
526 hal.Chen, C., 2003. Satellite remotely-sensed technique and its application for
monitoring the environment in coastal water, Proceedings the Eleventh
Workshop of OMISAR (WOM-11) on the Application and Networking of
Satellite Data, hal. 11-1.Cracknell, A.P., 1997. AVHRR data applications. Ellis Horword Limited,
England, hal. 182-200.Dekker, A.G. and Hoogenboom H.J., 1997. Operational tools for remote
sensing of water quality: A prototype toolkit. BCSR report NRSP-2, hal. 96-
18.Edward J., 1999. Application of Satellite and Airborne Image Data to Coastal
Management, UNESCO, Paris.Farahidy, I., Hendiarti, N., Wooster, M., Patterson, G., 1996. Validating
remotely sensed estimates of sea surface temperature in support of
marine monitoring programmes in East Java waters. Proceeding of
Workshop on direct reception of satellite data for integrated and
sustainable environmental monitoring in Indonesia, hal. 3.1-3.12.Gordon, H. R., and Morel, A.Y., 1983. Remote assessment of ocean colour for
interpretation of satellite visible imagery. Springer-verlag, 114 halaman.Hendiarti, N., 2003. Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian
Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany,
93 halaman.Hendiarti, N., 2003. Satelit Pemantau Fitoplankton. Tulisan di Inspirasi Kompas
Tanggal 27 November 2003.
Hendiarti, N., Frederik, M., Andiastuti, Retno A., 2006, Laporan analisis Data
ASTER dan Landsat ETM+ untuk Studi Tutupan Lahan Wilayah Pesisir,
Sebaran Klorofil-a dan Kekeruhan Perairan Kabupaten SerangHendiarti, N., Frederik, M., Sanjaya, H., Amri, K., Andiastuti, R., 2003.
Laporan Akhir, Pekerjaan Bidang Penerapan Teknologi Penginderaan Jauh
Untuk Karakterisasi River Discharge Dan Kajian Awal Dampaknya Terhadap
Ekosistem Pesisir Sungai Siak Riau, Kerjasama Indonesia Jerman Untuk
Bidang Kelautan Dan Ilmu Kebumian, P3 TISDA - BPPT, Jakarta, 40
halaman.Hendiarti, N., Lestiana, H., 1999. Validation of SST images derived from
AVHRR of NOAA-12 in Sunda Strait. Proceeding of Workshop on validation
of remote sensing data for fisheries, Jakarta, hal. 3.8- 3.21.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal
processes in Indonesian waters using SeaWiFS data, Deep Sea Research
Part II 51 (2004): 85-97.Hesselmans, G.H.F.M., Calkoen, C.J., Wensik, G.J., SAS, M., Trouw, K., 2000.
Monitoring changes to bathymetry and sediment transport regimes caused
by port development (MOCCASSIN), ARGOSS, 49 halaman.Hooker, S.B., Esaias, W., Feldman, E., Gregg, W.W. and McClain, C.R., 1992.
An overview of SeaWiFS and Ocean Color. NASA Tech. Memo 104566, Vol. 1,
edited by S.B. Hooker and E.R. Firestone, NASA Goddard Space Flight
Center, Greenbelt Maryland, 24 halaman. Jones, Ian S.F., Sugimori, Y., Stewart, RW, Kenkyusha, Seibutsu, 1993. Satellite
Remote Sensing of Oceanic Environment, Tokyo, Japan.Mark, R. A., Chelton, D. B., 1991. Advances in Passive Remote Sensing of the
Ocean, Rev. Geophys. Supplement, hal. 571-589.McMillin, L.M., Crosby, D.S., 1984. Theory and validation of the multiple
window sea surface temperature technique. J. Geophys Res (89): 3655-
3661.Nontji, A., 2006. Tiada Kehidupan di Bumi tanpa Keberadaan PLANKTON, LIPI,
Jakarta, 248 halaman.O'Reilly, J.E., and 24 Coauthors, 2000. SeaWiFS Postlaunch Calibration and
45Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
46Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
dan Yogyakarta, di Jawa Timur: di Tanjung Pangkah hingga Pasuruan dan
Tanjung Panggang dekat Pulau Bali.
Tinjauan lebih rinci tentang sebaran klorofil dan TSM di perairan sekitar Teluk
Banten, ditujukan pada Gambar 2.12. Citra klorofil (kiri) memperlihatkan
sebaran klorofil-a dengan kisaran konsentrasi klorofil-a antara 11 dan
53mg/m3. Gambar 2.12 kanan Sebaran TSM dapat diperlihatkan secara
kualitatif dengan citra single band untuk kanal 2 (570 nm), yaitu gelombang
sinar tampak hijau, dimana citra tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi
sebaran partikel anorganik (endapan terlarut, TSM) secara kualitatif. Sebaran
partikel anorganik tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi yang relatif lebih
tinggi juga dijumpai pada pesisir Teluk Banten dan sekitarnya.Kedua parameter lingkungan, yaitu klorofil-a dan partikel endapan terlarut
dapat digunakan untuk menentukan tingkat kekeruhan perairan, yang
selanjutnya hasil tersebut masih perlu diverifikasi dengan menggunakan data
pengukuran lapangan.
Untuk mengetahui pemicu tingginya kandungan partikel endapan terlarut dan
klorofil pada sekitar Desa Tangkurak dan Pedaleman (pesisir timur Provinsi
Banten). Hasil analisis tutupan lahan pesisir menunjukkan pada zona tersebut
terdapat banyak budidaya tambak (Gambar 2.13). Gambar 2.13 menampilkan
citra TERRA-ASTER dengan resolusi spasial 15 meter yang diakuisisi pada
tanggal 2 April 2004. Gambar ini ditampilkan menggunakan kombinasi RGB
dimana warna hijau menunjukkan tanaman/tumbuhan. Hal ini dilakukan
dengan menggunakan persamaan 3*(band1+band3)/4 pada warna hijau (G),
band 2 pada warna merah (R) dan band 1 pada warna biru (B).
DAFTAR PUSTAKAAllan T.D., 1992. The Marine Environment, International Journal of Remote
Sensing, 13 (6-7), hal. 1261-1276.Allan T.D., 1993. Satellite Microwave Remote Sensing, Ellis Horwood Ltd., UK,
526 hal.Chen, C., 2003. Satellite remotely-sensed technique and its application for
monitoring the environment in coastal water, Proceedings the Eleventh
Workshop of OMISAR (WOM-11) on the Application and Networking of
Satellite Data, hal. 11-1.Cracknell, A.P., 1997. AVHRR data applications. Ellis Horword Limited,
England, hal. 182-200.Dekker, A.G. and Hoogenboom H.J., 1997. Operational tools for remote
sensing of water quality: A prototype toolkit. BCSR report NRSP-2, hal. 96-
18.Edward J., 1999. Application of Satellite and Airborne Image Data to Coastal
Management, UNESCO, Paris.Farahidy, I., Hendiarti, N., Wooster, M., Patterson, G., 1996. Validating
remotely sensed estimates of sea surface temperature in support of
marine monitoring programmes in East Java waters. Proceeding of
Workshop on direct reception of satellite data for integrated and
sustainable environmental monitoring in Indonesia, hal. 3.1-3.12.Gordon, H. R., and Morel, A.Y., 1983. Remote assessment of ocean colour for
interpretation of satellite visible imagery. Springer-verlag, 114 halaman.Hendiarti, N., 2003. Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian
Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany,
93 halaman.Hendiarti, N., 2003. Satelit Pemantau Fitoplankton. Tulisan di Inspirasi Kompas
Tanggal 27 November 2003.
Hendiarti, N., Frederik, M., Andiastuti, Retno A., 2006, Laporan analisis Data
ASTER dan Landsat ETM+ untuk Studi Tutupan Lahan Wilayah Pesisir,
Sebaran Klorofil-a dan Kekeruhan Perairan Kabupaten SerangHendiarti, N., Frederik, M., Sanjaya, H., Amri, K., Andiastuti, R., 2003.
Laporan Akhir, Pekerjaan Bidang Penerapan Teknologi Penginderaan Jauh
Untuk Karakterisasi River Discharge Dan Kajian Awal Dampaknya Terhadap
Ekosistem Pesisir Sungai Siak Riau, Kerjasama Indonesia Jerman Untuk
Bidang Kelautan Dan Ilmu Kebumian, P3 TISDA - BPPT, Jakarta, 40
halaman.Hendiarti, N., Lestiana, H., 1999. Validation of SST images derived from
AVHRR of NOAA-12 in Sunda Strait. Proceeding of Workshop on validation
of remote sensing data for fisheries, Jakarta, hal. 3.8- 3.21.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal
processes in Indonesian waters using SeaWiFS data, Deep Sea Research
Part II 51 (2004): 85-97.Hesselmans, G.H.F.M., Calkoen, C.J., Wensik, G.J., SAS, M., Trouw, K., 2000.
Monitoring changes to bathymetry and sediment transport regimes caused
by port development (MOCCASSIN), ARGOSS, 49 halaman.Hooker, S.B., Esaias, W., Feldman, E., Gregg, W.W. and McClain, C.R., 1992.
An overview of SeaWiFS and Ocean Color. NASA Tech. Memo 104566, Vol. 1,
edited by S.B. Hooker and E.R. Firestone, NASA Goddard Space Flight
Center, Greenbelt Maryland, 24 halaman. Jones, Ian S.F., Sugimori, Y., Stewart, RW, Kenkyusha, Seibutsu, 1993. Satellite
Remote Sensing of Oceanic Environment, Tokyo, Japan.Mark, R. A., Chelton, D. B., 1991. Advances in Passive Remote Sensing of the
Ocean, Rev. Geophys. Supplement, hal. 571-589.McMillin, L.M., Crosby, D.S., 1984. Theory and validation of the multiple
window sea surface temperature technique. J. Geophys Res (89): 3655-
3661.Nontji, A., 2006. Tiada Kehidupan di Bumi tanpa Keberadaan PLANKTON, LIPI,
Jakarta, 248 halaman.O'Reilly, J.E., and 24 Coauthors, 2000. SeaWiFS Postlaunch Calibration and
45Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
46Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB IIIPenginderaan Jauh untuk Perikanan Tangkap Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin, M. Sadly
Potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Indonesia sampai saat ini
masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Dari 6.8 juta ton/tahun
potensi perikanan tangkap Indonesia, hampir 50%nya yaitu sebesar 3.2 juta
ton/tahun adalah potensi ikan pelagis dengan tingkat pemanfaatan 46.6%
sehingga masih ada peluang untuk dikembangkan terutama di wilayah perairan
Indonesia Timur (Tim fish stock nasional, 2001).
Dukungan teknologi diperlukan untuk meningkatkan nilai pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Salah satu caranya yaitu
dengan mengetahui daerah potensi penangkapan ikan pelagis melalui
penerapan teknologi penginderaan jauh, nelayan dapat lebih mengefektifkan
waktu berlayarnya, menghemat biaya dan dapat meningkatkan hasil
tangkapannya. Sejak tahun 1998, teknologi penginderaan jauh kelautan ini
telah diterapkan oleh instansi pemerintah terkait (BPPT: 1998-1999 sebagai
rintisan; LAPAN: 1999-sekarang; BRKP: 2000-sekarang) untuk deteksi zona
penangkapan ikan pelagis. Data satelit yang dipakai adalah citra suhu
permukaan laut, klorofil-a, tinggi muka laut, dan arus permukaan laut.
Informasi lokasi penangkapan ikan dihasilkan dengan cara identifikasi tidak
langsung. Data suhu permukaan laut dari satelit digunakan untuk
mengidentifikasi fenomena pengangkatan massa air (upwelling) ataupun
pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front). Data sebaran kandungan
klorofil-a perairan digunakan menjadi indikator tingkat kesuburan dan
kelimpahan makanan bagi ikan. Data tinggi muka laut digunakan untuk
mendeteksi arus dan menduga arah pergerakan kumpulan ikan pelagis.
Sejalan dengan terus berkembangnya teknologi penginderaan jauh kelautan,
diperlukan upaya untuk meningkatkan akurasi, inovasi, otomatisasi sistem dari
pemanfaatan teknologi tersebut. Pembangunan sistem informasi perikanan
tangkap terpadu yang juga memperhatikan faktor pemanfatan sumberdaya
ikan yang berkelanjutan juga sangat diperlukan.
Secara ilmiah diketahui bahwa perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem
pola angin muson memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi
antara musim. Dimana pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke
arah timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang
dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut
Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat
(Wyrtki, K. 1961). Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan
terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Chlo
rop
hylla
(mg
/m3)
Selat SundaLaut Jawa
Pesisir S. IndiaSelat Bali
Bulan
25
26
27
28
29
30
31
32
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
SPL(C)
Selat SundaLaut Jawa
Pesisir S. IndiaSelat Bali
Gambar 3.1 (kiri) Citra klorofil dari data MODIS pada 24 Agustus 2004; (bawah) Perubahan rata-ratabulanan dari SPL dan klorofil dari data tahun 1997-2004. Peningkatan pertumbuhan fitoplankton dipesisir Samudra India disebabkan oleh upwelling dijumpai pada bulan Juni-Oktober. Peningkatan
nilai SPL di Laut Jawa dan Selat Sunda mungkin disebabkan oleh banyaknya limpasan air sungai padamusim transisi (Maret-Mei). (Hendiarti dkk., 2005).
47Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
48Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB IIIPenginderaan Jauh untuk Perikanan Tangkap Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin, M. Sadly
Potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Indonesia sampai saat ini
masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Dari 6.8 juta ton/tahun
potensi perikanan tangkap Indonesia, hampir 50%nya yaitu sebesar 3.2 juta
ton/tahun adalah potensi ikan pelagis dengan tingkat pemanfaatan 46.6%
sehingga masih ada peluang untuk dikembangkan terutama di wilayah perairan
Indonesia Timur (Tim fish stock nasional, 2001).
Dukungan teknologi diperlukan untuk meningkatkan nilai pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Salah satu caranya yaitu
dengan mengetahui daerah potensi penangkapan ikan pelagis melalui
penerapan teknologi penginderaan jauh, nelayan dapat lebih mengefektifkan
waktu berlayarnya, menghemat biaya dan dapat meningkatkan hasil
tangkapannya. Sejak tahun 1998, teknologi penginderaan jauh kelautan ini
telah diterapkan oleh instansi pemerintah terkait (BPPT: 1998-1999 sebagai
rintisan; LAPAN: 1999-sekarang; BRKP: 2000-sekarang) untuk deteksi zona
penangkapan ikan pelagis. Data satelit yang dipakai adalah citra suhu
permukaan laut, klorofil-a, tinggi muka laut, dan arus permukaan laut.
Informasi lokasi penangkapan ikan dihasilkan dengan cara identifikasi tidak
langsung. Data suhu permukaan laut dari satelit digunakan untuk
mengidentifikasi fenomena pengangkatan massa air (upwelling) ataupun
pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front). Data sebaran kandungan
klorofil-a perairan digunakan menjadi indikator tingkat kesuburan dan
kelimpahan makanan bagi ikan. Data tinggi muka laut digunakan untuk
mendeteksi arus dan menduga arah pergerakan kumpulan ikan pelagis.
Sejalan dengan terus berkembangnya teknologi penginderaan jauh kelautan,
diperlukan upaya untuk meningkatkan akurasi, inovasi, otomatisasi sistem dari
pemanfaatan teknologi tersebut. Pembangunan sistem informasi perikanan
tangkap terpadu yang juga memperhatikan faktor pemanfatan sumberdaya
ikan yang berkelanjutan juga sangat diperlukan.
Secara ilmiah diketahui bahwa perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem
pola angin muson memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi
antara musim. Dimana pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke
arah timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang
dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut
Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat
(Wyrtki, K. 1961). Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan
terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Chlo
rop
hylla
(mg
/m3)
Selat SundaLaut Jawa
Pesisir S. IndiaSelat Bali
Bulan
25
26
27
28
29
30
31
32
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
SPL(C)
Selat SundaLaut Jawa
Pesisir S. IndiaSelat Bali
Gambar 3.1 (kiri) Citra klorofil dari data MODIS pada 24 Agustus 2004; (bawah) Perubahan rata-ratabulanan dari SPL dan klorofil dari data tahun 1997-2004. Peningkatan pertumbuhan fitoplankton dipesisir Samudra India disebabkan oleh upwelling dijumpai pada bulan Juni-Oktober. Peningkatan
nilai SPL di Laut Jawa dan Selat Sunda mungkin disebabkan oleh banyaknya limpasan air sungai padamusim transisi (Maret-Mei). (Hendiarti dkk., 2005).
47Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
48Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
tinggi rendahnya produktivitas perairan. Untuk itu, hubungan antara parameter lingkungan perairan yang dapat
dipantau dengan satelit penginderaan jauh dan keberadaan ikan perlu dikaji
secara lebih komprehesif. Berikut ini adalah contoh dari hasil kajian mengenai
korelasi antara variasi musiman dari sebaran kandungan klorofil-a dan
keberadaan ikan pelagis di perairan. Pengamatan citra satelit selama 8 tahun
menunjukkan bahwa fenomena laut yang terjadi di perairan sekitar Pulau Jawa
turut mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran kandungan klorofil-a
(fitoplankton), lihat gambar 3.1. di Samudra India sebelah selatan Pulau
Jawa, kandungan klorofil yang tinggi (> 0.3 mg/m3) dijumpai pada bulan Juli-
September dan relatif rendah pada bulan Januari-Maret. Kondisi ini terkait
dengan terjadinya fenomena upwelling di sepanjang pantai Selatan Jawa pada
bulan JuniSeptember. Pada saat itu, angin bertiup dari tenggara (Australia) dan
memacu terjadinya transport Ekman ke arah lepas pantai. Meningkatnya
densitas ikan pelagis pada perairan upwelling disebabkan oleh ketersediaan
makanan yang cukup untuk larva dan ikan-ikan kecil dan besar. Termasuk ikan
pelagis pemangsa seperti tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling.
Kondisi serupa dijumpai di Selat Bali, dimana meningkatnya kandungan
klorofil-a perairan merupakan respon tidak langsung dari terjadinya fenoma
upwelling di perairan Selatan Jawa.
Keberadaan ikan pelagis di Laut Jawa dan Selat Sunda dipengaruhi oleh
fenomena pergerakan masa air (throughflow) yang juga berperan dalam
penyebaran ikan pelagis. Sebagai contoh di Selat Sunda, rata-rata jumlah
tangkapan ikan pelagis dari TPI Labuan mencapai puncaknya pada musim angin
timur (Juni September). Kondisi ini berkaitan dengan fenomena pergerakan
masa air Laut Jawa menuju Samudra Hindia melalui Selat Sunda, yang dicirikan
dengan kandungan klorofil perairan dan SPL yang relatif tinggi di Selat Sunda
dibandingkan dengan Samudra Hindia. Dengan menggunakan data satelit,
fenomena upwelling dan throughflow dapat terpantau dengan lebih akurat
sehingga lokasi penangkapan ikan dapat dipetakan dengan lebih tepat.
Aplikasi Praktis Satelit Oseanografi Untuk NelayanHal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah
memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter yang
ditampilkan. Apabila ditemukan koordinat pada peta tidak sesuai dengan objek
citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk mengembalikannya pada posisi
yang benar. Secara visual cukup membuat sebangun antara peta bumi dan hasil
citra.
Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang
direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila
dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya terjadi
apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan ini
diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis proses fisik yang
terjadi di laut.
Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra satelit
biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah Indonesia yang
berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat intensif sehingga bias
warna pada pengolahan citra sangat mungkin terjadi. Terutama untuk
membedakannya dengan rekaman arus yang membawa massa air dingin.
Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra satelit
dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi massa air dingin
oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s) dibandingkan pergerakan
awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek citra massa air dingin relatif
lebih stabil. Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu
dilakukan sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua
buah arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras
(convergence zone atau front) dan upwelling.
Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa air
Gambar 3.2 Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tanggal. 28 Juni 2001 di Selat Sunda dansekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius (Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan
GIS, P-TISDA, BPPT).
49Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
50Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
tinggi rendahnya produktivitas perairan. Untuk itu, hubungan antara parameter lingkungan perairan yang dapat
dipantau dengan satelit penginderaan jauh dan keberadaan ikan perlu dikaji
secara lebih komprehesif. Berikut ini adalah contoh dari hasil kajian mengenai
korelasi antara variasi musiman dari sebaran kandungan klorofil-a dan
keberadaan ikan pelagis di perairan. Pengamatan citra satelit selama 8 tahun
menunjukkan bahwa fenomena laut yang terjadi di perairan sekitar Pulau Jawa
turut mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran kandungan klorofil-a
(fitoplankton), lihat gambar 3.1. di Samudra India sebelah selatan Pulau
Jawa, kandungan klorofil yang tinggi (> 0.3 mg/m3) dijumpai pada bulan Juli-
September dan relatif rendah pada bulan Januari-Maret. Kondisi ini terkait
dengan terjadinya fenomena upwelling di sepanjang pantai Selatan Jawa pada
bulan JuniSeptember. Pada saat itu, angin bertiup dari tenggara (Australia) dan
memacu terjadinya transport Ekman ke arah lepas pantai. Meningkatnya
densitas ikan pelagis pada perairan upwelling disebabkan oleh ketersediaan
makanan yang cukup untuk larva dan ikan-ikan kecil dan besar. Termasuk ikan
pelagis pemangsa seperti tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling.
Kondisi serupa dijumpai di Selat Bali, dimana meningkatnya kandungan
klorofil-a perairan merupakan respon tidak langsung dari terjadinya fenoma
upwelling di perairan Selatan Jawa.
Keberadaan ikan pelagis di Laut Jawa dan Selat Sunda dipengaruhi oleh
fenomena pergerakan masa air (throughflow) yang juga berperan dalam
penyebaran ikan pelagis. Sebagai contoh di Selat Sunda, rata-rata jumlah
tangkapan ikan pelagis dari TPI Labuan mencapai puncaknya pada musim angin
timur (Juni September). Kondisi ini berkaitan dengan fenomena pergerakan
masa air Laut Jawa menuju Samudra Hindia melalui Selat Sunda, yang dicirikan
dengan kandungan klorofil perairan dan SPL yang relatif tinggi di Selat Sunda
dibandingkan dengan Samudra Hindia. Dengan menggunakan data satelit,
fenomena upwelling dan throughflow dapat terpantau dengan lebih akurat
sehingga lokasi penangkapan ikan dapat dipetakan dengan lebih tepat.
Aplikasi Praktis Satelit Oseanografi Untuk NelayanHal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah
memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter yang
ditampilkan. Apabila ditemukan koordinat pada peta tidak sesuai dengan objek
citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk mengembalikannya pada posisi
yang benar. Secara visual cukup membuat sebangun antara peta bumi dan hasil
citra.
Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang
direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila
dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya terjadi
apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan ini
diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis proses fisik yang
terjadi di laut.
Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra satelit
biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah Indonesia yang
berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat intensif sehingga bias
warna pada pengolahan citra sangat mungkin terjadi. Terutama untuk
membedakannya dengan rekaman arus yang membawa massa air dingin.
Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra satelit
dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi massa air dingin
oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s) dibandingkan pergerakan
awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek citra massa air dingin relatif
lebih stabil. Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu
dilakukan sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua
buah arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras
(convergence zone atau front) dan upwelling.
Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa air
Gambar 3.2 Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tanggal. 28 Juni 2001 di Selat Sunda dansekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius (Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan
GIS, P-TISDA, BPPT).
49Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
50Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi diisi
massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen dan zat
hara sebagai sumber makanan fitoplankton. Secara visual kelimpahan
fitoplankton dapat dilihat dari perairan sekitar pantai yang berwarna keruh
kehijauan. Tanda ini dapat dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau
kesuburan perairan.
Gambar 3.2 adalah citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tanggal. 28 Juni
2001 di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius.
Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan
pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeastward)
sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang pada Musim Timur
bergerak ke arah baratlaut (Northwestward). Lingkaran ungu terjadi di
perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan barat Sumatra. Kedua lokasi ini
dapat dijadikan barometer tempat penangkapan ikan (fishing ground). Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus
Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan arus
membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi di
permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus
tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan kecil
dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam teori rantai
makanan.
Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar dengan
mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak ditemukan
dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai contoh).
DAFTAR PUSTAKAPusat Riset Perikanan tangkap - Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2001.
Laporan Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia.Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian , E., Amri , K., Andiastuti, RA, Sachoemar, SI,
Wahyono, IB, 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around Java,
Oceanography: The Indonesian Seas, Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.Wyrtki, K., 1961: Physical oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA
report 2, Scripps Institute of Oceanography, California.
BAB IVPenginderaan Jauh untuk Pemetaan
Karakteristik Perairan Nani Hendiarti
Beberapa proses dapat menimbulkan keberadaan perairan tipe 2, yaitu karena
transpor alami dan material antropogenik dari daratan dan wilyah pesisir.
Tingkat konsentrasi sedimen tersuspensi yang tinggi dari dasar air dan limpasan
sungai serta tingginya terrigenous yellow substances yang sering ditimbulkan
dari aktivitas penduduk, seperti perkotaan dan pengembangan daerah industri
dapat berkontribusi dan mendominasi perairan tipe 2 secara optik (Gordon and
Morel, 1983). Gambar 2.16 memperlihatkan kedua kelas perairan berdasarkan
komposisi dari materi utama yang dikandung dalam air (Sathyendranath,
2000). Karena kondisi perairan tipe 2 lebih kompleks dari tipe 1, algoritma
ocean color yang biasanya berhasil diterapkan untuk perairan tipe 1, sering
tidak cocok untuk perairan tipe 2 (Hu dkk., 2000; Ruddick dkk., 2000). Untuk
Perairan Indonesia, koefisien korelasi antara konsentrasi klorofil-a yang
diperoleh dari citra SeaWiFS dengan hasil pengukuran lapangan berkisar 0.65-
0.81 untuk perairan tipe 1 dan hanya 0.26-0.42 untuk perairan tipe 2
(Hendiarti, 2003). Untuk itu, perlu dikembang-kan algoritma lokal ocean acolor
untuk perairan tipe 2 / pesisir.
Perairan Indonesia memiliki karakter yang spesifik dan sangat dinamis, baik
dilihat secara ruang maupun waktu. Keragaman tipe perairan Indonesia banyak
disebabkan oleh proses fisis yang terjadi baik dalam skala regional maupun
lokal. Perubahan kondisi perairan dipengaruhi juga oleh adanya faktor iklim
musiman. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekosistem
pesisir dan laut termasuk sumberdaya hayati lautnya. Maka, penting adanya
upaya untuk memantau perubahan kondisi perairan. Metodologi klasifikasi tipe
perairan ini yang bermanfaat dalam pemantauan lingkungan perairan dilakukan
berdasarkan pada komposisi material yang dikandung oleh air.
Secara umum dalam studi penginderaan jauh, pengklasifikasian perairan ke
dalam tipe 1 dan 2 yang diperkenalkan oleh Morel and Prieur (1977) adalah
berdasarkan komposisi material dalam air, dan kemudian dikembangkan oleh
Gordon dan Morel (1983). Dalam air tipe 1 atau perairan laut
bebas/dalam/jernih, sifat optiknya didominasi dengan penyerapan dan
penyebaran radiasi oleh fitoplankton, turunannya dan air di sekitarnya. Tetapi
untuk air tipe 2 atau perairan pesisir/dangkal/keruh adalah lebih kompleks
dengan adanya material anorganik tersuspensi dan 'substansi kuning' (yellow
substances) serta fitoplankton dan detritus.
51Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
52Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi diisi
massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen dan zat
hara sebagai sumber makanan fitoplankton. Secara visual kelimpahan
fitoplankton dapat dilihat dari perairan sekitar pantai yang berwarna keruh
kehijauan. Tanda ini dapat dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau
kesuburan perairan.
Gambar 3.2 adalah citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tanggal. 28 Juni
2001 di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius.
Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan
pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeastward)
sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang pada Musim Timur
bergerak ke arah baratlaut (Northwestward). Lingkaran ungu terjadi di
perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan barat Sumatra. Kedua lokasi ini
dapat dijadikan barometer tempat penangkapan ikan (fishing ground). Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus
Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan arus
membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi di
permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus
tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan kecil
dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam teori rantai
makanan.
Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar dengan
mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak ditemukan
dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai contoh).
DAFTAR PUSTAKAPusat Riset Perikanan tangkap - Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2001.
Laporan Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia.Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian , E., Amri , K., Andiastuti, RA, Sachoemar, SI,
Wahyono, IB, 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around Java,
Oceanography: The Indonesian Seas, Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.Wyrtki, K., 1961: Physical oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA
report 2, Scripps Institute of Oceanography, California.
BAB IVPenginderaan Jauh untuk Pemetaan
Karakteristik Perairan Nani Hendiarti
Beberapa proses dapat menimbulkan keberadaan perairan tipe 2, yaitu karena
transpor alami dan material antropogenik dari daratan dan wilyah pesisir.
Tingkat konsentrasi sedimen tersuspensi yang tinggi dari dasar air dan limpasan
sungai serta tingginya terrigenous yellow substances yang sering ditimbulkan
dari aktivitas penduduk, seperti perkotaan dan pengembangan daerah industri
dapat berkontribusi dan mendominasi perairan tipe 2 secara optik (Gordon and
Morel, 1983). Gambar 2.16 memperlihatkan kedua kelas perairan berdasarkan
komposisi dari materi utama yang dikandung dalam air (Sathyendranath,
2000). Karena kondisi perairan tipe 2 lebih kompleks dari tipe 1, algoritma
ocean color yang biasanya berhasil diterapkan untuk perairan tipe 1, sering
tidak cocok untuk perairan tipe 2 (Hu dkk., 2000; Ruddick dkk., 2000). Untuk
Perairan Indonesia, koefisien korelasi antara konsentrasi klorofil-a yang
diperoleh dari citra SeaWiFS dengan hasil pengukuran lapangan berkisar 0.65-
0.81 untuk perairan tipe 1 dan hanya 0.26-0.42 untuk perairan tipe 2
(Hendiarti, 2003). Untuk itu, perlu dikembang-kan algoritma lokal ocean acolor
untuk perairan tipe 2 / pesisir.
Perairan Indonesia memiliki karakter yang spesifik dan sangat dinamis, baik
dilihat secara ruang maupun waktu. Keragaman tipe perairan Indonesia banyak
disebabkan oleh proses fisis yang terjadi baik dalam skala regional maupun
lokal. Perubahan kondisi perairan dipengaruhi juga oleh adanya faktor iklim
musiman. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekosistem
pesisir dan laut termasuk sumberdaya hayati lautnya. Maka, penting adanya
upaya untuk memantau perubahan kondisi perairan. Metodologi klasifikasi tipe
perairan ini yang bermanfaat dalam pemantauan lingkungan perairan dilakukan
berdasarkan pada komposisi material yang dikandung oleh air.
Secara umum dalam studi penginderaan jauh, pengklasifikasian perairan ke
dalam tipe 1 dan 2 yang diperkenalkan oleh Morel and Prieur (1977) adalah
berdasarkan komposisi material dalam air, dan kemudian dikembangkan oleh
Gordon dan Morel (1983). Dalam air tipe 1 atau perairan laut
bebas/dalam/jernih, sifat optiknya didominasi dengan penyerapan dan
penyebaran radiasi oleh fitoplankton, turunannya dan air di sekitarnya. Tetapi
untuk air tipe 2 atau perairan pesisir/dangkal/keruh adalah lebih kompleks
dengan adanya material anorganik tersuspensi dan 'substansi kuning' (yellow
substances) serta fitoplankton dan detritus.
51Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
52Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 4.1.Diagram menampilkan komposisi perairan tipe (case) 1 dan 2 yang diadaptasi dari Prieurand Sathyendranath (1981) dalam Sathyendranath (2000).
Metoda yang diterapkan untuk deteksi tipe perairan adalah analisis terhadap
variasi perilaku spektral yang terukur berdasarkan komposisi material yang
dikandung oleh air (Siegel dan Brosin, 1986; Siegel dkk., 1997).
Gambar 4.2 memperlihatkan tipe perairan Selat Malaka dan sekitarnya dapat
dibedakan dengan warna perairan dan perilaku spektral (kurva) pada panjang
gelombang sinar tampak yang berbeda.
! Perairan Selat Malaka memiliki perilaku spektral yang serupa dengan air
Sungai Siak yang keruh dan berwarna coklat yang merupakan perairan
tipe 2. Perilaku spektral air Sungai Siak yang diplot dengan garis putus-
putus warna merah menunjukkan kandungan polutan material organik
dan anorganik yang lebih tinggi dibandingkan dengan Selat Malaka.
Besarnya penyerapan dan penghamburan energi cahaya oleh material
organik dan inorganik menyebabkan turunnya besar energi pada panjang
gelombang pendek dan naiknya besar energi pada gelombang panjang.! Perairan Laut Cina Selatan memiliki perilaku spektral yang serupa
dengan Samudra India yang berwarna biru dan merupakan perairan tipe
1. Air Laut Cina Selatan memiliki kandungan fitoplankton yang lebih
tinggi, terlihat dengan adanya penurunan besarnya energi yang
dipantulkan pada panjang gelombang pendek.
! Perairan di Kepulauan Riau merupakan tipe 2 yang memiliki kandungan
partikel endapan terlarut yang sangat tinggi terlihat dengan
peningkatan besar energi pada gelombang panjang akibat
penghamburan oleh material anorganik.
Luasan perairan dengan karakter tipe 1 dan 2 dapat diketahui dengan
menerapkan metoda yang sangat sederhana yaitu dengan citra ocean color
komposit RGB (Red-Green-Blue). Teknik pengamatan ini dapat juga digunakan
untuk melihat perubahan pola sebaran yang spesifik dari tipe perairan yang
berbeda. Sebagai contoh, pengamatan tipe perairan di sekitar pulau Jawa
terpantau lebih beragam (Gambar 4.3). Pada musim angin timur, warna biru
untuk perairan Samudra India dan Selat Makasar bagian selatan yang diduga
merupakan bagian dari 'Arlindo' (dari Samudra Pasifik) merupakan tipe air laut
murni. Laut Jawa yang berwarna putih menggambarkan besarnya penyerapan
dan penghamburan energi cahaya oleh material organik dan anorganik, juga
Gambar 4.2. Beberapa tipe perairan (Selat Malaka yang relatif jernih; Sungai Siak yang keruh olehtingginya kandungan material polutan; perairan Kepulauan Riau yang keruh oleh endapan terlarut)
ditunjukkan dengan warna perairan dan kurva spektral yang berbeda.
53Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
54Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 4.1.Diagram menampilkan komposisi perairan tipe (case) 1 dan 2 yang diadaptasi dari Prieurand Sathyendranath (1981) dalam Sathyendranath (2000).
Metoda yang diterapkan untuk deteksi tipe perairan adalah analisis terhadap
variasi perilaku spektral yang terukur berdasarkan komposisi material yang
dikandung oleh air (Siegel dan Brosin, 1986; Siegel dkk., 1997).
Gambar 4.2 memperlihatkan tipe perairan Selat Malaka dan sekitarnya dapat
dibedakan dengan warna perairan dan perilaku spektral (kurva) pada panjang
gelombang sinar tampak yang berbeda.
! Perairan Selat Malaka memiliki perilaku spektral yang serupa dengan air
Sungai Siak yang keruh dan berwarna coklat yang merupakan perairan
tipe 2. Perilaku spektral air Sungai Siak yang diplot dengan garis putus-
putus warna merah menunjukkan kandungan polutan material organik
dan anorganik yang lebih tinggi dibandingkan dengan Selat Malaka.
Besarnya penyerapan dan penghamburan energi cahaya oleh material
organik dan inorganik menyebabkan turunnya besar energi pada panjang
gelombang pendek dan naiknya besar energi pada gelombang panjang.! Perairan Laut Cina Selatan memiliki perilaku spektral yang serupa
dengan Samudra India yang berwarna biru dan merupakan perairan tipe
1. Air Laut Cina Selatan memiliki kandungan fitoplankton yang lebih
tinggi, terlihat dengan adanya penurunan besarnya energi yang
dipantulkan pada panjang gelombang pendek.
! Perairan di Kepulauan Riau merupakan tipe 2 yang memiliki kandungan
partikel endapan terlarut yang sangat tinggi terlihat dengan
peningkatan besar energi pada gelombang panjang akibat
penghamburan oleh material anorganik.
Luasan perairan dengan karakter tipe 1 dan 2 dapat diketahui dengan
menerapkan metoda yang sangat sederhana yaitu dengan citra ocean color
komposit RGB (Red-Green-Blue). Teknik pengamatan ini dapat juga digunakan
untuk melihat perubahan pola sebaran yang spesifik dari tipe perairan yang
berbeda. Sebagai contoh, pengamatan tipe perairan di sekitar pulau Jawa
terpantau lebih beragam (Gambar 4.3). Pada musim angin timur, warna biru
untuk perairan Samudra India dan Selat Makasar bagian selatan yang diduga
merupakan bagian dari 'Arlindo' (dari Samudra Pasifik) merupakan tipe air laut
murni. Laut Jawa yang berwarna putih menggambarkan besarnya penyerapan
dan penghamburan energi cahaya oleh material organik dan anorganik, juga
Gambar 4.2. Beberapa tipe perairan (Selat Malaka yang relatif jernih; Sungai Siak yang keruh olehtingginya kandungan material polutan; perairan Kepulauan Riau yang keruh oleh endapan terlarut)
ditunjukkan dengan warna perairan dan kurva spektral yang berbeda.
53Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
54Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
terlihat dipengaruhi oleh Arlindo. Fenomena upwelling di perairan Selatan
Jawa dan Selat Sunda yang memiliki kandungan fitoplankton yang tinggi
MODIS RGB 28.07.2003
Gambar 4.3 Produk dari data Aqua MODIS pada 28 Juli 2003: Citra komposit RGB (551-531-443 nm).Tipe perairan ditunjukkan dengan warna perairan pada citra yang berbeda. Abu-abu adalah
daratan, dan hitam adalah awan. Perairan laut jernih yang berwarna biru: Samudra India danSelat Makasar bagian selatan yang diduga bagian dari 'Arlindo' (Samudra Pasifik). Warna
kecoklatan menunjukkan perairan dengan fenomena upwelling. Perairan Laut Jawa yang berwarnaputih merupakan perairan tipe 2 dengan kandungan material organik dan anorganik yang tinggi.
Gambar 4.4 Produk dari data SeaWiFS pada 19 September 1999. Kiri: Citra komposit RGB(555, 510, 443 nm); kanan: variasi kandungan klorofil dan TSM dari beberapa tipe perairan
yang dijumpai di perairan Selat Sunda dan sekitarnya. Warna hitam adalah awan, dan abu-abuadalah daratan. (Hendiarti dkk., 2002)
teridentifikasi dengan warna merah kecoklatan. Komposisi dari kandungan material organik (klorofil) dan anorganik (endapan
tersuspensi) yang dimiliki oleh masing-masing tipe perairan dapat diketahui,
seperti pengamatan yang dilakukan untuk perairan Selat Sunda dan sekitarnya
(Hendiarti dkk., 2002), lihat Gambar 4.4.
Data penginderaan jauh telah terbukti dapat digunakan untuk pengamatan
klasifikasi tipe perairan. Tipe perairan laut jernih dan pesisir keruh sangat
mudah untuk dibedakan. Teknik pengamatan ini akan bermanfaat khususnya
untuk pemantauan kondisi lingkungan perairan pesisir. Namun demikian,
dukungan data pengukuran lapangan akan sangat membantu dalam
menjabarkan karakteristik tipe perairan tersebut secara lebih rinci.
DAFTAR PUSTAKAGordon, H. R., and Morel, A.Y., 1983. Remote assessment of ocean colour for
interpretation of satellite visible imagery. Springer-verlag, 114 hal.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2002. Distinction of different water masses
in and around the Sunda Strait: satellite observations and in-situ
measurements. Proceeding of The Sixth Pan Ocean Remote Sensing
Conference (PORSEC) 2002, volume 2, 674-679.Hu, C., Carder, K.L., and Muller-Karger, F.E., 2000. Atmospheric Correction of
SeaWiFS Imagery over Turbid Coastal Waters: A Practical Method, Remote
Sensing of Environment, 74, 195-206.Morel, A., Prieur, L., 1977. Analysis of variations in ocean color. Limnol.
Oceanogr. 22(4), 709-722.Ruddick, K.G., Ovidio, F., and Rijkeboer, M., 2000. Atmospheric correction of
SeaWiFS imagery for turbid coastal and inland waters. Applied Optics, Vol.
39, No. 6, 897-912.Sathyendranath, S., 2000. Remote sensing of ocean color in coastal, and other
optically-complex, waters. IOCCG report number 3, 139 hal.Siegel, H., H.J. Brosin, 1986. Regional differences in the spectral reflectance
of sea water. Beitr. Meereskd., 55, 71-77. Siegel, H., M. Gerth, M. Beckert, 1997. Variation of specific optical properties
and their influence on measured and modelled spectral reflectances in
the Baltic Sea. In Ocean Optics XIII, S.G. Ackleson, R. Frouin, Editors,
Proc. SPIE 2963, 526-531.
55Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
56Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
terlihat dipengaruhi oleh Arlindo. Fenomena upwelling di perairan Selatan
Jawa dan Selat Sunda yang memiliki kandungan fitoplankton yang tinggi
MODIS RGB 28.07.2003
Gambar 4.3 Produk dari data Aqua MODIS pada 28 Juli 2003: Citra komposit RGB (551-531-443 nm).Tipe perairan ditunjukkan dengan warna perairan pada citra yang berbeda. Abu-abu adalah
daratan, dan hitam adalah awan. Perairan laut jernih yang berwarna biru: Samudra India danSelat Makasar bagian selatan yang diduga bagian dari 'Arlindo' (Samudra Pasifik). Warna
kecoklatan menunjukkan perairan dengan fenomena upwelling. Perairan Laut Jawa yang berwarnaputih merupakan perairan tipe 2 dengan kandungan material organik dan anorganik yang tinggi.
Gambar 4.4 Produk dari data SeaWiFS pada 19 September 1999. Kiri: Citra komposit RGB(555, 510, 443 nm); kanan: variasi kandungan klorofil dan TSM dari beberapa tipe perairan
yang dijumpai di perairan Selat Sunda dan sekitarnya. Warna hitam adalah awan, dan abu-abuadalah daratan. (Hendiarti dkk., 2002)
teridentifikasi dengan warna merah kecoklatan. Komposisi dari kandungan material organik (klorofil) dan anorganik (endapan
tersuspensi) yang dimiliki oleh masing-masing tipe perairan dapat diketahui,
seperti pengamatan yang dilakukan untuk perairan Selat Sunda dan sekitarnya
(Hendiarti dkk., 2002), lihat Gambar 4.4.
Data penginderaan jauh telah terbukti dapat digunakan untuk pengamatan
klasifikasi tipe perairan. Tipe perairan laut jernih dan pesisir keruh sangat
mudah untuk dibedakan. Teknik pengamatan ini akan bermanfaat khususnya
untuk pemantauan kondisi lingkungan perairan pesisir. Namun demikian,
dukungan data pengukuran lapangan akan sangat membantu dalam
menjabarkan karakteristik tipe perairan tersebut secara lebih rinci.
DAFTAR PUSTAKAGordon, H. R., and Morel, A.Y., 1983. Remote assessment of ocean colour for
interpretation of satellite visible imagery. Springer-verlag, 114 hal.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2002. Distinction of different water masses
in and around the Sunda Strait: satellite observations and in-situ
measurements. Proceeding of The Sixth Pan Ocean Remote Sensing
Conference (PORSEC) 2002, volume 2, 674-679.Hu, C., Carder, K.L., and Muller-Karger, F.E., 2000. Atmospheric Correction of
SeaWiFS Imagery over Turbid Coastal Waters: A Practical Method, Remote
Sensing of Environment, 74, 195-206.Morel, A., Prieur, L., 1977. Analysis of variations in ocean color. Limnol.
Oceanogr. 22(4), 709-722.Ruddick, K.G., Ovidio, F., and Rijkeboer, M., 2000. Atmospheric correction of
SeaWiFS imagery for turbid coastal and inland waters. Applied Optics, Vol.
39, No. 6, 897-912.Sathyendranath, S., 2000. Remote sensing of ocean color in coastal, and other
optically-complex, waters. IOCCG report number 3, 139 hal.Siegel, H., H.J. Brosin, 1986. Regional differences in the spectral reflectance
of sea water. Beitr. Meereskd., 55, 71-77. Siegel, H., M. Gerth, M. Beckert, 1997. Variation of specific optical properties
and their influence on measured and modelled spectral reflectances in
the Baltic Sea. In Ocean Optics XIII, S.G. Ackleson, R. Frouin, Editors,
Proc. SPIE 2963, 526-531.
55Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
56Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB VPenginderaan Jauh untuk Pemantauan
Fenomena Laut Dan PesisirNani Hendiarti, Frederik, MCG, Ambarini, RA
Satelit penginderaan jauh merupakan alat yang cocok untuk mengkaji proses
pesisir dan kelautan secara global, regional, dan skala lokal. Data satelit di
panjang gelombang tampak dan infra merah dengan resolusi spasial berbeda
telah digunakan dalam berbagai topik penelitian kelautan, seperti: observasi
proses dinamika laut dan pesisir, yaitu upwelling dan eddies (Solanki dkk.,
2001, Hendiarti dkk., 2004), algae bloom (Sathyendranath, 2000), limpasan
sungai dan pesisir (Siegel dkk., 1996; Hardman-mountford, 2000), dan
penelitian perikanan (Liu dkk., 2002). Citra ini diinterpretasi berdasarkan fitur
fisik yang dipengaruhi oleh proses-proses dinamik, dan karakteristik biologi
dari kandungan fitoplankton laut. Di perairan Indonesia, aplikasi satelit
penginderaan jauh dimulai dengan penggunaan suhu permukaan laut.
Selanjutnya, data satelit ocean color memberikan perspektif baru dalam
penelitian ini walaupun memiliki kendala mengenai tutupan awannya yang
tinggi terutama pada perioda musim hujan.
Pendekatan umum dari pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk
pengamatan fenomena laut dan pesisir dapat dilihat pada Gambar 5.1. Metode
penelitian ini memperlihatkan juga hubungan antara metodologi pengamatan
dan aplikasinya. Kesemuanya memberikan kontribusi pada aplikasi data satelit
untuk meneliti proses oseanografi yang spesifik. Dalam hal ini, proses
dinamika laut Indonesia yang utama yaitu upwelling dan arus lintas Indonesia
(Arlindo) dapat diamati perubahannya dalam perioda mingguan-bulanan
menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk skala regional dengan
resolusi spasial <= 1 km. Pemantauan fenomena laut tersebut dapat
dimanfaatkan untuk aplikasi dalam bidang perikanan. Sedangkan proses
dinamika pesisir yang memberikan dampak langsung terhadap perkembangan
ekosistem pesisir yaitu pelimpasan material daratan (coastal discharge), baik
yang berasal dari sungai maupun lahan basah seperti tambak dan aktifitas
pertanian, dapat diamati perubahannya dalam perioda harian-mingguan
dengan menggunakan data satelit untuk skala semi-lokal dan lokal dengan
resolusi spasial > 1 km (resolusi 0.25-1 km untuk data open source hingga 3-30
m untuk data komersial). Pengamatan terhadap dinamika pelimpasan material
daratan tersebut bermanfaat untuk aplikasi dalam bidang lingkungan perairan
pesisir dan laut. Melalui pendekatan ini, pengamatan proses secara individu
dapat dilakukan secara lebih tepat baik dari tinjauan ruang maupun waktu.
Dalam dekade mendatang, selain fokus pada peningkatan kajian terapan
teknologi tersebut, diharapkan dapat ditingkatkan juga kegiatan riset dalam
aspek pengembangan metodologi pemantauan terutama untuk optimasi produk
satelit kelautan. Kegiatan optimasi ini meliputi validasi citra sebaran
kandungan material (organik dan anorganik) dalam air untuk tipe perairan yang
berbeda. Oleh sebab itu, klasifikasi tipe perairan perlu dilakukan untuk
membuat strategi pemantauan termasuk dalam menentukan lokasi stasiun
validasi. Berikut adalah penjabaran lebih rinci untuk karakterisasi dan pemantauan
fenomena upwelling, pergerakan masa air dekat permukaan yang merupakan
bagian dari 'Arlindo' dan limpasan material dari daratan pesisir. Selain itu,
dikaji pula mengenai pengaruh fenomena laut tersebut terhadap pertumbuhan
fitoplankton dan distribusi ikan pelagis. Penelitian difokuskan di perairan
sekitar Pulau Jawa. Samudra Hindia, terutama sepanjang pesisir selatan Pulau
Gambar 5.1 Skema pendekatan umum untuk pengamatan fenomena laut dan pesisir.
57Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
58Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB VPenginderaan Jauh untuk Pemantauan
Fenomena Laut Dan PesisirNani Hendiarti, Frederik, MCG, Ambarini, RA
Satelit penginderaan jauh merupakan alat yang cocok untuk mengkaji proses
pesisir dan kelautan secara global, regional, dan skala lokal. Data satelit di
panjang gelombang tampak dan infra merah dengan resolusi spasial berbeda
telah digunakan dalam berbagai topik penelitian kelautan, seperti: observasi
proses dinamika laut dan pesisir, yaitu upwelling dan eddies (Solanki dkk.,
2001, Hendiarti dkk., 2004), algae bloom (Sathyendranath, 2000), limpasan
sungai dan pesisir (Siegel dkk., 1996; Hardman-mountford, 2000), dan
penelitian perikanan (Liu dkk., 2002). Citra ini diinterpretasi berdasarkan fitur
fisik yang dipengaruhi oleh proses-proses dinamik, dan karakteristik biologi
dari kandungan fitoplankton laut. Di perairan Indonesia, aplikasi satelit
penginderaan jauh dimulai dengan penggunaan suhu permukaan laut.
Selanjutnya, data satelit ocean color memberikan perspektif baru dalam
penelitian ini walaupun memiliki kendala mengenai tutupan awannya yang
tinggi terutama pada perioda musim hujan.
Pendekatan umum dari pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk
pengamatan fenomena laut dan pesisir dapat dilihat pada Gambar 5.1. Metode
penelitian ini memperlihatkan juga hubungan antara metodologi pengamatan
dan aplikasinya. Kesemuanya memberikan kontribusi pada aplikasi data satelit
untuk meneliti proses oseanografi yang spesifik. Dalam hal ini, proses
dinamika laut Indonesia yang utama yaitu upwelling dan arus lintas Indonesia
(Arlindo) dapat diamati perubahannya dalam perioda mingguan-bulanan
menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk skala regional dengan
resolusi spasial <= 1 km. Pemantauan fenomena laut tersebut dapat
dimanfaatkan untuk aplikasi dalam bidang perikanan. Sedangkan proses
dinamika pesisir yang memberikan dampak langsung terhadap perkembangan
ekosistem pesisir yaitu pelimpasan material daratan (coastal discharge), baik
yang berasal dari sungai maupun lahan basah seperti tambak dan aktifitas
pertanian, dapat diamati perubahannya dalam perioda harian-mingguan
dengan menggunakan data satelit untuk skala semi-lokal dan lokal dengan
resolusi spasial > 1 km (resolusi 0.25-1 km untuk data open source hingga 3-30
m untuk data komersial). Pengamatan terhadap dinamika pelimpasan material
daratan tersebut bermanfaat untuk aplikasi dalam bidang lingkungan perairan
pesisir dan laut. Melalui pendekatan ini, pengamatan proses secara individu
dapat dilakukan secara lebih tepat baik dari tinjauan ruang maupun waktu.
Dalam dekade mendatang, selain fokus pada peningkatan kajian terapan
teknologi tersebut, diharapkan dapat ditingkatkan juga kegiatan riset dalam
aspek pengembangan metodologi pemantauan terutama untuk optimasi produk
satelit kelautan. Kegiatan optimasi ini meliputi validasi citra sebaran
kandungan material (organik dan anorganik) dalam air untuk tipe perairan yang
berbeda. Oleh sebab itu, klasifikasi tipe perairan perlu dilakukan untuk
membuat strategi pemantauan termasuk dalam menentukan lokasi stasiun
validasi. Berikut adalah penjabaran lebih rinci untuk karakterisasi dan pemantauan
fenomena upwelling, pergerakan masa air dekat permukaan yang merupakan
bagian dari 'Arlindo' dan limpasan material dari daratan pesisir. Selain itu,
dikaji pula mengenai pengaruh fenomena laut tersebut terhadap pertumbuhan
fitoplankton dan distribusi ikan pelagis. Penelitian difokuskan di perairan
sekitar Pulau Jawa. Samudra Hindia, terutama sepanjang pesisir selatan Pulau
Gambar 5.1 Skema pendekatan umum untuk pengamatan fenomena laut dan pesisir.
57Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
58Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Jawa, dipelajari karena adanya upwelling. Selat Sunda dan Selat Lombok
merupakan tempat studi yang baik mengenai pergerakan masa air dekat
permukaan yang juga merupakan dampak dari sistem iklim musiman dan
fenomena 'Arlindo'. Laut Jawa memiliki karakteristik perairan laut dangkal (<
200m) dan semi-tertutup yang dipengaruhi oleh fenomena limpasan material
daratan pesisir dan 'Arlindo'.
Dalam kajian proses yang terjadi di pesisir dan perairan laut berikut ini,
aplikasi dari data satelit ocean color dikombinasikan dengan data SPL dan data
lapangan. Keberadaan upwelling, limpasan pesisir dan arus lintas di perairan
sekitar Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan data satelit SeaWiFS LAC
dan GAC, MODIS-Aqua LAC dan GAC, NOAA-AVHRR LAC yang diakuisisi pada
bulan September 1997 hingga Desember 2005.
UpwellingFenomena upwelling yaitu proses naiknya masa air yang lebih dingin dan kaya
akan zat hara dari kedalaman tertentu ke zona dekat permukaan dimana
Gambar 5.2 Atas: Zona upwelling ditunjukkan dengan citra satelit klorofil (warna merah) danSPL (warna biru); Bawah: pertumbuhan upwelling (arsir hitam) berbeda dalam perioda Tahun
2000 dan 2001.
(mW cm-2 um-1 sr-1)
14
19
nLw-555
Jawa
Sumatra
Months
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
nLw
-555
nm
(mW
cm-2m
-1sr
-1)
Station 19Station 14
J F M A M J J A S O N D
Laut Jawa
Mixed water
cahaya matahari masih dapat menembus, sehingga fitoplankton dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik. Meningkatnya densitas ikan pelagis pada
perairan upwelling disebabkan oleh ketersediaan makanan yang cukup untuk
larva dan ikan-ikan kecil dan besar. Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti
tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling.
oPerairan upwelling dicirikan dengan nilai SPL di bawah 28 C dan diikuti dengan
naiknya kandungan klorofil-a (0.6 - 2.0 mg/m3). Melalui analisis citra klorofil
dan SPL, di tahun rata-rata, fenomena upwelling terjadi di sepanjang pantai
Selatan Pulau Jawa pada musim Timur (Juni-September). Pada saat itu, angin
bertiup dari tenggara (Australia) dan memacu terjadinya transport Ekman ke
arah lepas pantai. Pada bulan September menunjukkan sebaran upwelling lebih
besar dari bulan lainnya. Luasan daerah upwelling bervariasi setiap tahunnya,
seperti ditunjukkan pada Gambar 5.2. Sementara itu, jumlah tangkapan ikan
pelagis dari TPI Banyuwangi yang tinggi dijumpai pada perioda terjadinya
upwelling yaitu pada triwulan ke-3 (Juni - September).
Pergerakan Masa AirFenomena pergerakan masa air (throughflow) yang disebabkan oleh perubahan
iklim musiman (monsoon) juga berperan dalam penyebaran ikan pelagis. Di
perairan Selat Sunda, rata-rata jumlah tangkapan ikan pelagis dari TPI Labuan
mencapai puncaknya pada musim angin timur (Juni September). Kondisi ini
Gambar 5.3 Kiri: Citra nLw 555 nm pada bulan Juli 2001, (b) Variasi bulanan nilai nLw 555 nmyang menggambarkan perioda pergerakan masa air dari Laut Jawa menuju Samudra India lewat
Selat Sunda terutama terjadi pada bulan Juni-Agustus.
59Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
60Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Jawa, dipelajari karena adanya upwelling. Selat Sunda dan Selat Lombok
merupakan tempat studi yang baik mengenai pergerakan masa air dekat
permukaan yang juga merupakan dampak dari sistem iklim musiman dan
fenomena 'Arlindo'. Laut Jawa memiliki karakteristik perairan laut dangkal (<
200m) dan semi-tertutup yang dipengaruhi oleh fenomena limpasan material
daratan pesisir dan 'Arlindo'.
Dalam kajian proses yang terjadi di pesisir dan perairan laut berikut ini,
aplikasi dari data satelit ocean color dikombinasikan dengan data SPL dan data
lapangan. Keberadaan upwelling, limpasan pesisir dan arus lintas di perairan
sekitar Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan data satelit SeaWiFS LAC
dan GAC, MODIS-Aqua LAC dan GAC, NOAA-AVHRR LAC yang diakuisisi pada
bulan September 1997 hingga Desember 2005.
UpwellingFenomena upwelling yaitu proses naiknya masa air yang lebih dingin dan kaya
akan zat hara dari kedalaman tertentu ke zona dekat permukaan dimana
Gambar 5.2 Atas: Zona upwelling ditunjukkan dengan citra satelit klorofil (warna merah) danSPL (warna biru); Bawah: pertumbuhan upwelling (arsir hitam) berbeda dalam perioda Tahun
2000 dan 2001.
(mW cm-2 um-1 sr-1)
14
19
nLw-555
Jawa
Sumatra
Months
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
nLw
-555
nm
(mW
cm-2m
-1sr
-1)
Station 19Station 14
J F M A M J J A S O N D
Laut Jawa
Mixed water
cahaya matahari masih dapat menembus, sehingga fitoplankton dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik. Meningkatnya densitas ikan pelagis pada
perairan upwelling disebabkan oleh ketersediaan makanan yang cukup untuk
larva dan ikan-ikan kecil dan besar. Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti
tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling.
oPerairan upwelling dicirikan dengan nilai SPL di bawah 28 C dan diikuti dengan
naiknya kandungan klorofil-a (0.6 - 2.0 mg/m3). Melalui analisis citra klorofil
dan SPL, di tahun rata-rata, fenomena upwelling terjadi di sepanjang pantai
Selatan Pulau Jawa pada musim Timur (Juni-September). Pada saat itu, angin
bertiup dari tenggara (Australia) dan memacu terjadinya transport Ekman ke
arah lepas pantai. Pada bulan September menunjukkan sebaran upwelling lebih
besar dari bulan lainnya. Luasan daerah upwelling bervariasi setiap tahunnya,
seperti ditunjukkan pada Gambar 5.2. Sementara itu, jumlah tangkapan ikan
pelagis dari TPI Banyuwangi yang tinggi dijumpai pada perioda terjadinya
upwelling yaitu pada triwulan ke-3 (Juni - September).
Pergerakan Masa AirFenomena pergerakan masa air (throughflow) yang disebabkan oleh perubahan
iklim musiman (monsoon) juga berperan dalam penyebaran ikan pelagis. Di
perairan Selat Sunda, rata-rata jumlah tangkapan ikan pelagis dari TPI Labuan
mencapai puncaknya pada musim angin timur (Juni September). Kondisi ini
Gambar 5.3 Kiri: Citra nLw 555 nm pada bulan Juli 2001, (b) Variasi bulanan nilai nLw 555 nmyang menggambarkan perioda pergerakan masa air dari Laut Jawa menuju Samudra India lewat
Selat Sunda terutama terjadi pada bulan Juni-Agustus.
59Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
60Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
berkaitan dengan fenomena pergerakan masa air Laut Jawa menuju Samudra
Hindia melalui Selat Sunda, yang dicirikan dengan kandungan klorofil perairan
dan SPL yang relatif tinggi di Selat Sunda (di atas 29.5C dan 0.8 mg/m3)
dibandingkan dengan Samudra Hindia. Dengan menggunakan data satelit ocean
color, fenomena upwelling dan throughflow di Selat Sunda dapat terpantau
dengan lebih akurat. Gambar 5.3 memperlihatkan transport masa air dekat
permukaan dari Laut Jawa menuju Samudra India melalui Selat Sunda terjadi
pada bulan Juni-Agustus. Keberadaan masa air Laut Jawa di Selat Sunda
dicirikan dengan nilai reflektansi cahaya yang tinggi (>1 mW cm-2 m-1 sr-1)
karena tingginya hamburan cahaya oleh material anorganik pada pada panjang
gelombang 555 nm. Material tersebut bisa berasal dari fenomena limpasan
daratan.
Pelimpasan Material Daratan (Kasus: Teluk Jakarta)
Gambar 5.4 (a) Citra Landsat TM RGB 3 Agustus 2002 dengan resolusi spasial 30 m.;(b) Variasi bulanan konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta dan Laut Jawa pada periodapengamatan 1999-2002; (c-d) Peta sebaran klorofil dan TSM dari data Aqua MODIS 24
September 2005; (e-f) Kelimpahan fitoplankton dari pengukuran lapangan di CBL dan Cisadane.
Proses pelepasan material yang beragam dari pantai ke laut merupakan
fenomena oseanografi yang berpotensi dapat menurunkan kualitas air dan
dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan ekosistem pesisir serta potensi
sumberdaya perikanan laut, seperti yang terjadi di perairan Teluk Jakarta.
Dengan mengetahui pola penyebaran limpasan tersebut, upaya antisipasi dapat
lebih difokuskan pada perioda musim rawan dimana dampaknya terjadi pada
wilayah perairan yang lebih luas.
Perubahan warna air laut yang dijumpai di Teluk Jakarta dan dapat
mengakibatkan kematian massal ikan seperti yang terjadi pada pertengahan
Kisaran Nilai Parameter
CBL (permukaan) Cisadane (permukaan) Unit
Amonia (NH3-N) 0.025 – 0.089 0.026 – 0.318 mg/L
Nitrit (NO2-N) 0.009 – 0.042 <0.0002 – 0.055 mg/L
Nitrat (NO3) 0.916 – 1.028 <0.0005 – 2.511 mg/L
Orthophosphat <0.001 – 0.028 <0.001 – 0.052 mg/L
Silikat 41.62 – 23.863 3.346 – 53.303 mg/L
Klorofil-a 10.17 – 15.78 4.48 – 14.22 mg/m3
Fitoplankton Kelimpahan : 76.071.885
Kelimpahan : 840.719.330
individu/m3
Spesies Fito-
Diatom: Bacillario-phyceae (8 sp.) Non Diatom : Cyanophyceae (1 sp.) Dinophyceae (2 sp.)
Diatom: Bacillario- phyceae (9 sp.) Non Diatom : Cyanophyceae (1 sp.) Dinophyceae (1 sp.)
Zooplankton Kelimpahan : 251.570
Kelimpahan : 1.590.294
individu/m3
Spesies Zoo-
Protozoa : 2 sp. Rotifera : 1 sp. Copepoda : 2 sp.
Rotifera : 1 sp. Copepoda : 3 sp. Copelata : 1 sp. Polycaheta : 1 sp.
TSS 18.27 – 24.22 16.76 – 49.42 mg/l
Salinity 28.75 – 30.25 30 PSU
SST 30 – 31 30 – 32.9 der C
Kecerahan 30 - 130 cm
DO 5.17 – 6.26 3.37 – 7.82 ml/L PH 7.5 – 7.95 6.88 - 8
Warna Air VI / Hijau XVII / Coklat Muda
Tabel 5.1 Kualitas perairan di stasiun pengamatan.
61Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
62Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
berkaitan dengan fenomena pergerakan masa air Laut Jawa menuju Samudra
Hindia melalui Selat Sunda, yang dicirikan dengan kandungan klorofil perairan
dan SPL yang relatif tinggi di Selat Sunda (di atas 29.5C dan 0.8 mg/m3)
dibandingkan dengan Samudra Hindia. Dengan menggunakan data satelit ocean
color, fenomena upwelling dan throughflow di Selat Sunda dapat terpantau
dengan lebih akurat. Gambar 5.3 memperlihatkan transport masa air dekat
permukaan dari Laut Jawa menuju Samudra India melalui Selat Sunda terjadi
pada bulan Juni-Agustus. Keberadaan masa air Laut Jawa di Selat Sunda
dicirikan dengan nilai reflektansi cahaya yang tinggi (>1 mW cm-2 m-1 sr-1)
karena tingginya hamburan cahaya oleh material anorganik pada pada panjang
gelombang 555 nm. Material tersebut bisa berasal dari fenomena limpasan
daratan.
Pelimpasan Material Daratan (Kasus: Teluk Jakarta)
Gambar 5.4 (a) Citra Landsat TM RGB 3 Agustus 2002 dengan resolusi spasial 30 m.;(b) Variasi bulanan konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta dan Laut Jawa pada periodapengamatan 1999-2002; (c-d) Peta sebaran klorofil dan TSM dari data Aqua MODIS 24
September 2005; (e-f) Kelimpahan fitoplankton dari pengukuran lapangan di CBL dan Cisadane.
Proses pelepasan material yang beragam dari pantai ke laut merupakan
fenomena oseanografi yang berpotensi dapat menurunkan kualitas air dan
dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan ekosistem pesisir serta potensi
sumberdaya perikanan laut, seperti yang terjadi di perairan Teluk Jakarta.
Dengan mengetahui pola penyebaran limpasan tersebut, upaya antisipasi dapat
lebih difokuskan pada perioda musim rawan dimana dampaknya terjadi pada
wilayah perairan yang lebih luas.
Perubahan warna air laut yang dijumpai di Teluk Jakarta dan dapat
mengakibatkan kematian massal ikan seperti yang terjadi pada pertengahan
Kisaran Nilai Parameter
CBL (permukaan) Cisadane (permukaan) Unit
Amonia (NH3-N) 0.025 – 0.089 0.026 – 0.318 mg/L
Nitrit (NO2-N) 0.009 – 0.042 <0.0002 – 0.055 mg/L
Nitrat (NO3) 0.916 – 1.028 <0.0005 – 2.511 mg/L
Orthophosphat <0.001 – 0.028 <0.001 – 0.052 mg/L
Silikat 41.62 – 23.863 3.346 – 53.303 mg/L
Klorofil-a 10.17 – 15.78 4.48 – 14.22 mg/m3
Fitoplankton Kelimpahan : 76.071.885
Kelimpahan : 840.719.330
individu/m3
Spesies Fito-
Diatom: Bacillario-phyceae (8 sp.) Non Diatom : Cyanophyceae (1 sp.) Dinophyceae (2 sp.)
Diatom: Bacillario- phyceae (9 sp.) Non Diatom : Cyanophyceae (1 sp.) Dinophyceae (1 sp.)
Zooplankton Kelimpahan : 251.570
Kelimpahan : 1.590.294
individu/m3
Spesies Zoo-
Protozoa : 2 sp. Rotifera : 1 sp. Copepoda : 2 sp.
Rotifera : 1 sp. Copepoda : 3 sp. Copelata : 1 sp. Polycaheta : 1 sp.
TSS 18.27 – 24.22 16.76 – 49.42 mg/l
Salinity 28.75 – 30.25 30 PSU
SST 30 – 31 30 – 32.9 der C
Kecerahan 30 - 130 cm
DO 5.17 – 6.26 3.37 – 7.82 ml/L PH 7.5 – 7.95 6.88 - 8
Warna Air VI / Hijau XVII / Coklat Muda
Tabel 5.1 Kualitas perairan di stasiun pengamatan.
61Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
62Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Mei 2004 (Kompas, 2004) diduga antara lain dipicu oleh pelimpasan material
dari daratan. Limpasan material tersebut dapat berasal dari muara sungai,
abrasi pantai dan kawasan lahan basah. Pertumbuhan fitoplankton dipacu oleh
tingginya limpasan zat hara pada musim hujan, cahaya matahari yang cukup
serta kecepatan angin yang tidak terlalu kencang. Populasi fitoplankton
perairan yang berlebih dapat mengakibatkan kematian ikan. Untuk itu, perlu
dikaji pola penyebaran fitoplankton (klorofil-a) dan variasi besaran nilai
konsentrasinya. Hasil penelitian terdahulu berdasarkan pengamatan citra
satelit ocean color selama perioda 1999-2002 diketahui bahwa konsentrasi
klorofil-a yang tinggi di Teluk Jakarta yaitu diatas 3,5 mg/m3 dijumpai pada
akhir musim hujan atau memasuki masa peralihan dari musim hujan ke musim
kemarau (Maret April). Pada perioda tersebut, umumnya masih didomisansi
oleh angin barat; dimana pada kondisi normal tanpa penyimpangan cuaca dan
iklim, puncak musim hujan biasanya terjadi pada sekitar bulan Januari-
Februari. Dimana, limpasan material anorganik terbesar terjadi beberapa hari
setelah puncak musim hujan ditunjukkan oleh citra TSM dengan penyebaran
endapan terlarut di atas 20 mg/l.
Tingginya konsentrasi klorofil-a dapat menyebabkan terjadinya eutrophication
dan blooming. Sedangkan tingginya konsentrasi endapan partikel terlarut
menyebabkan kekeruhan perairan bertambah sehingga cahaya matahari tidak
dapat menembus kedalam air dan penurunan konsentrasi fitoplankton. Dampak
dari blooming atau kekeruhan perairan yang tinggi adalah menurunnya kadar
oksigen dalam air sehingga sulit bagi ikan untuk bertahan hidup.
Fenomena: Karakteristik Perioda Skala
cakupan
Upwelling
Klorofil: > 0.8mg/m3 0.06
mg/m3
SPL: < 28 C 0.8C
June -September Regional
Pergerakan masa air
Klorofil: > 0.5 mg/m3 0.2
mg/m3
SPL: > 29.5 C 0.8C
June-September Regional
Sungai
Klorofil: > 2.5 mg/m3
TSM: > 8 mg/l SST: >30.5C0.8C
Maret, April,
November. Lokal
Pelimpasan
material
daratan Lahan
basah
Klorofil: > 3 mg/m3 1.3
mg/m3
TSM: > 10 mg/l SST: >30.5C0.8C
Desember-Maret
Lokal
Perikanan tangkap
pelagis
Klorofil: > 0.5 mg/m3
SST frontier zone
June-September Regional
Tabel 5.2 Karakteristik, perioda dan luasan zona upwelling, pergerakan masa air dekat permukaan
dan pelimpasan material serta perikanan tangkap pelagis.
Untuk mengetahui kualitas informasi yang dihasilkan oleh satelit, kegiatan
validasi (survei lapangan) dilakukan di hilir dan muara sungai Cisadane, dan
hilir CBL (Canal Bekasi Laut) pada bulan September 2005. Lokasi survei
diperlihatkan pada citra komposit Landsat ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)
yang direkam pada tanggal 22 September 2002 (Gambar 5.4). Kondisi perairan
pesisir di muara Sungai Cisadane dan CBL terlihat berbeda antara musim
peralihan dan musim kemarau, dimana pada musim peralihan intensitas
limpasan material dari sungai terlihat relatif lebih besar dibandingkan dengan
kondisi pada musim kemarau.
Hasil survei validasi mendukung analisis citra yaitu kondisi kualitas perairan
Teluk Jakarta terutama pada zona muara Sungai Cisadane dan CBL dapat
dikatakan kurang baik (lihat Tabel 5.1), yang diduga dampak dari limpasan
sungai.
Dari penjabaran di atas, data satelit penginderaan jauh terbukti dapat
diterapkan untuk mengkaji karakteristik dari fenomena laut dan pesisir; serta
pengaruhnya terhadap pertumbuhan fitoplankton dan distribusi ikan pelagis.
Untuk perairan sekitar Pulau Jawa, proses dinamika laut yang teridentifikasi
meliputi upwelling di Selatan Pulau Jawa dan Selat Sunda; serta pergerakan
masa air dekat permukaan dari Laut Jawa ke Samudra India melalui Selat
Sunda dan Selat Bali. Sedangkan fenomena pesisir mencakup proses
pelimpasan material daratan ke laut. Karakteristik dari masing-masing
fenomena tersebut yang ditinjau dari skala ruang (lokasi dan penyebarannya)
dan skala waktu (perioda terjadinya), dijabarkan dalam Tabel 5.2.
DAFTAR PUSTAKAHardman-Mountford, N.J., 2000. Environmental variability in the Gulf of
Guinea large marine ecosystem. A thesis of Doctor of Philosophy,
Department of Biological Sciences, University of Warwick.Hendiarti, N., 2003. Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian
Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany, 93
halaman.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal
processes in Indonesian waters using SeaWiFS data, Deep Sea Research Part
II 51 (2004): 85-97.Kompas, 2004. Fitoplankton berlebih picu kematian massal ikan, 13 Mei 2004. Liu, C., Nan, C., Ho, C., Kuo, N., Hsu, M., 2002: Tuna catch and satellite
remote sensing. Proceeding of The Sixth Pan Ocean Remote Sensing
Conference (PORSEC) 2002, volume 2, 442-444.Sathyendranath, S., 2000. Remote sensing of ocean color in coastal, and other
optically-complex, waters. IOCCG report number 3, 139 hal.Siegel, H., Gerth, M., Schmidt, T., 1996: Water exchange in the Pomeranian
Bight investigated by satellite data and shipborne measurement.
Continental Shelf Research, Vol. 16, No. 14, 1793-1817.
63Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
64Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Mei 2004 (Kompas, 2004) diduga antara lain dipicu oleh pelimpasan material
dari daratan. Limpasan material tersebut dapat berasal dari muara sungai,
abrasi pantai dan kawasan lahan basah. Pertumbuhan fitoplankton dipacu oleh
tingginya limpasan zat hara pada musim hujan, cahaya matahari yang cukup
serta kecepatan angin yang tidak terlalu kencang. Populasi fitoplankton
perairan yang berlebih dapat mengakibatkan kematian ikan. Untuk itu, perlu
dikaji pola penyebaran fitoplankton (klorofil-a) dan variasi besaran nilai
konsentrasinya. Hasil penelitian terdahulu berdasarkan pengamatan citra
satelit ocean color selama perioda 1999-2002 diketahui bahwa konsentrasi
klorofil-a yang tinggi di Teluk Jakarta yaitu diatas 3,5 mg/m3 dijumpai pada
akhir musim hujan atau memasuki masa peralihan dari musim hujan ke musim
kemarau (Maret April). Pada perioda tersebut, umumnya masih didomisansi
oleh angin barat; dimana pada kondisi normal tanpa penyimpangan cuaca dan
iklim, puncak musim hujan biasanya terjadi pada sekitar bulan Januari-
Februari. Dimana, limpasan material anorganik terbesar terjadi beberapa hari
setelah puncak musim hujan ditunjukkan oleh citra TSM dengan penyebaran
endapan terlarut di atas 20 mg/l.
Tingginya konsentrasi klorofil-a dapat menyebabkan terjadinya eutrophication
dan blooming. Sedangkan tingginya konsentrasi endapan partikel terlarut
menyebabkan kekeruhan perairan bertambah sehingga cahaya matahari tidak
dapat menembus kedalam air dan penurunan konsentrasi fitoplankton. Dampak
dari blooming atau kekeruhan perairan yang tinggi adalah menurunnya kadar
oksigen dalam air sehingga sulit bagi ikan untuk bertahan hidup.
Fenomena: Karakteristik Perioda Skala
cakupan
Upwelling
Klorofil: > 0.8mg/m3 0.06
mg/m3
SPL: < 28 C 0.8C
June -September Regional
Pergerakan masa air
Klorofil: > 0.5 mg/m3 0.2
mg/m3
SPL: > 29.5 C 0.8C
June-September Regional
Sungai
Klorofil: > 2.5 mg/m3
TSM: > 8 mg/l SST: >30.5C0.8C
Maret, April,
November. Lokal
Pelimpasan
material
daratan Lahan
basah
Klorofil: > 3 mg/m3 1.3
mg/m3
TSM: > 10 mg/l SST: >30.5C0.8C
Desember-Maret
Lokal
Perikanan tangkap
pelagis
Klorofil: > 0.5 mg/m3
SST frontier zone
June-September Regional
Tabel 5.2 Karakteristik, perioda dan luasan zona upwelling, pergerakan masa air dekat permukaan
dan pelimpasan material serta perikanan tangkap pelagis.
Untuk mengetahui kualitas informasi yang dihasilkan oleh satelit, kegiatan
validasi (survei lapangan) dilakukan di hilir dan muara sungai Cisadane, dan
hilir CBL (Canal Bekasi Laut) pada bulan September 2005. Lokasi survei
diperlihatkan pada citra komposit Landsat ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)
yang direkam pada tanggal 22 September 2002 (Gambar 5.4). Kondisi perairan
pesisir di muara Sungai Cisadane dan CBL terlihat berbeda antara musim
peralihan dan musim kemarau, dimana pada musim peralihan intensitas
limpasan material dari sungai terlihat relatif lebih besar dibandingkan dengan
kondisi pada musim kemarau.
Hasil survei validasi mendukung analisis citra yaitu kondisi kualitas perairan
Teluk Jakarta terutama pada zona muara Sungai Cisadane dan CBL dapat
dikatakan kurang baik (lihat Tabel 5.1), yang diduga dampak dari limpasan
sungai.
Dari penjabaran di atas, data satelit penginderaan jauh terbukti dapat
diterapkan untuk mengkaji karakteristik dari fenomena laut dan pesisir; serta
pengaruhnya terhadap pertumbuhan fitoplankton dan distribusi ikan pelagis.
Untuk perairan sekitar Pulau Jawa, proses dinamika laut yang teridentifikasi
meliputi upwelling di Selatan Pulau Jawa dan Selat Sunda; serta pergerakan
masa air dekat permukaan dari Laut Jawa ke Samudra India melalui Selat
Sunda dan Selat Bali. Sedangkan fenomena pesisir mencakup proses
pelimpasan material daratan ke laut. Karakteristik dari masing-masing
fenomena tersebut yang ditinjau dari skala ruang (lokasi dan penyebarannya)
dan skala waktu (perioda terjadinya), dijabarkan dalam Tabel 5.2.
DAFTAR PUSTAKAHardman-Mountford, N.J., 2000. Environmental variability in the Gulf of
Guinea large marine ecosystem. A thesis of Doctor of Philosophy,
Department of Biological Sciences, University of Warwick.Hendiarti, N., 2003. Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian
Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany, 93
halaman.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal
processes in Indonesian waters using SeaWiFS data, Deep Sea Research Part
II 51 (2004): 85-97.Kompas, 2004. Fitoplankton berlebih picu kematian massal ikan, 13 Mei 2004. Liu, C., Nan, C., Ho, C., Kuo, N., Hsu, M., 2002: Tuna catch and satellite
remote sensing. Proceeding of The Sixth Pan Ocean Remote Sensing
Conference (PORSEC) 2002, volume 2, 442-444.Sathyendranath, S., 2000. Remote sensing of ocean color in coastal, and other
optically-complex, waters. IOCCG report number 3, 139 hal.Siegel, H., Gerth, M., Schmidt, T., 1996: Water exchange in the Pomeranian
Bight investigated by satellite data and shipborne measurement.
Continental Shelf Research, Vol. 16, No. 14, 1793-1817.
63Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
64Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
SPOT 1987
SPOT 1995
SPOT 1998
SPOT 1995
terkoreksi
Vektor
Geokoreksi
Geokoreksi
SPOT 1998
terkoreksi
SPOT 1987
terkoreksi
Interpretasi visual
Interpretasi visual
SPOT 1998
15 kelas SPOT 1987
14 kelas
Informasi survey
lapangan
Deteksi
perubahan
Geokoreksi
BAB VIPenginderaan Jauh untuk Pengamatan
Perubahan Tutupan Lahan Laguna Segara AnakanMarina C G Frederik
Kawasan estuari memiliki peran penting di daerah tropis seperti Indonesia.
Mangove adalah salah satu tempat dimana ikan dan kepiting hidup dan
berkembang biak. Tetapi kawsan mangrove sering mengalami perubahan
drastis. Contohnya, Laguna Segara Anakan. Laguna ini terletak di sebelah
selatan Propinsi Jawa Tengah dengan koordinat geografis 7o 35' 7o 45' LS dan
108o 45' 108o 55' BT. Pulau Nusa Kambangan terletak di sebelah selatan laguna
ini dan melindungi laguna dari Samudra Indonesia.
Laguna Segara Anakan mengalami dampak seperti pendangkalan air dan
berkurangnya luas vegetasi mangrove akibat kegiatan perambahan hutan di
bagian utara serta penebangan hutan mangrove di sekitar laguna tersebut.
Akibat dari kegiatan ini adalah terjadinya penumpukan sedimen di laguna
sehingga luas permukaannya semakin kecil, airnya semakin keruh dan dangkal
yang mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan serta pendapatan penduduk
setempat yang merupakan nelayan tradisional. Agar dapat memelihara dan
mengembangkan ekosistem mangrove, diperlukan suatu metode
pengembangan yang di dasari oleh data yang baik. Salah satunya adalah
menggunakan citra penginderaan jauh. Studi perubahan tutupan lahan
mangrove dilakukan menggunakan citra satelit penginderaan jauh SPOT
multitemporal dengan kurun waktu 11 tahun, yaitu SPOT 2 tahun 1987, SPOT 3
tahun 1995, dan SPOT 1 tahun 1998.
Gambar 6.1 memperlihatkan proses alur dalam studi ini dan tabel 6.1
memperlihatkan hasil perubahan tutupan lahan. Terlihat bahwa perubahan
terbesar adalah kawasan perkotaan. Untuk perubahan lahan mangrove,
perubahan luasnya berkurang sekitar 35%, lahan persawahan bertambah sekitar
43%, dan lahan yang digunakan untuk aquakultur bertambah pada tahun 1998.
Hal ini sesuai dengan perubahan yang diamati.
Gambar 6.2 memperlihatkan hasil perhitungan perubahan dimana citra SPOT
tahun 1998 digunakan sebagai citra latar belakangnya. Terlihat warna hijau
yang menunjukkan tidak ada perubahan, warna kuning dan orange yang
menunjukkan perubahan dari mangrove ke air keruh dan sawah. Hasil
penelitian ini perlu diverifikasi kembali pada keadaan sesungguhnya untuk
melihat keakurasian proses klasifikasi dan interpretasinya.
No. Tipe Tutupan La han Luas th
1987 (ha)
Luas th
1998 (ha) % perubahan
1 Tambang 45.5 64.7 42.2
2 Awan 3 230.5 408.8 -87.3
3 Perkebunan 1 941.2 1 819.1 -6.3
4 Hutan 546.6 513.5 -6.1
5 Sedimen 1 080.7 320.8 -70.3
6 Aquakultur 0.0 729.9 -
7 Mangrove 14388.8 9300.4 -35.4
8 Air bersedimen 2 322.1 3 132.8 34.9
9 Laut 4 815.6 4 092.7 -15.0
12 Sawah 7 856.7 11 255.7 43.3
14 Perumahan dengan kebun 6 163.7 6 154.6 -0.1
15 Perkotaan 1 085.7 2 265.4 108.7
16 Hutan primer 5 250.8 7 279.7 38.6
20 Non kelas 1 660.2 3 050.0 83.7
Tabel 6.1 Perubahan lahan antara 1987-1998 dari interpretasi citra SPOT
Gambar 6.1 Metode pengolahan perubahan lahan mangrove.
65Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
66Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
SPOT 1987
SPOT 1995
SPOT 1998
SPOT 1995
terkoreksi
Vektor
Geokoreksi
Geokoreksi
SPOT 1998
terkoreksi
SPOT 1987
terkoreksi
Interpretasi visual
Interpretasi visual
SPOT 1998
15 kelas SPOT 1987
14 kelas
Informasi survey
lapangan
Deteksi
perubahan
Geokoreksi
BAB VIPenginderaan Jauh untuk Pengamatan
Perubahan Tutupan Lahan Laguna Segara AnakanMarina C G Frederik
Kawasan estuari memiliki peran penting di daerah tropis seperti Indonesia.
Mangove adalah salah satu tempat dimana ikan dan kepiting hidup dan
berkembang biak. Tetapi kawsan mangrove sering mengalami perubahan
drastis. Contohnya, Laguna Segara Anakan. Laguna ini terletak di sebelah
selatan Propinsi Jawa Tengah dengan koordinat geografis 7o 35' 7o 45' LS dan
108o 45' 108o 55' BT. Pulau Nusa Kambangan terletak di sebelah selatan laguna
ini dan melindungi laguna dari Samudra Indonesia.
Laguna Segara Anakan mengalami dampak seperti pendangkalan air dan
berkurangnya luas vegetasi mangrove akibat kegiatan perambahan hutan di
bagian utara serta penebangan hutan mangrove di sekitar laguna tersebut.
Akibat dari kegiatan ini adalah terjadinya penumpukan sedimen di laguna
sehingga luas permukaannya semakin kecil, airnya semakin keruh dan dangkal
yang mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan serta pendapatan penduduk
setempat yang merupakan nelayan tradisional. Agar dapat memelihara dan
mengembangkan ekosistem mangrove, diperlukan suatu metode
pengembangan yang di dasari oleh data yang baik. Salah satunya adalah
menggunakan citra penginderaan jauh. Studi perubahan tutupan lahan
mangrove dilakukan menggunakan citra satelit penginderaan jauh SPOT
multitemporal dengan kurun waktu 11 tahun, yaitu SPOT 2 tahun 1987, SPOT 3
tahun 1995, dan SPOT 1 tahun 1998.
Gambar 6.1 memperlihatkan proses alur dalam studi ini dan tabel 6.1
memperlihatkan hasil perubahan tutupan lahan. Terlihat bahwa perubahan
terbesar adalah kawasan perkotaan. Untuk perubahan lahan mangrove,
perubahan luasnya berkurang sekitar 35%, lahan persawahan bertambah sekitar
43%, dan lahan yang digunakan untuk aquakultur bertambah pada tahun 1998.
Hal ini sesuai dengan perubahan yang diamati.
Gambar 6.2 memperlihatkan hasil perhitungan perubahan dimana citra SPOT
tahun 1998 digunakan sebagai citra latar belakangnya. Terlihat warna hijau
yang menunjukkan tidak ada perubahan, warna kuning dan orange yang
menunjukkan perubahan dari mangrove ke air keruh dan sawah. Hasil
penelitian ini perlu diverifikasi kembali pada keadaan sesungguhnya untuk
melihat keakurasian proses klasifikasi dan interpretasinya.
No. Tipe Tutupan La han Luas th
1987 (ha)
Luas th
1998 (ha) % perubahan
1 Tambang 45.5 64.7 42.2
2 Awan 3 230.5 408.8 -87.3
3 Perkebunan 1 941.2 1 819.1 -6.3
4 Hutan 546.6 513.5 -6.1
5 Sedimen 1 080.7 320.8 -70.3
6 Aquakultur 0.0 729.9 -
7 Mangrove 14388.8 9300.4 -35.4
8 Air bersedimen 2 322.1 3 132.8 34.9
9 Laut 4 815.6 4 092.7 -15.0
12 Sawah 7 856.7 11 255.7 43.3
14 Perumahan dengan kebun 6 163.7 6 154.6 -0.1
15 Perkotaan 1 085.7 2 265.4 108.7
16 Hutan primer 5 250.8 7 279.7 38.6
20 Non kelas 1 660.2 3 050.0 83.7
Tabel 6.1 Perubahan lahan antara 1987-1998 dari interpretasi citra SPOT
Gambar 6.1 Metode pengolahan perubahan lahan mangrove.
65Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
66Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Tidak berubah antara tahun 1987-1998
Mangrove menjadi sedimen
Mangrove menjadi aquakultur
Mangrove menjadi sawah
Mangrove menjadi rumah + kebun
Mangrove menjadi perkebunan
Mangrove baru antara tahuin 1987-1998
Gambar 6.3. Citra SPOT 1998 ditampilkan dengan vektor perubahan tutupan lahan mangorve
DAFTAR PUSTAKABCEOM in association with PT Ardes Perdana & PT Bhawana Prasasta, 1997,
Segara Anakan Conservation and Development Project, Package 2 parts B & C, Technical proposal, Vol. 2 ; General Approach & Methodology, workplan, comments on TOR, section D, Jakarta, 50p
Bruzzone, L et S.B. Serpico, 1997, Detection of changes in remotely-sensed images by the selective use of multi-spectral information, Int. J. Remote Sensing, Vol. 18, No. 18, P. 3883-3888.
Chavaud, S., C. Bouchon et R. Maniere, 1998, Remote sensing techniques adapted to high resolution mapping of tropical coastal marine ecosystems (coral reefs, seagrass beds and mangrove), Int. J. Remote Sensing, Vol. 19, No. 18, p. 3625-3639.
Dewanti, R. et T., Maulana, 1998, Monitoring the changes of lagoon Segara Anakan, Central Java by using multitemporal Landsat data , Warta Inderaja, Vol. X, No. 1, p. 34-38.
Frederik, MCG., 2001, Detection of Land Cover Changes of Segara Anakan Lagoon, Indonesia, RS & GIS Yearbook 2000, p. 224-238.
Green, E.P., C.D. Clark, P.J. Mumby, A.J. Edwards, et Ellis, A.C., 1998, Remote sensing techniques for mangrove mapping, Vol. 19, No. 5, p. 935-956.
Hartono, 1991, Etude des mangroves de Java, 279p, Ecologie et Télédétection, Toulouse, France.
Singh, A., 1989, Digital change detection techniques using remotely-sensed data, Int. J. Remote Sensing, Vol. 10, No. 6, p. 989-1003.
67Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
68Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Tidak berubah antara tahun 1987-1998
Mangrove menjadi sedimen
Mangrove menjadi aquakultur
Mangrove menjadi sawah
Mangrove menjadi rumah + kebun
Mangrove menjadi perkebunan
Mangrove baru antara tahuin 1987-1998
Gambar 6.3. Citra SPOT 1998 ditampilkan dengan vektor perubahan tutupan lahan mangorve
DAFTAR PUSTAKABCEOM in association with PT Ardes Perdana & PT Bhawana Prasasta, 1997,
Segara Anakan Conservation and Development Project, Package 2 parts B & C, Technical proposal, Vol. 2 ; General Approach & Methodology, workplan, comments on TOR, section D, Jakarta, 50p
Bruzzone, L et S.B. Serpico, 1997, Detection of changes in remotely-sensed images by the selective use of multi-spectral information, Int. J. Remote Sensing, Vol. 18, No. 18, P. 3883-3888.
Chavaud, S., C. Bouchon et R. Maniere, 1998, Remote sensing techniques adapted to high resolution mapping of tropical coastal marine ecosystems (coral reefs, seagrass beds and mangrove), Int. J. Remote Sensing, Vol. 19, No. 18, p. 3625-3639.
Dewanti, R. et T., Maulana, 1998, Monitoring the changes of lagoon Segara Anakan, Central Java by using multitemporal Landsat data , Warta Inderaja, Vol. X, No. 1, p. 34-38.
Frederik, MCG., 2001, Detection of Land Cover Changes of Segara Anakan Lagoon, Indonesia, RS & GIS Yearbook 2000, p. 224-238.
Green, E.P., C.D. Clark, P.J. Mumby, A.J. Edwards, et Ellis, A.C., 1998, Remote sensing techniques for mangrove mapping, Vol. 19, No. 5, p. 935-956.
Hartono, 1991, Etude des mangroves de Java, 279p, Ecologie et Télédétection, Toulouse, France.
Singh, A., 1989, Digital change detection techniques using remotely-sensed data, Int. J. Remote Sensing, Vol. 10, No. 6, p. 989-1003.
67Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
68Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB VIIPenginderaan Jauh untuk Pengamatan
Gelombang Internal Albert Sulaiman
Gelombang internal adalah gelombang yang menjalar di dalam lautan (dibadan
air). Gelombang ini dapat terjadi jika di badan air terdapat beda densitas
dimana beda densitas ini muncul apabila dilapisan air terdapat beda
temperatur ataupun beda salinitas. Gelombang internal ini mempunyai variasi
panjang gelombang dari beberapa meter sampai ke puluhan kilometer,
sedangkan amplitudenya dapat mencapai 50m. Periodenya mempunyai rank
antara menit sampai jam. Gelombang soliton internal adalah suatu gelombang
internal yang dalam penjalarannya mempertahankan bentuk akibat
keseimbangan yang terjadi dari efek nonlinier dan efek dispersi. Efek nonlinier
akan cenderung membuat gelombang memipih (steepening) sedangkan efek
dispersi membuat gelombang melebar. Keseimbangan antara kedua efek ini
akan membantu gelombang internal mempertahankan bentuknya pada saat dia
menjalar ataupun jika dia bertubrukan dengan sesamanya (Grimshaw,R 2000).
Gelombang soliton internal mempunyai restoring force gaya gravitasi dan
terjadi biasanya akibat aliran fluida melewati suatu gundukan (sill), pungungan
(bank) atau suatu perubahan batimetri yang tajam (continental slope) di dasar
perairan. (Brandt,P et al 1997; Holloway,P et al 1997).Tidak ada mekanisme
yang unik dan tertentu untuk menjelaskan bagaimana gelombang ini terbentuk
(Farmer,D & L. Armi 1998, Bogucki,D; 1997, Bogucki,D; 1998).
Gelombang internal dapat dideteksi keberadaanya secar langsung (insitu) dan
secara tak langsung. Pengukuran secara langsung dapat menggunakan ADCP
atau thermocouple baik dengan kapal atau system mooring. Pengukuran insitu
jarang dilakukan. Sedangkan pengukuran tak langsung memalui satelit.
Beberapa jenis satelit yang dpat mendeteksi gelombang internal soliter adalah
satelit dengan sensor radar missal ERS, Radarsat atau beberapa satelit lain
seperti MODIS dan SPOT. Dari citra satelit dapat diketahui kemunculan
gelombang internal soliter (yang merupakan fenomena mesoscale) muncul di
daerah: selat Lombok, selat Makasar, laut Flores, laut Seram, laut Maluku, laut
Banda dan laut Sawu. Paling banyak muncul ada di selat Lombok. Berikut
berepa citra satelit yang memerikan gelombang internal soliter.
Diselat Lombok mempunyai pola sirkular dengan gelombang menjalar dikedua
arah yaitu ke utara dan ke selatan. Pada umumnya gelombang yang bergerak
ke utara (ke laut Flores) akan mempunyai crest gelombang yang lebih lebar
jangkauannya sedangkan di selatan lebih sempit. Disebelah utara mempunyai
pola seperti soliton “periodik” sedangkan di selatan dalam bentuk paket
gelombang dimana dalam satu paket terdiri dari beberapa soliton tunggal. Pola
b)
a)
Gambar 7.1 a) Gelombang Internal soliter di selat Lombok (5-11-1997)Citra ERS-2. b) Gelombang Internal soliter di selat Makasar (1-11-1997)Citra ERS-2
69Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
70Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB VIIPenginderaan Jauh untuk Pengamatan
Gelombang Internal Albert Sulaiman
Gelombang internal adalah gelombang yang menjalar di dalam lautan (dibadan
air). Gelombang ini dapat terjadi jika di badan air terdapat beda densitas
dimana beda densitas ini muncul apabila dilapisan air terdapat beda
temperatur ataupun beda salinitas. Gelombang internal ini mempunyai variasi
panjang gelombang dari beberapa meter sampai ke puluhan kilometer,
sedangkan amplitudenya dapat mencapai 50m. Periodenya mempunyai rank
antara menit sampai jam. Gelombang soliton internal adalah suatu gelombang
internal yang dalam penjalarannya mempertahankan bentuk akibat
keseimbangan yang terjadi dari efek nonlinier dan efek dispersi. Efek nonlinier
akan cenderung membuat gelombang memipih (steepening) sedangkan efek
dispersi membuat gelombang melebar. Keseimbangan antara kedua efek ini
akan membantu gelombang internal mempertahankan bentuknya pada saat dia
menjalar ataupun jika dia bertubrukan dengan sesamanya (Grimshaw,R 2000).
Gelombang soliton internal mempunyai restoring force gaya gravitasi dan
terjadi biasanya akibat aliran fluida melewati suatu gundukan (sill), pungungan
(bank) atau suatu perubahan batimetri yang tajam (continental slope) di dasar
perairan. (Brandt,P et al 1997; Holloway,P et al 1997).Tidak ada mekanisme
yang unik dan tertentu untuk menjelaskan bagaimana gelombang ini terbentuk
(Farmer,D & L. Armi 1998, Bogucki,D; 1997, Bogucki,D; 1998).
Gelombang internal dapat dideteksi keberadaanya secar langsung (insitu) dan
secara tak langsung. Pengukuran secara langsung dapat menggunakan ADCP
atau thermocouple baik dengan kapal atau system mooring. Pengukuran insitu
jarang dilakukan. Sedangkan pengukuran tak langsung memalui satelit.
Beberapa jenis satelit yang dpat mendeteksi gelombang internal soliter adalah
satelit dengan sensor radar missal ERS, Radarsat atau beberapa satelit lain
seperti MODIS dan SPOT. Dari citra satelit dapat diketahui kemunculan
gelombang internal soliter (yang merupakan fenomena mesoscale) muncul di
daerah: selat Lombok, selat Makasar, laut Flores, laut Seram, laut Maluku, laut
Banda dan laut Sawu. Paling banyak muncul ada di selat Lombok. Berikut
berepa citra satelit yang memerikan gelombang internal soliter.
Diselat Lombok mempunyai pola sirkular dengan gelombang menjalar dikedua
arah yaitu ke utara dan ke selatan. Pada umumnya gelombang yang bergerak
ke utara (ke laut Flores) akan mempunyai crest gelombang yang lebih lebar
jangkauannya sedangkan di selatan lebih sempit. Disebelah utara mempunyai
pola seperti soliton “periodik” sedangkan di selatan dalam bentuk paket
gelombang dimana dalam satu paket terdiri dari beberapa soliton tunggal. Pola
b)
a)
Gambar 7.1 a) Gelombang Internal soliter di selat Lombok (5-11-1997)Citra ERS-2. b) Gelombang Internal soliter di selat Makasar (1-11-1997)Citra ERS-2
69Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
70Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
seperti ini biasanya dibangkitkan oleh arus yang menabrak suatu gundukan
(Brandt,P et al 1997). Sedangkan diselat Makasar mempunyai pola 3-4 soliton
yang menjalar dari laut lepas menuju pantai. Seperti juga pada gelombang
permukaan, gelombang internal ini terlihat akan cenderung bergerak sejajar
dengan garis pantai. Berikut karakteristik gelombang internal soliter yang
berhasil diketahui dari citra satelit.Amplitude soliton dapat dicari dengan bantuan model matematika. Umumnya
model matematika untuk mempelajari gelombang internal soliton dari data
obeservasi menggunakan teori gelombang nonlinier lemah yang diperikan
melalui persamaan Korteweg & de Vrie (KdV) (Holloway,P; E. Pelinovsky & T.
Talipova 1999, Grimshaw,R; E. Pelinovsky & T. Talipova 1997, Grimshaw,R
2000). Persaman KdV memerikan evolusi dari gelombang soliton internal
dengan amplitude kecil yang menjalar di perairan dangkal. Jika kita
aproksimasi fluida dua lapis maka untuk orde pertama kita dapatkan
(Grimshaw, R ., 2000):
(1)
dimana amplitude A( , ) akan memenuhi persamaan Korteweg & de Vris (KdV)
sbb:
dimana koefisien c (kecepatan fase gelombang panjang linier), α (koefisien
Daerah
bulan:
J F M A M J J A S O N D Catatan
Selat Makasar
1
3-4 soliton
Delta Mahakam
2
1
3-4 soliton
Laut Flores
1
1
2
2
“periodik”
Selat Lombok
1
1
1
2
2
1
1
2
2
2
4
Paket soliton
Tabel 7.1 Karakteristik gelombang internal soliter di jalur Arlindo.
03
3
x
A
x
AA
x
Ac
t
A
θ τ
txAH
HHtx ,,
21
2
1221)1(
nonlinier) dan β (koefisien dispersi) akan diberikan oleh:
Gambar 7.3 Koefisien KdV dan geometri gelombang internal fluida dua lapis.
Arus internal dalam arah horisontal diberikan oleh persamaan kontinuitas.
Propagasi gelombang soliton internal (amplitude, kecepatan, energi dll) dapat
di ketahui dengan mencari solusi persamaan KdV, Persamaan KdV tersebut
mempunyai banyak solusi seperti solusi satu soliton, solusi dua soliton, solusi N
soliton serta solusi 'periodik' soliton yang dinyatakan dalam bentuk fungsi
elliptik jacobi. Solusi soliton tunggal (atau sering disebut solusi gelombang
jalan) dari persamaan KdV didapat dengan mengambil solusi dalam bentuk
f=f(x-ct) sehingga hasilnya adalah (Sulaiman,A 2004):
(3)
dimana Ao adalah amplitude maksimum dan λs adalah panjang gelombang
soliton. V kecepatan fase soliton dan panjang gelombang soliton diberikan
sebagai berikut:
(4)
Dengan data kedalaman dan data CTD (untuk mengetahui densitas air laut)
maka profil gelombang internal soliton dapat diketahui. Misal di selat lombok
dapat dilihat pada gambar 7.4.
Hasil menunjukkan bahwa gelombang internal menjalar dengan kecepatan
rambat V = 2.1779 m/s dan amplitude mencapai 13 m. Energi gelombang
(2)
2112
2112
HH
HHgc
2112
221
212
21 HH
HH
HH
c
2
3
2112
221121
HH
HH
6
HcH
H1ρ1
H2ρ2
V
L
1hsecA,A2
o
3;
12
o
o
AcV
AL
71Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
72Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
seperti ini biasanya dibangkitkan oleh arus yang menabrak suatu gundukan
(Brandt,P et al 1997). Sedangkan diselat Makasar mempunyai pola 3-4 soliton
yang menjalar dari laut lepas menuju pantai. Seperti juga pada gelombang
permukaan, gelombang internal ini terlihat akan cenderung bergerak sejajar
dengan garis pantai. Berikut karakteristik gelombang internal soliter yang
berhasil diketahui dari citra satelit.Amplitude soliton dapat dicari dengan bantuan model matematika. Umumnya
model matematika untuk mempelajari gelombang internal soliton dari data
obeservasi menggunakan teori gelombang nonlinier lemah yang diperikan
melalui persamaan Korteweg & de Vrie (KdV) (Holloway,P; E. Pelinovsky & T.
Talipova 1999, Grimshaw,R; E. Pelinovsky & T. Talipova 1997, Grimshaw,R
2000). Persaman KdV memerikan evolusi dari gelombang soliton internal
dengan amplitude kecil yang menjalar di perairan dangkal. Jika kita
aproksimasi fluida dua lapis maka untuk orde pertama kita dapatkan
(Grimshaw, R ., 2000):
(1)
dimana amplitude A( , ) akan memenuhi persamaan Korteweg & de Vris (KdV)
sbb:
dimana koefisien c (kecepatan fase gelombang panjang linier), α (koefisien
Daerah
bulan:
J F M A M J J A S O N D Catatan
Selat Makasar
1
3-4 soliton
Delta Mahakam
2
1
3-4 soliton
Laut Flores
1
1
2
2
“periodik”
Selat Lombok
1
1
1
2
2
1
1
2
2
2
4
Paket soliton
Tabel 7.1 Karakteristik gelombang internal soliter di jalur Arlindo.
03
3
x
A
x
AA
x
Ac
t
A
θ τ
txAH
HHtx ,,
21
2
1221)1(
nonlinier) dan β (koefisien dispersi) akan diberikan oleh:
Gambar 7.3 Koefisien KdV dan geometri gelombang internal fluida dua lapis.
Arus internal dalam arah horisontal diberikan oleh persamaan kontinuitas.
Propagasi gelombang soliton internal (amplitude, kecepatan, energi dll) dapat
di ketahui dengan mencari solusi persamaan KdV, Persamaan KdV tersebut
mempunyai banyak solusi seperti solusi satu soliton, solusi dua soliton, solusi N
soliton serta solusi 'periodik' soliton yang dinyatakan dalam bentuk fungsi
elliptik jacobi. Solusi soliton tunggal (atau sering disebut solusi gelombang
jalan) dari persamaan KdV didapat dengan mengambil solusi dalam bentuk
f=f(x-ct) sehingga hasilnya adalah (Sulaiman,A 2004):
(3)
dimana Ao adalah amplitude maksimum dan λs adalah panjang gelombang
soliton. V kecepatan fase soliton dan panjang gelombang soliton diberikan
sebagai berikut:
(4)
Dengan data kedalaman dan data CTD (untuk mengetahui densitas air laut)
maka profil gelombang internal soliton dapat diketahui. Misal di selat lombok
dapat dilihat pada gambar 7.4.
Hasil menunjukkan bahwa gelombang internal menjalar dengan kecepatan
rambat V = 2.1779 m/s dan amplitude mencapai 13 m. Energi gelombang
(2)
2112
2112
HH
HHgc
2112
221
212
21 HH
HH
HH
c
2
3
2112
221121
HH
HH
6
HcH
H1ρ1
H2ρ2
V
L
1hsecA,A2
o
3;
12
o
o
AcV
AL
71Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
72Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
sebesar E= 1.2658e+007 J/m. Arus orbital permukaan sebesar 0.14 m/s, dan
arus inilah yang akan memberikan harga intensitas yang tertangkap pada citra
SAR. Untuk gelombang internal di delta Mahakam dengan panjang gelombang
sekitar 2 km mempunyai amplitude sebesar 25m dan kecepatan fase sebesar
1.74m/s. Sedangkan di utara selat Lombok dengan panjang gelombang 2.6 km
akan mempunyai amplitude 25m dan kecepatan fase sebesar 1.5m/s.
Sedangkan disebelah selatan dengan panjang gelombang 2.5km akan
mempunyai amplitude sebesar 20m dengan kecepatan fase 1.4 m/s.
Gelombang internal soliter yang terjadi mempunyai amplitude dalam orde 20m
dan kecepatan fase dalam orde 2m/s akan mempunyai dampak yang sangat
berarti pada bangunan lepas pantai (misal anjungan minyak), jalur pipa bawah
air serta dampak lingkungan seperti resuspensi sedimen (Bogucki,D et al 1997).
Bagaimana pengaruh gelombang internal ini pada sirkulasi Arlindo? Apakah dia
akan mempengauhi transport massa air (seperti pada penjalaran gelombang
Kelvin yang datang dari samudra India)?. Bagaimanapun juga pengukuran in
situ sangat diperlukan untuk menentukan amplitude dan kecapatan fase
gelombang internal ini. Apa yang didapat dari citra SAR adalah estimasi
berdasarkan persamaan KdV. Soliton yang dibahas ini hanya yang terdapat di
jalur utama Arlindo. Studi gelombang ini masih merupakan buku yang terbuka
lebar.
Hasil analisis citra menunjukkan bahwa pola propagasi soliton di selat Makasar
berupa penjalaran 3-4 soliton tunggal sedangakan di selat Lombok mempunyai
pola “periodik” soliton di utara dan paket soliton di selatan. Pada umunya
panjang gelombang internal antara 2km-5km dengan kecepatan rambat dalam
orde 1m/s dan amplitude rata-rata sekitar 20m. Gelombang internal di selat
Lombok diduga dibangkitkan oleh arus pasut internal yang menabrak sill,
sedangkan di selat Makasar diduga dibangkitkan oleh perubahan batimetri yang
tajam (continental slope).DAFTAR PUSTAKABogucki,D; T. Dickey & L.G. Redekopp 1997 “Sediment Resuspension and
Mixing by Resonantly Generated Internal Solitary Waves” J. Phys.Osean.
Vol: 27, 1181-1195.Bougucki,D.J & L. Redekopp 1998 ”A Mechanism for Sediment Resuspendsion
by Internal Solitary Waves” Int.Solitary waves Workshop,Dunsmuir Lodge.Brandt,P; A. Rubino; W. Alpers & J. Backhaus 1997 “Internal Waves in the
Strait of Messina Studied by a Numerical Model and Synthetic Aperture
Radar Images from the ERS1/2 Satellites” J. Phys. Oceanogr Vol: 27, 648-
663.Farmer,D & L. Armi 1998 ” Solitary waves Formed Over Topography” Int.
Solitary waves Workshop,Dunsmuir LodgeGrimshaw,R 2000 “Internal Solitary Wave” Preprint No:00/33 Dept.
Mathematical Science, Loughborough University.Grimshaw,R; E. Pelinovsky & T. Talipova 1997 “The Modified KdV Equation in
the Theory of Large Amplitude Internal Waves” Nonlinear Processes in
Geophysics 4:237-250.Holloway,P; E. Pelinovsky; T. Talipova & B. Barnes 1997 “A Nonlinear Model of
Internal Tide Transformation on The Australian North West Shelf” J. Phys.
Ocean. Vol:27, 871-892.Sulaiman,A and M. Sadli 2004 “Study of Nonlinear Internal Waves in the
Indonesian Troughflow using SAR images” Proceding PIT MAPIN 04, Jakarta.
Gambar 7.4 Profil soliton, kecepatan orbital tiap lapisan dan arus orbital permukaan.
73Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
74Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
sebesar E= 1.2658e+007 J/m. Arus orbital permukaan sebesar 0.14 m/s, dan
arus inilah yang akan memberikan harga intensitas yang tertangkap pada citra
SAR. Untuk gelombang internal di delta Mahakam dengan panjang gelombang
sekitar 2 km mempunyai amplitude sebesar 25m dan kecepatan fase sebesar
1.74m/s. Sedangkan di utara selat Lombok dengan panjang gelombang 2.6 km
akan mempunyai amplitude 25m dan kecepatan fase sebesar 1.5m/s.
Sedangkan disebelah selatan dengan panjang gelombang 2.5km akan
mempunyai amplitude sebesar 20m dengan kecepatan fase 1.4 m/s.
Gelombang internal soliter yang terjadi mempunyai amplitude dalam orde 20m
dan kecepatan fase dalam orde 2m/s akan mempunyai dampak yang sangat
berarti pada bangunan lepas pantai (misal anjungan minyak), jalur pipa bawah
air serta dampak lingkungan seperti resuspensi sedimen (Bogucki,D et al 1997).
Bagaimana pengaruh gelombang internal ini pada sirkulasi Arlindo? Apakah dia
akan mempengauhi transport massa air (seperti pada penjalaran gelombang
Kelvin yang datang dari samudra India)?. Bagaimanapun juga pengukuran in
situ sangat diperlukan untuk menentukan amplitude dan kecapatan fase
gelombang internal ini. Apa yang didapat dari citra SAR adalah estimasi
berdasarkan persamaan KdV. Soliton yang dibahas ini hanya yang terdapat di
jalur utama Arlindo. Studi gelombang ini masih merupakan buku yang terbuka
lebar.
Hasil analisis citra menunjukkan bahwa pola propagasi soliton di selat Makasar
berupa penjalaran 3-4 soliton tunggal sedangakan di selat Lombok mempunyai
pola “periodik” soliton di utara dan paket soliton di selatan. Pada umunya
panjang gelombang internal antara 2km-5km dengan kecepatan rambat dalam
orde 1m/s dan amplitude rata-rata sekitar 20m. Gelombang internal di selat
Lombok diduga dibangkitkan oleh arus pasut internal yang menabrak sill,
sedangkan di selat Makasar diduga dibangkitkan oleh perubahan batimetri yang
tajam (continental slope).DAFTAR PUSTAKABogucki,D; T. Dickey & L.G. Redekopp 1997 “Sediment Resuspension and
Mixing by Resonantly Generated Internal Solitary Waves” J. Phys.Osean.
Vol: 27, 1181-1195.Bougucki,D.J & L. Redekopp 1998 ”A Mechanism for Sediment Resuspendsion
by Internal Solitary Waves” Int.Solitary waves Workshop,Dunsmuir Lodge.Brandt,P; A. Rubino; W. Alpers & J. Backhaus 1997 “Internal Waves in the
Strait of Messina Studied by a Numerical Model and Synthetic Aperture
Radar Images from the ERS1/2 Satellites” J. Phys. Oceanogr Vol: 27, 648-
663.Farmer,D & L. Armi 1998 ” Solitary waves Formed Over Topography” Int.
Solitary waves Workshop,Dunsmuir LodgeGrimshaw,R 2000 “Internal Solitary Wave” Preprint No:00/33 Dept.
Mathematical Science, Loughborough University.Grimshaw,R; E. Pelinovsky & T. Talipova 1997 “The Modified KdV Equation in
the Theory of Large Amplitude Internal Waves” Nonlinear Processes in
Geophysics 4:237-250.Holloway,P; E. Pelinovsky; T. Talipova & B. Barnes 1997 “A Nonlinear Model of
Internal Tide Transformation on The Australian North West Shelf” J. Phys.
Ocean. Vol:27, 871-892.Sulaiman,A and M. Sadli 2004 “Study of Nonlinear Internal Waves in the
Indonesian Troughflow using SAR images” Proceding PIT MAPIN 04, Jakarta.
Gambar 7.4 Profil soliton, kecepatan orbital tiap lapisan dan arus orbital permukaan.
73Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
74Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB VIIIMetoda Numerik Dinamika Laut Albert Sulaiman
Dinamika perairan Indonesia dapat dibagi menjadi dua skala yaitu dinamika
skala regional dan dinmaika skala local. Dinmaika skala regional meliputi
dinamika samufra pasifik barat, dinamiak arus lintas Indonesia, dinamika
samudra India timur dan paparan. Sedangkan skala local umummya terdiri
system teluk dan pantai. Perbedaan antara mereka dalam pemodelan
ditentukan oleh factor skaling dan gaya pengeraknnya. Pemerian keduanya
dapat dilihat sebagai berikut:
Model regional mempunyai gaya pembangkit angina dengan skala ruang yang
luas (orde puluhan km) dan skala temporal yang lebih lama (hari-bulan). Gaya
pengerak utama adalah angin dan beda tekanan. Model ini didasarkan pada
persamaan kekekalan momentum dan persamaan kekekalan massa yang dapat
dinyatakan dalam persamaan berikut:
(1)
(2)
Dimana u=(u,v) adalah kecepatan zonal and meridional, h adalah ketebalan
lapisan atas, H kedalaman kondisi setimbang, elevasi muka laut, f parameter
Koriolis, g' adalah reduced gravity, koefisien drag dasar, viskositas lateral
dan adalah densitas air laut. Persamaan tersebut mempunyai kondisi batas
dirichlet untuk kecepatan u dan kondisi Newmann.(pembahasan detail menyusul)
Model sirkulasi laut skala local meliputi sirkulasi di pantai, teluk dan estuaria.
Ada banyak sekali model hidrodinamika yang telah dikembangkan untuk
memerikan sirkulasi diderah tersebut. Pada umumnya ada dua fenomena dasar
untuk studi dinamika skala local yaitu model hidrodinamika dan model adveksi
difusi yang diperikan secara ringkas sebagai berikut
0'
uh
hu
hgufuu
t
u
0
uh
t
Model HidrodinamikaModel ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa tinggi muka air yang terjadi
jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan panjang horisontalnya sehingga
besaran kecepatan dirata-ratakan terhadap kedalaman. Dengan asumsi ini
maka sirkulasi yang terjadi hanya dalam arah horisontal. Model hidrodinamika
terdiri dari persamaan kekekalan massa atau persamaan kontinuitas dan
persamaan kekekalan momentum atau persamaan gerak. Persamaan
kontinuitas dinyatakan sebagai berikut:
(1)
dimana adalah variasi tinggi muka air (water level variation) (catatan: variasi
tinggi muka air dapat disebabkan oleh gelombang dan pasang surut), t adalah
waktu (detik), U dan V adalah komponen kecepatan pada arah x dan y pada
suatu kedalaman tertentu (m/s), H adalah kedalaman total dari kolom air (m),
Q adalah banyaknya air yang diinjeksi (masukan dari sungai yang dinyatakan
dalam debit m3/s). Sedangkan untuk persamaan momentum pada diberikan
oleh:
(2)
(3)
dimana f adalah parameter Coriolisdengan kecepatan angular dari rotasi bumi dan adalah besarnya lintang
bumi, g adalah percepatan gravitasi bumi, adalah parameter stress geser
angin , adalah densitas dari perairan, adalah densitas
udara, C adalah koefisien drag angin, W dan W adalah komponen kecepatan x yangin pada arah x dan y, adalah wind speed, c adalah faktor gesekan Chezy.
Persamaan diatas dapat diselesaikan dengan dua macam kondisi batas yaitu:- Variasi muka air terhadap waktu.- Tak ada kondisi batas arus.
Kondisi batas (a) dapat berupa data arus yang dinyatakan dalam file tersendiri
serta fungsi sinusoidal yang telah diberikan dalam model dengan memasukkan
amplitude, frekuensi dan beda fasenya.
k
a
D
Q
y
VH
x
UH
t
)(||)(
2/1222 ox uu
H
QWW
H
kuvu
HC
gfv
xg
y
uv
x
uu
t
u
)(||)(2/122
2 oy vvH
QWW
H
kvvu
HC
gfu
yg
y
vv
x
vu
t
v
sin2f
)(
DaCk
75Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
76Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB VIIIMetoda Numerik Dinamika Laut Albert Sulaiman
Dinamika perairan Indonesia dapat dibagi menjadi dua skala yaitu dinamika
skala regional dan dinmaika skala local. Dinmaika skala regional meliputi
dinamika samufra pasifik barat, dinamiak arus lintas Indonesia, dinamika
samudra India timur dan paparan. Sedangkan skala local umummya terdiri
system teluk dan pantai. Perbedaan antara mereka dalam pemodelan
ditentukan oleh factor skaling dan gaya pengeraknnya. Pemerian keduanya
dapat dilihat sebagai berikut:
Model regional mempunyai gaya pembangkit angina dengan skala ruang yang
luas (orde puluhan km) dan skala temporal yang lebih lama (hari-bulan). Gaya
pengerak utama adalah angin dan beda tekanan. Model ini didasarkan pada
persamaan kekekalan momentum dan persamaan kekekalan massa yang dapat
dinyatakan dalam persamaan berikut:
(1)
(2)
Dimana u=(u,v) adalah kecepatan zonal and meridional, h adalah ketebalan
lapisan atas, H kedalaman kondisi setimbang, elevasi muka laut, f parameter
Koriolis, g' adalah reduced gravity, koefisien drag dasar, viskositas lateral
dan adalah densitas air laut. Persamaan tersebut mempunyai kondisi batas
dirichlet untuk kecepatan u dan kondisi Newmann.(pembahasan detail menyusul)
Model sirkulasi laut skala local meliputi sirkulasi di pantai, teluk dan estuaria.
Ada banyak sekali model hidrodinamika yang telah dikembangkan untuk
memerikan sirkulasi diderah tersebut. Pada umumnya ada dua fenomena dasar
untuk studi dinamika skala local yaitu model hidrodinamika dan model adveksi
difusi yang diperikan secara ringkas sebagai berikut
0'
uh
hu
hgufuu
t
u
0
uh
t
Model HidrodinamikaModel ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa tinggi muka air yang terjadi
jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan panjang horisontalnya sehingga
besaran kecepatan dirata-ratakan terhadap kedalaman. Dengan asumsi ini
maka sirkulasi yang terjadi hanya dalam arah horisontal. Model hidrodinamika
terdiri dari persamaan kekekalan massa atau persamaan kontinuitas dan
persamaan kekekalan momentum atau persamaan gerak. Persamaan
kontinuitas dinyatakan sebagai berikut:
(1)
dimana adalah variasi tinggi muka air (water level variation) (catatan: variasi
tinggi muka air dapat disebabkan oleh gelombang dan pasang surut), t adalah
waktu (detik), U dan V adalah komponen kecepatan pada arah x dan y pada
suatu kedalaman tertentu (m/s), H adalah kedalaman total dari kolom air (m),
Q adalah banyaknya air yang diinjeksi (masukan dari sungai yang dinyatakan
dalam debit m3/s). Sedangkan untuk persamaan momentum pada diberikan
oleh:
(2)
(3)
dimana f adalah parameter Coriolisdengan kecepatan angular dari rotasi bumi dan adalah besarnya lintang
bumi, g adalah percepatan gravitasi bumi, adalah parameter stress geser
angin , adalah densitas dari perairan, adalah densitas
udara, C adalah koefisien drag angin, W dan W adalah komponen kecepatan x yangin pada arah x dan y, adalah wind speed, c adalah faktor gesekan Chezy.
Persamaan diatas dapat diselesaikan dengan dua macam kondisi batas yaitu:- Variasi muka air terhadap waktu.- Tak ada kondisi batas arus.
Kondisi batas (a) dapat berupa data arus yang dinyatakan dalam file tersendiri
serta fungsi sinusoidal yang telah diberikan dalam model dengan memasukkan
amplitude, frekuensi dan beda fasenya.
k
a
D
Q
y
VH
x
UH
t
)(||)(
2/1222 ox uu
H
QWW
H
kuvu
HC
gfv
xg
y
uv
x
uu
t
u
)(||)(2/122
2 oy vvH
QWW
H
kvvu
HC
gfu
yg
y
vv
x
vu
t
v
sin2f
)(
DaCk
75Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
76Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Model Adveksi-DifusiModel adveksi-dispersi memerikan sebaran suatu partikel polutan dalam kolom
air, baik secara vertikal maupun horizontal. Pergerakan vertikal tersebut
terkait dengan pengaruh arus (proses adveksi), sedangkan pergerakan
horizontal berhubungan dengan proses dispersi (termasuk difusi turbulensi).
Partikel S dapat berupa beberapa jenis polutan, termasuk polutan terlarut
maupun tersuspensi. Sebagai dasar perhitungan untuk kualitas perairan,
model akan menghitung salinitas dan temperatur perairan. Beberapa variabel
yang dapat dimodelkan adalah oksigen terlarut (DO), biological oxygen demand
(BOD), ammonia (NH3), nitrat (NO3), phospat (PO4), dan polutan yang lain,
seperti sisa pakan dan faeces. Bentuk umum dari persamaan adveksi-dispersi
untuk sembarang padatan S adalah sebagai berikut:
(4)
atau sebagai alternatif, dapat ditulis
(5)
dimana c adalah konsentrasi berupa limpahan yang disebabkan oleh
penambahan sedimen atau pengaruh temperatur, u adalah kecepatan yang
diberikan pada setiap elemen yang diberikan oleh persamaan hidrodinamika,
Dx adalah koefisien dispersi longitudinal, Dy adalah koefisien dispersi
transversal, S adalah bentuk fluks massa, Q adalah air yang diinjeksikan, co
adalah konsentrasi berupa limpahan konsentrasi sedimen/temperatur dari
aliran yang masuk (dari debit sungai dll).
DAFTAR PUSTAKADoneker,R et al “Pollutant Transport and Mixing Zone Simulation of
SedimentDensity Currents” JOURNAL OF HYDRAULIC ENGINEERING © ASCE /
APRIL 2004Officer,B 1978 “Physical Oceanography of Estuaries” John Willey & Son, New
York.Rijn,L.C 1993 “Principles of Sedimen Transport in Rivers, Estuaries and Coastal
Waters“ Aqua Pubh. Amsterdam.
oyx QcSHc
tHcu
xy
cHD
yx
cHD
x
oyx QcS
t
cH
x
cHu
y
cHD
yx
cHD
x
BAB IXModel Spektral Elemen Hingga di Selat Makassar Fadli Syamsudin
Salah satu skema penyelesaian persamaan model regional adalah dengan
Spectral Element Ocean Model (SEOM) yang dikembangkan oleh Rutgers
University. SEOM adalah sebuah tipe h-p model dari elemen hingga (finite
element) yaitu mendekati solusi dengan apa yang disebut dengan unstructured
grid of quadrilateral elements. SEOM secara akurat dapat mensimulasi
dinamika gelombang dan arus dalam batimetri yang kompleks termasuk garis
pantai yang rumit dan pulau (Syamsudin, 2001).
Salah satu hal yang menarik dari penerapan model ini adalah melihat dinamika
propagasi gelombang Kelvin dari samudra India ke perairan Indonesia. Langkah
pertama adalah dengan membangun grid elemen hingga dari samudra India
timur sampai laut Sulawesi. Beberapa pengambaran elemen dapat dilihat pada
gambar 9.1.
Hasil simulasi dengan SEOM untuk propagasi gelombang Kelvin dengan periode
50 hari yang menjalar dari samudra India menyusur pantai Sumatra, Jawa dan
masuk ke perairan dalam Indonesia melalui selat Lombok dapat dilihat pada
gambar 9.2.
Gambar 9.1 289 elemen hingga di SelatMakassar dan Laut Sulawesi.
77Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
78Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Model Adveksi-DifusiModel adveksi-dispersi memerikan sebaran suatu partikel polutan dalam kolom
air, baik secara vertikal maupun horizontal. Pergerakan vertikal tersebut
terkait dengan pengaruh arus (proses adveksi), sedangkan pergerakan
horizontal berhubungan dengan proses dispersi (termasuk difusi turbulensi).
Partikel S dapat berupa beberapa jenis polutan, termasuk polutan terlarut
maupun tersuspensi. Sebagai dasar perhitungan untuk kualitas perairan,
model akan menghitung salinitas dan temperatur perairan. Beberapa variabel
yang dapat dimodelkan adalah oksigen terlarut (DO), biological oxygen demand
(BOD), ammonia (NH3), nitrat (NO3), phospat (PO4), dan polutan yang lain,
seperti sisa pakan dan faeces. Bentuk umum dari persamaan adveksi-dispersi
untuk sembarang padatan S adalah sebagai berikut:
(4)
atau sebagai alternatif, dapat ditulis
(5)
dimana c adalah konsentrasi berupa limpahan yang disebabkan oleh
penambahan sedimen atau pengaruh temperatur, u adalah kecepatan yang
diberikan pada setiap elemen yang diberikan oleh persamaan hidrodinamika,
Dx adalah koefisien dispersi longitudinal, Dy adalah koefisien dispersi
transversal, S adalah bentuk fluks massa, Q adalah air yang diinjeksikan, co
adalah konsentrasi berupa limpahan konsentrasi sedimen/temperatur dari
aliran yang masuk (dari debit sungai dll).
DAFTAR PUSTAKADoneker,R et al “Pollutant Transport and Mixing Zone Simulation of
SedimentDensity Currents” JOURNAL OF HYDRAULIC ENGINEERING © ASCE /
APRIL 2004Officer,B 1978 “Physical Oceanography of Estuaries” John Willey & Son, New
York.Rijn,L.C 1993 “Principles of Sedimen Transport in Rivers, Estuaries and Coastal
Waters“ Aqua Pubh. Amsterdam.
oyx QcSHc
tHcu
xy
cHD
yx
cHD
x
oyx QcS
t
cH
x
cHu
y
cHD
yx
cHD
x
BAB IXModel Spektral Elemen Hingga di Selat Makassar Fadli Syamsudin
Salah satu skema penyelesaian persamaan model regional adalah dengan
Spectral Element Ocean Model (SEOM) yang dikembangkan oleh Rutgers
University. SEOM adalah sebuah tipe h-p model dari elemen hingga (finite
element) yaitu mendekati solusi dengan apa yang disebut dengan unstructured
grid of quadrilateral elements. SEOM secara akurat dapat mensimulasi
dinamika gelombang dan arus dalam batimetri yang kompleks termasuk garis
pantai yang rumit dan pulau (Syamsudin, 2001).
Salah satu hal yang menarik dari penerapan model ini adalah melihat dinamika
propagasi gelombang Kelvin dari samudra India ke perairan Indonesia. Langkah
pertama adalah dengan membangun grid elemen hingga dari samudra India
timur sampai laut Sulawesi. Beberapa pengambaran elemen dapat dilihat pada
gambar 9.1.
Hasil simulasi dengan SEOM untuk propagasi gelombang Kelvin dengan periode
50 hari yang menjalar dari samudra India menyusur pantai Sumatra, Jawa dan
masuk ke perairan dalam Indonesia melalui selat Lombok dapat dilihat pada
gambar 9.2.
Gambar 9.1 289 elemen hingga di SelatMakassar dan Laut Sulawesi.
77Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
78Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Sistem arus dan amplituda gelombang Kelvin pada eksperimen model ini sesuai
dengan hasil observasi di Selat Makassar (Syamsudin, 2001). Simulasi juga
menunjukkan bahwa gelombang Keli yang masuk ke perairan Indonesia dapat
mereduksi transport arus lintas.
DAFTAR PUSTAKASyamsudin, F., “On Kelvin Wave Propagation Effects on Indonesian
Throughflow in Makassar Strait”, Thesis Master di Rutgers University, 2001.
Gambar 9.2 Propagasi gelombang Kelvin masuk ke perairan dalam Indonesia. atas) amplitudgelombang; bawah) sistem arus.
BAB XModel Sebaran Zat Hara untuk Hidro-Ekologi
Perairan Teluk Albert Sulaiman
Dalam praktek hanya kasus yang sangat sederhana saja persamaan 4.1-4.5
dapat dipecahkan secara analitik. Karena kesulitan mencari solusi analitik
maka digunakan metode numeric. Metode yang paling banyak di pakai adalah
metode beda hingga dan metode elemen hingga. Banyak perangkat lunak telah
dikembangkan orang misalnya AquaSea, Mike21, SMS, Princeton Ocean Model
(POM) dan lain sebagainya. Pada umunya setiap model mensyaratkan data
batimetri perairan. Data lain yang sangat di perlukan adalah data pasang surut
karena pada skala ini salah satu gaya yang paling dominant adalah pasang
surut. Data yang lain yang cukup signifikan untuk sirkulasi arus skala local
adalah data angin. Beberapa data pendukung seperti discharge dari sungai,
sumber polutan dan lain sebagainya juga diperlukan. Berikut akan diberikan
contoh penerapan sirkulasi skala local di daerah teluk Hurun Lampung. Data
batimetri teluk Hurun dapat dilihat pada gambar 10.1.
Kedalaman dasar laut perairan teluk yang terdalam adalah 23,5 m yang
dijumpai di timur laut yaitu mulut teluk bagian selatan. Pada umumnya
perairan bagian mulut teluk mempunyai kedalaman dasar laut lebih besar dari
20,0 m. Garis pantai yang tertera dalam peta batimetri merupakan hasil
interpolasi terhadap data kedalaman yang terdekat dengan garis pantai. Untuk
mendapatkan peta batimetri perairan teluk, data titik-titik kedalaman dasar
laut tersebut diplot kedalam peta skala 1: 5000. Berdasarkan peta titik
kedalaman dasar laut tersebut kemudian dibuat peta batimetri dengan cara
menghubungkan titik-titik kedalaman yang sama, dengan interval garis kontur
2m. Peta batimetri yang dihasilkan menunjukkan pola garis kontur sampai
dengan kedalaman 10 m, mengikuti bentuk garis pantai teluk Hurun Hanura.
Kedalaman dasar laut lebih dari 18 m pada umumnya relatif datar dan
menempati bagian tengah daerah penyelidikan. Dasar perairan yang relatif
terjal hanya dijumpai di bagian pantai utara dan selatan yang pada bagian
daratnya umumnya berupa perbukitan. Dari peta terlihat bahwa bila dilihat
dari pola garis konturnya, daerah yang diduga tingkat sedimentasinya cukup
rendah adalah pada garis kontur lebih dari 16 m. Pengukuran pasang surut
79Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
80Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Sistem arus dan amplituda gelombang Kelvin pada eksperimen model ini sesuai
dengan hasil observasi di Selat Makassar (Syamsudin, 2001). Simulasi juga
menunjukkan bahwa gelombang Keli yang masuk ke perairan Indonesia dapat
mereduksi transport arus lintas.
DAFTAR PUSTAKASyamsudin, F., “On Kelvin Wave Propagation Effects on Indonesian
Throughflow in Makassar Strait”, Thesis Master di Rutgers University, 2001.
Gambar 9.2 Propagasi gelombang Kelvin masuk ke perairan dalam Indonesia. atas) amplitudgelombang; bawah) sistem arus.
BAB XModel Sebaran Zat Hara untuk Hidro-Ekologi
Perairan Teluk Albert Sulaiman
Dalam praktek hanya kasus yang sangat sederhana saja persamaan 4.1-4.5
dapat dipecahkan secara analitik. Karena kesulitan mencari solusi analitik
maka digunakan metode numeric. Metode yang paling banyak di pakai adalah
metode beda hingga dan metode elemen hingga. Banyak perangkat lunak telah
dikembangkan orang misalnya AquaSea, Mike21, SMS, Princeton Ocean Model
(POM) dan lain sebagainya. Pada umunya setiap model mensyaratkan data
batimetri perairan. Data lain yang sangat di perlukan adalah data pasang surut
karena pada skala ini salah satu gaya yang paling dominant adalah pasang
surut. Data yang lain yang cukup signifikan untuk sirkulasi arus skala local
adalah data angin. Beberapa data pendukung seperti discharge dari sungai,
sumber polutan dan lain sebagainya juga diperlukan. Berikut akan diberikan
contoh penerapan sirkulasi skala local di daerah teluk Hurun Lampung. Data
batimetri teluk Hurun dapat dilihat pada gambar 10.1.
Kedalaman dasar laut perairan teluk yang terdalam adalah 23,5 m yang
dijumpai di timur laut yaitu mulut teluk bagian selatan. Pada umumnya
perairan bagian mulut teluk mempunyai kedalaman dasar laut lebih besar dari
20,0 m. Garis pantai yang tertera dalam peta batimetri merupakan hasil
interpolasi terhadap data kedalaman yang terdekat dengan garis pantai. Untuk
mendapatkan peta batimetri perairan teluk, data titik-titik kedalaman dasar
laut tersebut diplot kedalam peta skala 1: 5000. Berdasarkan peta titik
kedalaman dasar laut tersebut kemudian dibuat peta batimetri dengan cara
menghubungkan titik-titik kedalaman yang sama, dengan interval garis kontur
2m. Peta batimetri yang dihasilkan menunjukkan pola garis kontur sampai
dengan kedalaman 10 m, mengikuti bentuk garis pantai teluk Hurun Hanura.
Kedalaman dasar laut lebih dari 18 m pada umumnya relatif datar dan
menempati bagian tengah daerah penyelidikan. Dasar perairan yang relatif
terjal hanya dijumpai di bagian pantai utara dan selatan yang pada bagian
daratnya umumnya berupa perbukitan. Dari peta terlihat bahwa bila dilihat
dari pola garis konturnya, daerah yang diduga tingkat sedimentasinya cukup
rendah adalah pada garis kontur lebih dari 16 m. Pengukuran pasang surut
79Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
80Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
menunjukkan bahwa tipe pasang surut yang terjadi bertipe campuran, condong
ke harian. Periode dominan adalah 12 jam (semi-diurnal). Ketinggian
maksimum adalah 1 m. Berdasarkan data barimetri dan data pasang surut
maka model hirdodinamika dapat dijalankan dengan hasil pada gambar 10.2.
Dari gambar 10.2 dan 10.3 terlihat bahwa pada sirkulasi arus pada saat pasang
dan surut mempunyai pola yang sedikit berbeda. Pada saat pasang secara
umum arus akan masuk ke pantai dan pada saat surut arus akan menuju ke laut
lepas. Pada daerah dengan kedalaman sekitar 15m dimana daerah tersebut
berbentuk semacam cekungan, maka pola sirkulasi baik saat pasang dan surut
terdapat semacam eddy (putaran/gyre) dimana pada saat surut eddy berputar
searah jarum jam dan pada saat pasang eddy berputar berlawanan arah jarum
jam. Model adveksi-difusi dijalankan setelah mendapat masukan dari model
hidrodinamika (lihat gambar 10.4 dan 10.5).
Simulasi diatas menggunakan perangkat lunak Mike-21. Hasil menunjukkan
bahwa pada saat muka air surut terkeonsentrasi pada kisaran 2x10-4 3x10-4
Gambar 10.1 Kondisi batimetri teluk Hurun.Perangkat lunak yang digunakan adalah AquaSeayang dikembangkan oleh Vatnaskil Consulting Engineering.
Gambar 10.2 (atas) Kondisi arus pada saat surutGambar 10.3 (bawah) Kondisi sirkulasi arus pada saat pasang.
81Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
82Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
menunjukkan bahwa tipe pasang surut yang terjadi bertipe campuran, condong
ke harian. Periode dominan adalah 12 jam (semi-diurnal). Ketinggian
maksimum adalah 1 m. Berdasarkan data barimetri dan data pasang surut
maka model hirdodinamika dapat dijalankan dengan hasil pada gambar 10.2.
Dari gambar 10.2 dan 10.3 terlihat bahwa pada sirkulasi arus pada saat pasang
dan surut mempunyai pola yang sedikit berbeda. Pada saat pasang secara
umum arus akan masuk ke pantai dan pada saat surut arus akan menuju ke laut
lepas. Pada daerah dengan kedalaman sekitar 15m dimana daerah tersebut
berbentuk semacam cekungan, maka pola sirkulasi baik saat pasang dan surut
terdapat semacam eddy (putaran/gyre) dimana pada saat surut eddy berputar
searah jarum jam dan pada saat pasang eddy berputar berlawanan arah jarum
jam. Model adveksi-difusi dijalankan setelah mendapat masukan dari model
hidrodinamika (lihat gambar 10.4 dan 10.5).
Simulasi diatas menggunakan perangkat lunak Mike-21. Hasil menunjukkan
bahwa pada saat muka air surut terkeonsentrasi pada kisaran 2x10-4 3x10-4
Gambar 10.1 Kondisi batimetri teluk Hurun.Perangkat lunak yang digunakan adalah AquaSeayang dikembangkan oleh Vatnaskil Consulting Engineering.
Gambar 10.2 (atas) Kondisi arus pada saat surutGambar 10.3 (bawah) Kondisi sirkulasi arus pada saat pasang.
81Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
82Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 10.4 Simulasi Phospat ada saat surut rendah.
Gambar 10.5 Simulasi Phospat a) pada saat air mulai pasang, b) pada saat air pasang tinggi.
mg/l. Sedangkan pada air pasang tinggi kandungan phopat menurun menjadi
sekitar 1.6x10-5 mg/l.
DAFTAR PUSTAKABowden,K 1985 “Physical Oceanography of Coastal Waters” Ellis Horwood, New
York.Subandar,A; Lukiyanto & A. Sulaiman 2005 “Penentuan Daya Dukung
Lingkungan Budidaya Keramba Jaring Apung” KMNRT, Jakarta.Suhardi,I & A. Sulaiman “Pendahuluan Geomorfologi Pantai Indonesia” under
construction.Velasco,G & C. Winant 2003 “Wind and Density Driven Circulation in a Well-
Mixed Estuary” J. Phys. Ocean Vol 34,1103-1116
83Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
84Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 10.4 Simulasi Phospat ada saat surut rendah.
Gambar 10.5 Simulasi Phospat a) pada saat air mulai pasang, b) pada saat air pasang tinggi.
mg/l. Sedangkan pada air pasang tinggi kandungan phopat menurun menjadi
sekitar 1.6x10-5 mg/l.
DAFTAR PUSTAKABowden,K 1985 “Physical Oceanography of Coastal Waters” Ellis Horwood, New
York.Subandar,A; Lukiyanto & A. Sulaiman 2005 “Penentuan Daya Dukung
Lingkungan Budidaya Keramba Jaring Apung” KMNRT, Jakarta.Suhardi,I & A. Sulaiman “Pendahuluan Geomorfologi Pantai Indonesia” under
construction.Velasco,G & C. Winant 2003 “Wind and Density Driven Circulation in a Well-
Mixed Estuary” J. Phys. Ocean Vol 34,1103-1116
83Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
84Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB XIPengembangan Sistem Pemantauan Dinamika
Laut Indonesia Fadli Syamsudin
Potensi Bencana Alam dari Atmosfer dan LautSecara periodik 3-5 tahunan seluruh wilayah Indonesia terkena dampak
fenomena ENSO yang menyebabkan Indonesia mengalami kemarau yang
panjang pada saat El Nino dan musim hujan yang lama pada saat La Nina.
Fenomena ENSO ini tekah diketahui berasal dari mekanisme laut yang terjadi
di Samudera Pasifik, yaitu ketika kolam panas yang biasanya terkonsentrasi di
wilayah sekitar ekuatorial Pasifik Barat berpindah ke wilayah Pasifik Tengah
dan Timur akibat penjalaran gelombang Kelvin.
Kekosongan massa air hangat yang menjadi sumber panas konveksi (curah
hujan yang cukup di wilayah Indonesia), digantikan oleh naiknya massa air
dingin oleh proses upwelling dari kedalaman di wilayah ekuatorial Pasifik Barat
yang menyebabkan wilayah Indonesia kehilangan sumber panas konveksi dan
menjadikan wilayah ini kekeringan. Hal yang sebaliknya terjadi pada saat La
Nina berlangsung.
Disisi lain, proses internal dinamika Samudera Hindia menyebabkan fenomena
serupa seperti yang terjadi di Samudera Pasifik, yaitu fenomena Indian Ocean
Dipole (IOD). Fenomena ini belum banyak diketahui masyarakat Indonesia,
namun fenomena ini telah membuat musim kemarau semakin panjang pada
tahun 1997, ketika IOD datang secara bersamaan saat terjadinya El Nino dari
Samudera Pasifik dan menyebabkan tahun 1997 seluruh Indonesia mengalami
musim kering yang diikuti dengan kebakaran hutan. Musim kering pada tahun
1997 tercatat sebagai yang terbesar selama ini. IOD tercatat juga terjadi pada
tahun 1994.
Selain fenomena regional di atas, wilayah Indonesia juga sangat intens
dipengaruhi badai tropis yang terjadi di sekitar Laut China Selatan, perairan
Teluk Benggala, Laut Timor dan Samudera Hindia bagian timur. Badai tropis ini
selain menyebabkan suatu wilayah mengalami curah hujan yang tinggi dalam
durasi yang panjang juga menimbulkan badai pasang akibat meningkatnya
tinggi muka laut di perairan yang dilaluinya. Hal itu berbahaya pada bangunan
dan pemukiman sekitar pantai apabila gelombang pasang mencapai wilayah
tersebut.
Dengan kondisi seperti itu, wilayah Indonesia memerlukan sebuah sistem
peringatan dini yang dapat memberitahukan informasi akurat sejak dini
kedatangan bencana yang disebabkan interaksi laut dan atmosfer. Hal itu
dapat dilakukan dengan memantau perubahan lingkungan laut dan atmosfer di
sekitar wilayah Indonesia sejak sebelum terjadinya bencana alam tersebut.
Parameter Oseanografi Untuk Proxy Prediksi El Nino dan La Nina Fase awal El Nino terjadi karena melemahnya sistem angin pasat timur
(easterly trade wind) di ekuator Pasifik, kemudian dilanjutkan dengan
menguatnya sistem angin pasat barat (westerly trade wind) yang memindahkan
konsentrasi massa air hangat lebih besar atau sama dengan 29 derajat C di
kolam panas Samudera Pasifik barat ke bagian tengah dan timur. Kekosongan
massa air hangat tersebut di Samudera Pasifik barat kemudian diisi massa air
dingin melalui proses upwelling (taikan air).
Dengan nilai Indeks NINO3 (yaitu wilayah di Pasifik Tengah dan Timur) sebesar
2 dan Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index) -10, maka fenomena
El Nino dapat didefinisikan telah berlangsung. Khusus perairan Indonesia, kami
Gambar 11.1 Rekaman data arus kedalaman 225 m pada mooring yang ditambatkan di SelatMakassar (panel atas) dan perbandingan data arus hasil filter 30 hari dengan indek osilasi
selatan (panel bawah) [Sumber gambar: Bambang Herunadi, Unit Pelaksana Teknis Baruna Jaya].
85Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
86Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB XIPengembangan Sistem Pemantauan Dinamika
Laut Indonesia Fadli Syamsudin
Potensi Bencana Alam dari Atmosfer dan LautSecara periodik 3-5 tahunan seluruh wilayah Indonesia terkena dampak
fenomena ENSO yang menyebabkan Indonesia mengalami kemarau yang
panjang pada saat El Nino dan musim hujan yang lama pada saat La Nina.
Fenomena ENSO ini tekah diketahui berasal dari mekanisme laut yang terjadi
di Samudera Pasifik, yaitu ketika kolam panas yang biasanya terkonsentrasi di
wilayah sekitar ekuatorial Pasifik Barat berpindah ke wilayah Pasifik Tengah
dan Timur akibat penjalaran gelombang Kelvin.
Kekosongan massa air hangat yang menjadi sumber panas konveksi (curah
hujan yang cukup di wilayah Indonesia), digantikan oleh naiknya massa air
dingin oleh proses upwelling dari kedalaman di wilayah ekuatorial Pasifik Barat
yang menyebabkan wilayah Indonesia kehilangan sumber panas konveksi dan
menjadikan wilayah ini kekeringan. Hal yang sebaliknya terjadi pada saat La
Nina berlangsung.
Disisi lain, proses internal dinamika Samudera Hindia menyebabkan fenomena
serupa seperti yang terjadi di Samudera Pasifik, yaitu fenomena Indian Ocean
Dipole (IOD). Fenomena ini belum banyak diketahui masyarakat Indonesia,
namun fenomena ini telah membuat musim kemarau semakin panjang pada
tahun 1997, ketika IOD datang secara bersamaan saat terjadinya El Nino dari
Samudera Pasifik dan menyebabkan tahun 1997 seluruh Indonesia mengalami
musim kering yang diikuti dengan kebakaran hutan. Musim kering pada tahun
1997 tercatat sebagai yang terbesar selama ini. IOD tercatat juga terjadi pada
tahun 1994.
Selain fenomena regional di atas, wilayah Indonesia juga sangat intens
dipengaruhi badai tropis yang terjadi di sekitar Laut China Selatan, perairan
Teluk Benggala, Laut Timor dan Samudera Hindia bagian timur. Badai tropis ini
selain menyebabkan suatu wilayah mengalami curah hujan yang tinggi dalam
durasi yang panjang juga menimbulkan badai pasang akibat meningkatnya
tinggi muka laut di perairan yang dilaluinya. Hal itu berbahaya pada bangunan
dan pemukiman sekitar pantai apabila gelombang pasang mencapai wilayah
tersebut.
Dengan kondisi seperti itu, wilayah Indonesia memerlukan sebuah sistem
peringatan dini yang dapat memberitahukan informasi akurat sejak dini
kedatangan bencana yang disebabkan interaksi laut dan atmosfer. Hal itu
dapat dilakukan dengan memantau perubahan lingkungan laut dan atmosfer di
sekitar wilayah Indonesia sejak sebelum terjadinya bencana alam tersebut.
Parameter Oseanografi Untuk Proxy Prediksi El Nino dan La Nina Fase awal El Nino terjadi karena melemahnya sistem angin pasat timur
(easterly trade wind) di ekuator Pasifik, kemudian dilanjutkan dengan
menguatnya sistem angin pasat barat (westerly trade wind) yang memindahkan
konsentrasi massa air hangat lebih besar atau sama dengan 29 derajat C di
kolam panas Samudera Pasifik barat ke bagian tengah dan timur. Kekosongan
massa air hangat tersebut di Samudera Pasifik barat kemudian diisi massa air
dingin melalui proses upwelling (taikan air).
Dengan nilai Indeks NINO3 (yaitu wilayah di Pasifik Tengah dan Timur) sebesar
2 dan Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index) -10, maka fenomena
El Nino dapat didefinisikan telah berlangsung. Khusus perairan Indonesia, kami
Gambar 11.1 Rekaman data arus kedalaman 225 m pada mooring yang ditambatkan di SelatMakassar (panel atas) dan perbandingan data arus hasil filter 30 hari dengan indek osilasi
selatan (panel bawah) [Sumber gambar: Bambang Herunadi, Unit Pelaksana Teknis Baruna Jaya].
85Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
86Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 11.2. Perbedaan Indeks Osilasi Selatan dan Anomali Suhu Permukaan Laut (STA)serta Tinggi Muka Laut (SLA) di Selat Lombok [Sumber gambar: Bambang Herunadi, Unit
Pelaksana Teknis Baruna Jaya].
melakukan analisis deret waktu data arus, suhu, dan pasang surut (pasut) di
Selat Makassar dan Lombok, kemudian dibandingkan dengan Indeks Osilasi
Selatan (Southern Oscillation Index).
Gambar 11.1 dan 11.2 menunjukkan dengan jelas Indek Osilasi selatan
mempunyai korelasi yang signifikan dengan phase tertinggal (phase lag) sekitar
1,5-3 bulan, terhadap data arus 225 m hasil filter 30 harian di Selat Makassar
(gambar 11.1), dan juga dengan suhu dan pasut di Selat Lombok (gambar
11.2).
Fakta ini menunjukkan bahwa sinyal akan terjadinya El Nino telah terdeteksi di
perairan Indonesia sejak 1,5 sampai 3 bulan sebelumnya. Hal ini dapat menjadi
proxy prediksi datangnya ENSO sejak awal dengan mengamati perubahan
parameter Oseanografi yang terjadi di perairan Indonesia.
Fenomena IOD (INDIAN OCEAN DIPOLE) dan Perubahan Iklim Regional Indian Ocean Dipole (IOD) adalah perbedaan anomali dua kutub Suhu
Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia bagian timur (perairan Indonesia
sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia bagian tengah sampai barat
(perairan pantai timur benua Afrika) (Saji dkk., 1999). Evolusi terjadinya IOD dimulai dengan menguatnya angin tenggara di Samudera
Hindia sepanjang pantai di perairan selatan Jawa dan Sumatera, kemudian
diikuti dengan perubahan angin baratan (kondisi normal) menjadi angin
timuran sepanjang ekuator Samudera Hindia. IOD terbentuk apabila ada
indikasi terjadi anomali negatif SPL di Samudera Hindia bagian timur diikuti
anomali positif SPL di Samudera Hindia bagian tengah sampai barat.
Indikasi awal sinyal IOD dapat dilacak dengan melihat data anomali angin
timuran dari ECMWF (European Center for Medium-Range Weather Forecast)
satelit NOAA dan meningkatnya anomali positif SPL (1.5-2 derajat celsius) di
Samudera Hindia tengah dan barat.
Demikian juga analisis data satelit anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR)
yang dapat dipantau langsung dari hasil rekaman Pusat Diagnostik Iklim
(Climate Diagnostic Center), National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA), apabila menunjukkan anomali positif OLR 70-90 Watt/m2 (sedikit
konveksi mengakibatkan curah hujan menurun) ditandai dengan kontur warna
biru gelap di Samudera Hindia bagian timur, terfokus di perairan selatan Jawa
dan Sumatera, dan anomali negatif OLR 50-70 Watt/m2 (banyak konveksi
mengakibatkan curah hujan meningkat) ditandai dengan kontur warna merah
muda di Samudera Hindia bagian tengah.
Disamping itu dapat diketahui dengan semakin menguatnya angin tenggara
sepanjang pesisir pantai Jawa dan Sumatera yang akan meningkatkan
konsentrasi massa air dingin (anomaly SPL negatif) di wilayah tersebut, akibat
intensitas upwellig yang meningkat.
Semua fenomena yang dipaparkan di atas adalah untuk menjelaskan IOD fase
positif yang berdampak pada kekeringan seperti halnya El Nino. Selain itu ada
proses fisik yang berlawanan dengan mekanisme di atas, yaitu IOD fase negatif
yang berdampak pada peningkatan intensitas hujan seperti halnya La Nina. IOD dengan fase positif pernah terjadi pada tahun 1982, 1994 dan 1997,
sedangkan fase negatif DME pada tahun 1984-1954 dan 1996. Fase positif
(negatif) mempunyai karakteristik memanasnya (mendinginnya) Suhu
Permukaan Laut (SPL) di bagian barat Samudera Hindia (perairan sekitar pantai
timur Afrika), sedangkan di bagian timur Samudera Hindia (perairan sekitar
Sumatra dan Jawa) terjadi pendinginan (pemanasan) yang berlebihan dari
kondisi normalnya.
Demikian juga kecepatan Wyrtki jet (system arus dengan kecepatan tinggi yang
bergerak ke timur sepanjang ekuator Samudera Hindia dan umumnya terjadi
dua kali setahun pada bulan April-Mei dan Oktober-November) mengalami
penurunan (kenaikan) selama fase positif (negatif) IOD dan diikuti dengan
87Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
88Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 11.2. Perbedaan Indeks Osilasi Selatan dan Anomali Suhu Permukaan Laut (STA)serta Tinggi Muka Laut (SLA) di Selat Lombok [Sumber gambar: Bambang Herunadi, Unit
Pelaksana Teknis Baruna Jaya].
melakukan analisis deret waktu data arus, suhu, dan pasang surut (pasut) di
Selat Makassar dan Lombok, kemudian dibandingkan dengan Indeks Osilasi
Selatan (Southern Oscillation Index).
Gambar 11.1 dan 11.2 menunjukkan dengan jelas Indek Osilasi selatan
mempunyai korelasi yang signifikan dengan phase tertinggal (phase lag) sekitar
1,5-3 bulan, terhadap data arus 225 m hasil filter 30 harian di Selat Makassar
(gambar 11.1), dan juga dengan suhu dan pasut di Selat Lombok (gambar
11.2).
Fakta ini menunjukkan bahwa sinyal akan terjadinya El Nino telah terdeteksi di
perairan Indonesia sejak 1,5 sampai 3 bulan sebelumnya. Hal ini dapat menjadi
proxy prediksi datangnya ENSO sejak awal dengan mengamati perubahan
parameter Oseanografi yang terjadi di perairan Indonesia.
Fenomena IOD (INDIAN OCEAN DIPOLE) dan Perubahan Iklim Regional Indian Ocean Dipole (IOD) adalah perbedaan anomali dua kutub Suhu
Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia bagian timur (perairan Indonesia
sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia bagian tengah sampai barat
(perairan pantai timur benua Afrika) (Saji dkk., 1999). Evolusi terjadinya IOD dimulai dengan menguatnya angin tenggara di Samudera
Hindia sepanjang pantai di perairan selatan Jawa dan Sumatera, kemudian
diikuti dengan perubahan angin baratan (kondisi normal) menjadi angin
timuran sepanjang ekuator Samudera Hindia. IOD terbentuk apabila ada
indikasi terjadi anomali negatif SPL di Samudera Hindia bagian timur diikuti
anomali positif SPL di Samudera Hindia bagian tengah sampai barat.
Indikasi awal sinyal IOD dapat dilacak dengan melihat data anomali angin
timuran dari ECMWF (European Center for Medium-Range Weather Forecast)
satelit NOAA dan meningkatnya anomali positif SPL (1.5-2 derajat celsius) di
Samudera Hindia tengah dan barat.
Demikian juga analisis data satelit anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR)
yang dapat dipantau langsung dari hasil rekaman Pusat Diagnostik Iklim
(Climate Diagnostic Center), National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA), apabila menunjukkan anomali positif OLR 70-90 Watt/m2 (sedikit
konveksi mengakibatkan curah hujan menurun) ditandai dengan kontur warna
biru gelap di Samudera Hindia bagian timur, terfokus di perairan selatan Jawa
dan Sumatera, dan anomali negatif OLR 50-70 Watt/m2 (banyak konveksi
mengakibatkan curah hujan meningkat) ditandai dengan kontur warna merah
muda di Samudera Hindia bagian tengah.
Disamping itu dapat diketahui dengan semakin menguatnya angin tenggara
sepanjang pesisir pantai Jawa dan Sumatera yang akan meningkatkan
konsentrasi massa air dingin (anomaly SPL negatif) di wilayah tersebut, akibat
intensitas upwellig yang meningkat.
Semua fenomena yang dipaparkan di atas adalah untuk menjelaskan IOD fase
positif yang berdampak pada kekeringan seperti halnya El Nino. Selain itu ada
proses fisik yang berlawanan dengan mekanisme di atas, yaitu IOD fase negatif
yang berdampak pada peningkatan intensitas hujan seperti halnya La Nina. IOD dengan fase positif pernah terjadi pada tahun 1982, 1994 dan 1997,
sedangkan fase negatif DME pada tahun 1984-1954 dan 1996. Fase positif
(negatif) mempunyai karakteristik memanasnya (mendinginnya) Suhu
Permukaan Laut (SPL) di bagian barat Samudera Hindia (perairan sekitar pantai
timur Afrika), sedangkan di bagian timur Samudera Hindia (perairan sekitar
Sumatra dan Jawa) terjadi pendinginan (pemanasan) yang berlebihan dari
kondisi normalnya.
Demikian juga kecepatan Wyrtki jet (system arus dengan kecepatan tinggi yang
bergerak ke timur sepanjang ekuator Samudera Hindia dan umumnya terjadi
dua kali setahun pada bulan April-Mei dan Oktober-November) mengalami
penurunan (kenaikan) selama fase positif (negatif) IOD dan diikuti dengan
87Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
88Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
menebalnya (menipisnya) lapisan termoklin (perubahan suhu secara drastis
pada suatu kedalaman tertentu di laut) dari kondisi normalnya di Samudera
Hindia bagian timur dan sebaliknya menipis (menebal) di Samudera Hindia
bagian barat.
Dampak dari perubahan kondisi Oseanografi di atas menyebabkan hujan
(kemarau) yang berkepanjangan di Kenya dan negara di pantai timur Afrika
serta beberapa daerah di India bagian barat, sedangkan Indonesia dan negara
sekitarnya, dimana kolam dingin (panas) berada di Samudera Hindia bagian
barat, akan mengalami kemarau (hujan) pada saat terjadinya fase positif
(negatif) IOD.
Gambar 11.3 Penampang menegak suhu secara melintang pada 900 BT;4 LU 4 LS, yang diambil dari Kapal Riset Mirai (JAMSTEC, Jepang) pada bulan Oktober 2001.
Kami sajikan hasil pengukuran suhu laut yang diambil pada pelayaran Kapal
Riset Mirai (Jepang) saat melintas perairan di ekuator Samudera Hindia bagian
barat pada bulan Oktober 2001 yang lalu untuk melihat perubahan parameter
Oseanografi yang terjadi di Samudera Hindia bagian timur pada saat IOD fase
negative terjadi pada akhir tahun 2001 dan menyebabkan Indonesia mengalami
musim hujan yang berkepanjangan hingga bulan Maret 2002.
Gambar 11.3 adalah penampang menegak suhu di sekitar ekuator dari 4 LU 4
LS sepanjang lintasan yang dilalui K/R Mirai. Terlihat tertekan/menebalnya
lapisan termoklin sebagai akibat menguatnya arus Wyrtki jet. Kedalaman
lapisan homogen (ditandai dengan warna merah pada suhu 280C) sekitar 100-
120m adalah lebih tinggi dari kondisi normalnya yang berkisar 60-80m.
Indikasi di atas memberikan sinyal kuat terjadinya fase negatif IOD. Apabila
akumulasi panas yang terkumpul cukup besar dan diikuti juga dengan semakin
menebalnya lapisan termoklin, maka dapat diperkirakan besarnya transfer
panas (bahang) ke atmosfer sebagai akibat proses konveksi yang terjadi. Dan
laut adalah reservoar alam terbesar, maka konveksi panas tersebut sangat
signifikan menyebabkan hujan dalam skala regional.
Gambar 11.4 adalah citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 pada tanggal
05 LS
07 LS
09 LS
08 LS
06 LS
105
106
112
113
114
107
108
109
11
111
Gambar 11.4. Suhu Permukaan Laut satelit NOAA 12, yang diambil pada tangal28 Februari, 2002, pukul 05:01 WIB
(Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA, BPPT).
89Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
90Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
menebalnya (menipisnya) lapisan termoklin (perubahan suhu secara drastis
pada suatu kedalaman tertentu di laut) dari kondisi normalnya di Samudera
Hindia bagian timur dan sebaliknya menipis (menebal) di Samudera Hindia
bagian barat.
Dampak dari perubahan kondisi Oseanografi di atas menyebabkan hujan
(kemarau) yang berkepanjangan di Kenya dan negara di pantai timur Afrika
serta beberapa daerah di India bagian barat, sedangkan Indonesia dan negara
sekitarnya, dimana kolam dingin (panas) berada di Samudera Hindia bagian
barat, akan mengalami kemarau (hujan) pada saat terjadinya fase positif
(negatif) IOD.
Gambar 11.3 Penampang menegak suhu secara melintang pada 900 BT;4 LU 4 LS, yang diambil dari Kapal Riset Mirai (JAMSTEC, Jepang) pada bulan Oktober 2001.
Kami sajikan hasil pengukuran suhu laut yang diambil pada pelayaran Kapal
Riset Mirai (Jepang) saat melintas perairan di ekuator Samudera Hindia bagian
barat pada bulan Oktober 2001 yang lalu untuk melihat perubahan parameter
Oseanografi yang terjadi di Samudera Hindia bagian timur pada saat IOD fase
negative terjadi pada akhir tahun 2001 dan menyebabkan Indonesia mengalami
musim hujan yang berkepanjangan hingga bulan Maret 2002.
Gambar 11.3 adalah penampang menegak suhu di sekitar ekuator dari 4 LU 4
LS sepanjang lintasan yang dilalui K/R Mirai. Terlihat tertekan/menebalnya
lapisan termoklin sebagai akibat menguatnya arus Wyrtki jet. Kedalaman
lapisan homogen (ditandai dengan warna merah pada suhu 280C) sekitar 100-
120m adalah lebih tinggi dari kondisi normalnya yang berkisar 60-80m.
Indikasi di atas memberikan sinyal kuat terjadinya fase negatif IOD. Apabila
akumulasi panas yang terkumpul cukup besar dan diikuti juga dengan semakin
menebalnya lapisan termoklin, maka dapat diperkirakan besarnya transfer
panas (bahang) ke atmosfer sebagai akibat proses konveksi yang terjadi. Dan
laut adalah reservoar alam terbesar, maka konveksi panas tersebut sangat
signifikan menyebabkan hujan dalam skala regional.
Gambar 11.4 adalah citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 pada tanggal
05 LS
07 LS
09 LS
08 LS
06 LS
105
106
112
113
114
107
108
109
11
111
Gambar 11.4. Suhu Permukaan Laut satelit NOAA 12, yang diambil pada tangal28 Februari, 2002, pukul 05:01 WIB
(Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA, BPPT).
89Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
90Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
28 Februari, 2002 yang diolah laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA di
sekitar perairan selatan Jawa dan Barat Sumatra. Analisis citra SPL satelit NOAA-12 menunjukkan dominasi suhu tinggi dalam
kisaran 28-320C (warna merah menunjukkan kontras suhu yang tinggi,
sedangkan putih adalah wilayah yang tertutup awan) di sekitar Samudera
Hindia bagian timur yang berkorelasi positif dengan pengamatan hidrologi K/R
Mirai (gambar 11.3).
Melihat kondisi di atas, dapat dimengerti mengapa intensitas hujan pada bulan
Februari dan Maret 2002 sangat intens terjadi di wilayah sekitar P. Jawa dan
Sumatra. Khusus untuk Jakarta telah terjadi musibah nasional dengan bencana
banjir.
Sistem Informasi Data Laut dan Atmosfer IndonesiaData lapangan yang telah dibentangkan di atas menunjukkan bahwa parameter
Oseanografi dapat dijadikan parameter dasar untuk memantau datangnya
fenomena ENSO yang dipicu di Samudera Pasifik dan IOD dari Samudera Hindia.
Disamping itu dengan menggunakan analisis citra satelit Oseanografi dan
Meteorologi secara bersama-sama dapat juga dipantau sejak awal terjadinya
kedua fenomena perubahan iklim tersebut.
Dengan demikian analisis yang kredibel untuk prediksi datangnya ENSO dan IOD
dapat dilakukan dengan menggunakan data laut dan atmosfer yang
representatif.
Untuk membangun sistem monitoring perubahan iklim regional yang andal kita
harus membangun sistem informasi data laut dan atmosfer untuk wilayah
Indonesia yang dapat diperoleh secara terus menerus dan langsung (real time). Beberapa pelampung yang dilengkapi sensor untuk mengukur parameter
standar Oseanografi (suhu, salinitas, perubahan muka laut) dan Stasiun
Meteorologi (suhu, tekanan, arah, kecepatan angin, dan kelembaban)
sebaiknya dipasang di sepanjang Paparan Sunda Samudera Hindia untuk
menyidik sinyal Indian Ocean Dipole.
Untuk Samudera Pasifik, prasarana tersebut sudah tersedia melalui program
Tropical Atmosphere-Ocean (TAO)/TRITON berupa penambatan 70 buah stasiun
Oseanografi dan Meteorologi di sepanjang ekuator Samudera Pasifik. Program
ini merupakan kerja sama Pemerintah Amerika, Jepang, dan Perancis untuk
memonitor perkembangan ENSO.
Indonesia telah berperan aktif dalam program ini melalui kerjasama antara
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Marine Science
and Technology Center (JAMSTEC), Jepang.
Apabila prasarana standar sistem monitoring ini telah terpenuhi, ditambah lagi
dengan melimpahnya data satelit oseanografi laut (NOAA, TOPEX/POSEIDON)
dan meteorologi (NOAA, GMS, METEOSAT) yang dapat diakses dari berbagai
situs, maka prediksi perubahan iklim regional yang terjadi dapat dibuat sedini
dan setepat mungkin.
Sebagai penutup, kami ingin menunjukkan sensitivitas perairan bagian timur
Samudera Hindia, khususnya sekitar paparan Sunda dan Laut Jawa terhadap
perubahan iklim regional yang disebabkan oleh fenomena ENSO dan IOD.
Gambar 11.5 adalah lokasi transek Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) citra
satelit TOPEX/ERS-2 di Samudera Hindia Bagian Timur (A) dan Laut Jawa (B)
[panel atas] dan Hoevmoller diagram ATPL di kedua perairan (A) dan (B) [panel
bawah].
ATPL positif menunjukkan massa air hangat dan ATPL negatif untuk massa air
dingin. Massa air hangat selanjutnya berkolerasi dengan penguapan yang
intensif yang berakibat pada curah hujan tinggi, sebaliknya untuk massa air
dingin dengan terjadinya kekeringan, sebagai akibat konveksi panas yang
sedikit.
Analisis ATPL selama tahun 2000 s/d 2002 menunjukkan Samudera Hindia
sangat sensitive terhadap perubahan iklim regional dibandingkan Laut Jawa.
Hal ini dapat dianalisis bahwa perubahan parameter Oseanografi di Samudera
Hindia, khususnya paparan Sunda sangat memegang peranan penting dalam
perubahan iklim regional.
Dari analisis ATPL pada gambar 11.5 dengan jelas kita dapat melihat curah
hujan tinggi yang menyebabkan sebagian wilayah Indonesia, khususnya
Indonesia bagian barat dilanda banjir seperti yang terjadi di Jakarta pada
bulan Januari dan mencapai puncaknya pada Februari pada tahun 2000 dan
2001. Hal tersebut ditunjukkan dengan konsentrasi ATPL tinggi yang terjadi
dari bulan Januari s/d April selama tahun 2000 dan 2001.
Sebaliknya memasuki bulan Agustus s/d Oktober 2000, 2001, dan 2002
konsentrasi massa air dingin (ATPL negatif) mendominasi perairan paparan
Sunda dan hal ini berkorelasi dengan kekeringan yang datang berbarengan
dengan puncak musim kemarau.
Dengan demikian secara sederhana, kita dapat memantau perairan paparan
Sunda dan sekitarnya untuk prediksi musim kering dan musim basah di wilayah
Indonesia, khususnya Indonesia bagian Barat dan Tengah yang lebih didominasi
91Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
92Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
28 Februari, 2002 yang diolah laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA di
sekitar perairan selatan Jawa dan Barat Sumatra. Analisis citra SPL satelit NOAA-12 menunjukkan dominasi suhu tinggi dalam
kisaran 28-320C (warna merah menunjukkan kontras suhu yang tinggi,
sedangkan putih adalah wilayah yang tertutup awan) di sekitar Samudera
Hindia bagian timur yang berkorelasi positif dengan pengamatan hidrologi K/R
Mirai (gambar 11.3).
Melihat kondisi di atas, dapat dimengerti mengapa intensitas hujan pada bulan
Februari dan Maret 2002 sangat intens terjadi di wilayah sekitar P. Jawa dan
Sumatra. Khusus untuk Jakarta telah terjadi musibah nasional dengan bencana
banjir.
Sistem Informasi Data Laut dan Atmosfer IndonesiaData lapangan yang telah dibentangkan di atas menunjukkan bahwa parameter
Oseanografi dapat dijadikan parameter dasar untuk memantau datangnya
fenomena ENSO yang dipicu di Samudera Pasifik dan IOD dari Samudera Hindia.
Disamping itu dengan menggunakan analisis citra satelit Oseanografi dan
Meteorologi secara bersama-sama dapat juga dipantau sejak awal terjadinya
kedua fenomena perubahan iklim tersebut.
Dengan demikian analisis yang kredibel untuk prediksi datangnya ENSO dan IOD
dapat dilakukan dengan menggunakan data laut dan atmosfer yang
representatif.
Untuk membangun sistem monitoring perubahan iklim regional yang andal kita
harus membangun sistem informasi data laut dan atmosfer untuk wilayah
Indonesia yang dapat diperoleh secara terus menerus dan langsung (real time). Beberapa pelampung yang dilengkapi sensor untuk mengukur parameter
standar Oseanografi (suhu, salinitas, perubahan muka laut) dan Stasiun
Meteorologi (suhu, tekanan, arah, kecepatan angin, dan kelembaban)
sebaiknya dipasang di sepanjang Paparan Sunda Samudera Hindia untuk
menyidik sinyal Indian Ocean Dipole.
Untuk Samudera Pasifik, prasarana tersebut sudah tersedia melalui program
Tropical Atmosphere-Ocean (TAO)/TRITON berupa penambatan 70 buah stasiun
Oseanografi dan Meteorologi di sepanjang ekuator Samudera Pasifik. Program
ini merupakan kerja sama Pemerintah Amerika, Jepang, dan Perancis untuk
memonitor perkembangan ENSO.
Indonesia telah berperan aktif dalam program ini melalui kerjasama antara
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Marine Science
and Technology Center (JAMSTEC), Jepang.
Apabila prasarana standar sistem monitoring ini telah terpenuhi, ditambah lagi
dengan melimpahnya data satelit oseanografi laut (NOAA, TOPEX/POSEIDON)
dan meteorologi (NOAA, GMS, METEOSAT) yang dapat diakses dari berbagai
situs, maka prediksi perubahan iklim regional yang terjadi dapat dibuat sedini
dan setepat mungkin.
Sebagai penutup, kami ingin menunjukkan sensitivitas perairan bagian timur
Samudera Hindia, khususnya sekitar paparan Sunda dan Laut Jawa terhadap
perubahan iklim regional yang disebabkan oleh fenomena ENSO dan IOD.
Gambar 11.5 adalah lokasi transek Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) citra
satelit TOPEX/ERS-2 di Samudera Hindia Bagian Timur (A) dan Laut Jawa (B)
[panel atas] dan Hoevmoller diagram ATPL di kedua perairan (A) dan (B) [panel
bawah].
ATPL positif menunjukkan massa air hangat dan ATPL negatif untuk massa air
dingin. Massa air hangat selanjutnya berkolerasi dengan penguapan yang
intensif yang berakibat pada curah hujan tinggi, sebaliknya untuk massa air
dingin dengan terjadinya kekeringan, sebagai akibat konveksi panas yang
sedikit.
Analisis ATPL selama tahun 2000 s/d 2002 menunjukkan Samudera Hindia
sangat sensitive terhadap perubahan iklim regional dibandingkan Laut Jawa.
Hal ini dapat dianalisis bahwa perubahan parameter Oseanografi di Samudera
Hindia, khususnya paparan Sunda sangat memegang peranan penting dalam
perubahan iklim regional.
Dari analisis ATPL pada gambar 11.5 dengan jelas kita dapat melihat curah
hujan tinggi yang menyebabkan sebagian wilayah Indonesia, khususnya
Indonesia bagian barat dilanda banjir seperti yang terjadi di Jakarta pada
bulan Januari dan mencapai puncaknya pada Februari pada tahun 2000 dan
2001. Hal tersebut ditunjukkan dengan konsentrasi ATPL tinggi yang terjadi
dari bulan Januari s/d April selama tahun 2000 dan 2001.
Sebaliknya memasuki bulan Agustus s/d Oktober 2000, 2001, dan 2002
konsentrasi massa air dingin (ATPL negatif) mendominasi perairan paparan
Sunda dan hal ini berkorelasi dengan kekeringan yang datang berbarengan
dengan puncak musim kemarau.
Dengan demikian secara sederhana, kita dapat memantau perairan paparan
Sunda dan sekitarnya untuk prediksi musim kering dan musim basah di wilayah
Indonesia, khususnya Indonesia bagian Barat dan Tengah yang lebih didominasi
91Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
92Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
B
A
Gambar 11.5 Lokasi Transek Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) citra satelit TOPEX/ERS-2di Samudera Hindia Bagian Timur (A) dan Laut Jawa (B) [panel atas] dan Hoevmoller diagram
ATPL di kedua perairan (A) dan (B) [panel bawah]. Satuan skala gambar dalam cm.
A B
S. Sunda S. Ombai L. Jawa S. Makassar
oleh perubahan internal parameter dinamika oseanografi Samudera Hindia
bagian timur.Sedangkan untuk gambar 11.6 adalah rekomendasi untuk sebuah sistem
peringatan dini bencana alam yang disebabkan oleh interaksi laut dan atmosfer
di Samudera Hindia.
Tanda silang (merah) adalah lokasi stasiun meteorologi di garis katulistiwa, X1
(Kota Tabang, Sumatra Barat) dan X2 di Sulawesi Tengah (diusulkan untuk
dibangun); tanda bulat (biru) adalah lokasi 3 buah pelampung pengukur suhu
permukaan laut dan parameter meteorology laut; sedangkan huruf P (hijau)
adalah stasiun pasut yang sudah terpasang di wilayah Indonesia sepanjang
pantai paparan Sunda.
Posisi stasiun meteorologi di garis katulistiwa diusulkan dipasang di Sulawesi
Tengah untuk memperkuan analisis yang telah dimiliki sebelumnya oleh BPPT
di Kota Tabang, Sumatra Barat. Data meteorology di kedua stasiun ini akan
memberikan informasi penjalaran gelombang antar musiman seperti Madden-
Julian Oscillation yang berkorelasi positif dengan pembentukan badai tropis di
sekitar wilayah Samudera Hindia.
X1
X2
O2
O1
O3
P
P
P
P
P
P
Gambar 11.6 Sistem Monitoring Untuk Respon Bencana Alam Dari Laut dan Atmosfer di WilayahIndonesia. Tanda silang (merah) adalah lokasi stasiun meteorology di garis katulistiwa, X1
(kota tabang, Sumatra Barat) dan X2 di Sulawesi Tengah (diusulkan untuk dibangun); tandabulat (biru) adalah lokasi 3 buah pelampung pengukur suhu permukaan laut dan parametermeteorology laut; sedangkan huruf P (hijau) adalah stasiun pasut yang sudah terpasang di
wilayah Indonesia sepanjang pantai paparan Sunda.
93Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
94Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
B
A
Gambar 11.5 Lokasi Transek Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) citra satelit TOPEX/ERS-2di Samudera Hindia Bagian Timur (A) dan Laut Jawa (B) [panel atas] dan Hoevmoller diagram
ATPL di kedua perairan (A) dan (B) [panel bawah]. Satuan skala gambar dalam cm.
A B
S. Sunda S. Ombai L. Jawa S. Makassar
oleh perubahan internal parameter dinamika oseanografi Samudera Hindia
bagian timur.Sedangkan untuk gambar 11.6 adalah rekomendasi untuk sebuah sistem
peringatan dini bencana alam yang disebabkan oleh interaksi laut dan atmosfer
di Samudera Hindia.
Tanda silang (merah) adalah lokasi stasiun meteorologi di garis katulistiwa, X1
(Kota Tabang, Sumatra Barat) dan X2 di Sulawesi Tengah (diusulkan untuk
dibangun); tanda bulat (biru) adalah lokasi 3 buah pelampung pengukur suhu
permukaan laut dan parameter meteorology laut; sedangkan huruf P (hijau)
adalah stasiun pasut yang sudah terpasang di wilayah Indonesia sepanjang
pantai paparan Sunda.
Posisi stasiun meteorologi di garis katulistiwa diusulkan dipasang di Sulawesi
Tengah untuk memperkuan analisis yang telah dimiliki sebelumnya oleh BPPT
di Kota Tabang, Sumatra Barat. Data meteorology di kedua stasiun ini akan
memberikan informasi penjalaran gelombang antar musiman seperti Madden-
Julian Oscillation yang berkorelasi positif dengan pembentukan badai tropis di
sekitar wilayah Samudera Hindia.
X1
X2
O2
O1
O3
P
P
P
P
P
P
Gambar 11.6 Sistem Monitoring Untuk Respon Bencana Alam Dari Laut dan Atmosfer di WilayahIndonesia. Tanda silang (merah) adalah lokasi stasiun meteorology di garis katulistiwa, X1
(kota tabang, Sumatra Barat) dan X2 di Sulawesi Tengah (diusulkan untuk dibangun); tandabulat (biru) adalah lokasi 3 buah pelampung pengukur suhu permukaan laut dan parametermeteorology laut; sedangkan huruf P (hijau) adalah stasiun pasut yang sudah terpasang di
wilayah Indonesia sepanjang pantai paparan Sunda.
93Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
94Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Banyak lagi fenomena lapisan batas atmosfer di katulistiwa yang
mempengaruhi pola iklim secara regional. Perubahan parameter yang dapat
kita pantau sejak awal seperti meningkatnya arus konveksi di katulistiwa dapat
memberikan informasi sejak awal pembentukan awan-awan konveksi yang
menyebabkan wilayah Indonesia mengalami curah hujan tinggi atau akan
datangnya bencana banjir.
Kami merekomendasikan dipasangnya 3 (tiga) buah pelampung di perairan
paparan Sunda untuk mengukur parameter dasar Oseanografi (suhu permukaan
laut) dan Meteorologi (tekanan, arah dan magnitude angin, tekanan udara) di
permukaan laut. Informasi tersebut dapat digunakan untuk melacak perubahan
suhu, arah dan kekuatan angin serta tekanan udara di Samudera Hindia yang
berkorelasi dengan indikasi awal terjadinya fenomena IOD, sedangkan ENSO
dapat dilacak 1,5 -2 bulan sebelumnya dengan memanfaatkan data pasang
surut yang tersedia di sekitar perairan Selat Makassar dan Lombok, seperti
yang telah ditunjukkan dalam pembahasan pada sub. bab sebelumnya.
Selain itu, studi yang dilakukan Syamsudin dkk. (2003) menunjukkan bahwa
fenomena El Nino dan IOD berkorelasi dengan kedatangan gelombang Kelvin
dan Rossby di perairan paparan Sunda.
Formasi pelampung O1 dan O2 (lihat gambar 11.6) dapat mendeteksi sejak dini
kedatangan gelombang Kelvin yang menjalar ke timur sepanjang pantai selatan
P. Sumatra, Jawa, Bali dan Lombok, sedangkan O3 (lihat gambar 11.6) dapat
mendeteksi penjalaran gelombang Rossby ke arah barat sepanjang 10-12
Lintang Selatan (LS).
Penggunaan stasiun pasut demikian juga stasiun meteorologi yang telah
dimiliki Bakosurtanal (Badan Koordinasi Suvei dan Pemetaan Nasional) dan
Dishidros (Dinas Hidro-OSeanografi)-TNI AL serta Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG) semakin mendukung analisis deteksi awal indikasi terjadinya
perubahan parameter Oseanografi dan Meteorologi yang berkorelasi positif
dengan bencana alam yang akan terjadi.
Demikian juga pemanfaatan analisis citra satelit penginderaan jauh sangat
mendukung kinerja sistem monitoring peringatan dini bencana alam dari laut
dan atmosfer ini. Lebih detil bagaimana satelit penginderaan jauh dapat
digunakan untuk antisipasi banjir di wilayah Indonesia dapat dilihat pada
laporan teknis intern kami pada bulan Maret 2004, dengan judul: “Antisipasi
Banjir Dengan Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Dan
TOPEX/ERS-2 Di Wilayah Indonesia” yang disampaikan direktur Pusat
Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA)
kepada kepala bidang teknologi akuntasi sumberdaya alam, P-TISDA, BPPT.
Pemerintah sudah saatnya menerapkan sistem ini dengan memanfaatkan
teknologi telemetri yang memungkinkan semua data tersebut dapat dikirimkan
secara real time dan terus menerus pada analis yang berada di pusat informasi
dan pengolahan data sistem peringatan dini bencana nasional.
DAFTAR PUSTAKASyamsudin, F. dan A. Kaneko. 2003. On Kelvin and Rossby Waves Propagation in
the Indo-Australian Bight. Proceedings of Japan Oceanographic Society
Meeting on Fall Season. Nagasaki University, 23-27 September 2003.Saji, N.H., B.N. Goswani, P.N. Vinayachandran dan T. Yamagata. 1999. A Dipole
Mode in The Tropical Indian Ocean. Nature 401, 360-363.
95Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
96Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Banyak lagi fenomena lapisan batas atmosfer di katulistiwa yang
mempengaruhi pola iklim secara regional. Perubahan parameter yang dapat
kita pantau sejak awal seperti meningkatnya arus konveksi di katulistiwa dapat
memberikan informasi sejak awal pembentukan awan-awan konveksi yang
menyebabkan wilayah Indonesia mengalami curah hujan tinggi atau akan
datangnya bencana banjir.
Kami merekomendasikan dipasangnya 3 (tiga) buah pelampung di perairan
paparan Sunda untuk mengukur parameter dasar Oseanografi (suhu permukaan
laut) dan Meteorologi (tekanan, arah dan magnitude angin, tekanan udara) di
permukaan laut. Informasi tersebut dapat digunakan untuk melacak perubahan
suhu, arah dan kekuatan angin serta tekanan udara di Samudera Hindia yang
berkorelasi dengan indikasi awal terjadinya fenomena IOD, sedangkan ENSO
dapat dilacak 1,5 -2 bulan sebelumnya dengan memanfaatkan data pasang
surut yang tersedia di sekitar perairan Selat Makassar dan Lombok, seperti
yang telah ditunjukkan dalam pembahasan pada sub. bab sebelumnya.
Selain itu, studi yang dilakukan Syamsudin dkk. (2003) menunjukkan bahwa
fenomena El Nino dan IOD berkorelasi dengan kedatangan gelombang Kelvin
dan Rossby di perairan paparan Sunda.
Formasi pelampung O1 dan O2 (lihat gambar 11.6) dapat mendeteksi sejak dini
kedatangan gelombang Kelvin yang menjalar ke timur sepanjang pantai selatan
P. Sumatra, Jawa, Bali dan Lombok, sedangkan O3 (lihat gambar 11.6) dapat
mendeteksi penjalaran gelombang Rossby ke arah barat sepanjang 10-12
Lintang Selatan (LS).
Penggunaan stasiun pasut demikian juga stasiun meteorologi yang telah
dimiliki Bakosurtanal (Badan Koordinasi Suvei dan Pemetaan Nasional) dan
Dishidros (Dinas Hidro-OSeanografi)-TNI AL serta Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG) semakin mendukung analisis deteksi awal indikasi terjadinya
perubahan parameter Oseanografi dan Meteorologi yang berkorelasi positif
dengan bencana alam yang akan terjadi.
Demikian juga pemanfaatan analisis citra satelit penginderaan jauh sangat
mendukung kinerja sistem monitoring peringatan dini bencana alam dari laut
dan atmosfer ini. Lebih detil bagaimana satelit penginderaan jauh dapat
digunakan untuk antisipasi banjir di wilayah Indonesia dapat dilihat pada
laporan teknis intern kami pada bulan Maret 2004, dengan judul: “Antisipasi
Banjir Dengan Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Dan
TOPEX/ERS-2 Di Wilayah Indonesia” yang disampaikan direktur Pusat
Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA)
kepada kepala bidang teknologi akuntasi sumberdaya alam, P-TISDA, BPPT.
Pemerintah sudah saatnya menerapkan sistem ini dengan memanfaatkan
teknologi telemetri yang memungkinkan semua data tersebut dapat dikirimkan
secara real time dan terus menerus pada analis yang berada di pusat informasi
dan pengolahan data sistem peringatan dini bencana nasional.
DAFTAR PUSTAKASyamsudin, F. dan A. Kaneko. 2003. On Kelvin and Rossby Waves Propagation in
the Indo-Australian Bight. Proceedings of Japan Oceanographic Society
Meeting on Fall Season. Nagasaki University, 23-27 September 2003.Saji, N.H., B.N. Goswani, P.N. Vinayachandran dan T. Yamagata. 1999. A Dipole
Mode in The Tropical Indian Ocean. Nature 401, 360-363.
95Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
96Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
97Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
98Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB XIIRiset Kelautan Terpadu: 'PotRets' NipahN. Hendiarti, M.C.G. Frederik, A. Purwandani, Agustan, D. Nugroho, Y.
Wahyudi, G. F. Suryono, Afla Ridlo
Pulau Nipah terletak di antara Selat Phillip dan Selat Main pada koordinat
103 39'04.68” - 103 39'39.38 BT dan 1 08'26.88” - 1 09'12.20” LU. Pulau ini
merupakan salah satu pulau yang terletak di dekat perbatasan antar Indonesia
dan negara tetangga. Secara administratif termasuk di dalam Desa Pemping,
Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam, Propisi Kepulauan Riau.
Oleh karena posisi pulau Nipah yang berhadapan langsung dengan Singapura
dan terletak pada jalur lintas pelayaran internasional, maka pulau ini menjadi
penting dan strategis secara politis. P-TISDA bekerjasama dengan Balai
Teknologi Survey Laut telah melaksanakan ekspedisi PotRets (Potential
Resources Investigation surrounding) Pulau Nipah dan sekitarnya dengan
menggunakan K/R Baruna Jaya I. Kegiatan survey pulau tersebut dilakukan
pada tanggal 29 Juli - 7 Agustus 2004. Maksud kegiatan ini adalah mengkaji
º º º º
P. Nipah
Gambar 12.1 Lokasi Pulau Nipah
potensi sumber daya alam secara terintegrasi, baik hayati dan non-hayati, dan
mengungkapkan kemungkinan pemanfaatan pulau tersebut. Dengan
tersedianya data dasar dan informasi tentang pulau Nipah, diharapkan akan
dapat dijadikan bahan dalam memberi masukan pemanfaatan dan pengambilan
kebijaksanaan pengelolaan, serta pengembangan dan pemanfaatan kawasan
ini.
Kegiatan yang dilakukan adalah: studi penginderaan jauh, biologi-fisika-kimia
laut, geologi laut, terumbu karang, akustik perikanan, eksplorasi potensi
mikroba laut, topografi, pasang surut, serta geologi dan geomorfologi pulau.
Berikut adalah diskusi sekilas kegiatan dan hasil studi yang dilakukan P-TISDA
untuk pulau Nipah dan perairan sekitarnya. Penginderaan JauhPada program Pulau Nipah untuk pemantauan kondisi pulau serta perairan di
sekitarnya citra satelit penginderaan jauh dipakai sebagai masukan dalam
penentuan rute survey, kondisi awal dan juga untuk melengkapi analisis data
survey lapangan. Analisis penginderaan jauh meliputi karakterisasi parameter
biologi laut (fitoplankton/klorofil-a), fisika laut (suhu permukaan laut dan pola
transport masa air dekat permukaan), dan kekeruhan perairan sekitar pulau
Nipah. Dimulai dengan satelit yang mengindera dengan sensor global seperti
Aqua-MODIS dan NOAA-AVHRR, ke sensor detil dengan Terra-ASTER dan SPOT-
XS.
Gambar 12.2 Tim survei ekspedisi PotRets berpose bersama para pejabat BPPT yang meninjaukegiatan ini.
97Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
98Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
BAB XIIRiset Kelautan Terpadu: 'PotRets' NipahN. Hendiarti, M.C.G. Frederik, A. Purwandani, Agustan, D. Nugroho, Y.
Wahyudi, G. F. Suryono, Afla Ridlo
Pulau Nipah terletak di antara Selat Phillip dan Selat Main pada koordinat
103 39'04.68” - 103 39'39.38 BT dan 1 08'26.88” - 1 09'12.20” LU. Pulau ini
merupakan salah satu pulau yang terletak di dekat perbatasan antar Indonesia
dan negara tetangga. Secara administratif termasuk di dalam Desa Pemping,
Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam, Propisi Kepulauan Riau.
Oleh karena posisi pulau Nipah yang berhadapan langsung dengan Singapura
dan terletak pada jalur lintas pelayaran internasional, maka pulau ini menjadi
penting dan strategis secara politis. P-TISDA bekerjasama dengan Balai
Teknologi Survey Laut telah melaksanakan ekspedisi PotRets (Potential
Resources Investigation surrounding) Pulau Nipah dan sekitarnya dengan
menggunakan K/R Baruna Jaya I. Kegiatan survey pulau tersebut dilakukan
pada tanggal 29 Juli - 7 Agustus 2004. Maksud kegiatan ini adalah mengkaji
º º º º
P. Nipah
Gambar 12.1 Lokasi Pulau Nipah
potensi sumber daya alam secara terintegrasi, baik hayati dan non-hayati, dan
mengungkapkan kemungkinan pemanfaatan pulau tersebut. Dengan
tersedianya data dasar dan informasi tentang pulau Nipah, diharapkan akan
dapat dijadikan bahan dalam memberi masukan pemanfaatan dan pengambilan
kebijaksanaan pengelolaan, serta pengembangan dan pemanfaatan kawasan
ini.
Kegiatan yang dilakukan adalah: studi penginderaan jauh, biologi-fisika-kimia
laut, geologi laut, terumbu karang, akustik perikanan, eksplorasi potensi
mikroba laut, topografi, pasang surut, serta geologi dan geomorfologi pulau.
Berikut adalah diskusi sekilas kegiatan dan hasil studi yang dilakukan P-TISDA
untuk pulau Nipah dan perairan sekitarnya. Penginderaan JauhPada program Pulau Nipah untuk pemantauan kondisi pulau serta perairan di
sekitarnya citra satelit penginderaan jauh dipakai sebagai masukan dalam
penentuan rute survey, kondisi awal dan juga untuk melengkapi analisis data
survey lapangan. Analisis penginderaan jauh meliputi karakterisasi parameter
biologi laut (fitoplankton/klorofil-a), fisika laut (suhu permukaan laut dan pola
transport masa air dekat permukaan), dan kekeruhan perairan sekitar pulau
Nipah. Dimulai dengan satelit yang mengindera dengan sensor global seperti
Aqua-MODIS dan NOAA-AVHRR, ke sensor detil dengan Terra-ASTER dan SPOT-
XS.
Gambar 12.2 Tim survei ekspedisi PotRets berpose bersama para pejabat BPPT yang meninjaukegiatan ini.
Gambar 12.3 Batimetri daerah survei dan plot stasiun pengukuran.
Citra satelit Aqua-MODIS yang dipilih untuk studi ini diakuisisi pada tanggal 12
Juni 2004, jam 06 :15 GMT, digunakan untuk menentukan kandungan
konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL). Untuk perhitungan
konsentrasi klorofil-a, digunakan algoritma OC4 (Ocean Chlorophyll 4-band,
O'Reilly, dkk, 2000). Dari analisa citra selama lebih dari satu tahun, perairan
'zona aman' atau zona di luar alur transportasi kapal, memiliki konsentrasi
klorofil-a yang relatif lebih tinggi terutama pada bulan Mei November dengan
nilai di atas 3 mg/m3. Secara umum, perairan bagian barat memiliki
konsentrasi klorofil yang lebih tinggi dari bagian timur. Kondisi ini diduga
disebabkan oleh limpasan material daratan melalui sungai-sungai dari pantai
timur Pulau Sumatra.
Gambar 12.2 memperlihatkan citra konsentrasi klorofil-a pada tanggal 12 Juni
2004. Citra sebelah kanan adalah pembesaran kotak pada citra sebelah kiri.
Terlihat di gambar ini bahwa kisaran konsentrasi klorofil antara 2.4-2.8
mg/m3. Gambar 12.3 menunjukkan citra SPL, terlihat kisaran suhu sekitar
pulau Nipah adalah 3132°C. Perhitungan SPL menggunakan rumus persamaan
khusus untuk citra terakuisisi siang hari dengan memakai band 31 dan 32.Citra ASTER dapat digunakan untuk perhitungan suhu permukaan laut (SPL)
dengan menggunakan ke lima band termalnya (band 10 hingga 14) yang
beresolusi spasial 90 meter. Perhitungan ini mempergunakan rumus SPL khusus
untuk citra ASTER (Friedrich dan Kosloswsky, 2002). Citra ASTER yang
digunakan dalam kegiatan ini diakuisisi pada tanggal 23 April 2004, jam 3:34
GMT. Gambar 4 menunjukkan citra SPL, terlihat perairan sekitar pulau Nipah
suhunya berkisar antara 28 dan 29 derajat celsius. Suhu perairan sekitar P.
Batam relatif lebih tinggi diduga diakibatkan oleh adanya proses limpasan
Gambar 12.4. Citra Klorofil-a, 12 Juni 2004
Gambar 12.4 Citra Suhu Permukaan Laut (12 Juni 2004, kiri)dan Suhu Permukaan Laut (23 April 2004, kanan)
99Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
100Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Gambar 12.3 Batimetri daerah survei dan plot stasiun pengukuran.
Citra satelit Aqua-MODIS yang dipilih untuk studi ini diakuisisi pada tanggal 12
Juni 2004, jam 06 :15 GMT, digunakan untuk menentukan kandungan
konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL). Untuk perhitungan
konsentrasi klorofil-a, digunakan algoritma OC4 (Ocean Chlorophyll 4-band,
O'Reilly, dkk, 2000). Dari analisa citra selama lebih dari satu tahun, perairan
'zona aman' atau zona di luar alur transportasi kapal, memiliki konsentrasi
klorofil-a yang relatif lebih tinggi terutama pada bulan Mei November dengan
nilai di atas 3 mg/m3. Secara umum, perairan bagian barat memiliki
konsentrasi klorofil yang lebih tinggi dari bagian timur. Kondisi ini diduga
disebabkan oleh limpasan material daratan melalui sungai-sungai dari pantai
timur Pulau Sumatra.
Gambar 12.2 memperlihatkan citra konsentrasi klorofil-a pada tanggal 12 Juni
2004. Citra sebelah kanan adalah pembesaran kotak pada citra sebelah kiri.
Terlihat di gambar ini bahwa kisaran konsentrasi klorofil antara 2.4-2.8
mg/m3. Gambar 12.3 menunjukkan citra SPL, terlihat kisaran suhu sekitar
pulau Nipah adalah 3132°C. Perhitungan SPL menggunakan rumus persamaan
khusus untuk citra terakuisisi siang hari dengan memakai band 31 dan 32.Citra ASTER dapat digunakan untuk perhitungan suhu permukaan laut (SPL)
dengan menggunakan ke lima band termalnya (band 10 hingga 14) yang
beresolusi spasial 90 meter. Perhitungan ini mempergunakan rumus SPL khusus
untuk citra ASTER (Friedrich dan Kosloswsky, 2002). Citra ASTER yang
digunakan dalam kegiatan ini diakuisisi pada tanggal 23 April 2004, jam 3:34
GMT. Gambar 4 menunjukkan citra SPL, terlihat perairan sekitar pulau Nipah
suhunya berkisar antara 28 dan 29 derajat celsius. Suhu perairan sekitar P.
Batam relatif lebih tinggi diduga diakibatkan oleh adanya proses limpasan
Gambar 12.4. Citra Klorofil-a, 12 Juni 2004
Gambar 12.4 Citra Suhu Permukaan Laut (12 Juni 2004, kiri)dan Suhu Permukaan Laut (23 April 2004, kanan)
99Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
100Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
material daratan.Citra komposit warna semu RGB dari data SPOT 5 (Gambar 12.4, atas) yang
diakuisisi pada tanggal 25 Agustus 2000 menampilkan fenomena oseanografi,
yaitu adanya pola sirkulasi arus permukaan sekitar pulau Nipah (Gambar 12.4,
bawah). Juga, aktifitas transportasi laut dengan banyaknya kapal besar dan
kecil yang melintasi perairan tersebut. Hal ini menjadi penting, karena
fenomena oseanografi ini termasuk aktifitas transportasi yang diduga turut
mempengaruhi kondisi lingkungan perairan.
Secara umum, kondisi kualitas perairan di sekitar Pulau Nipah dapat dikatakan
kurang baik, hal ini diduga berasal dari limpasan atau buangan material
daratan, eksploitasi pasir laut dan aktifitas pelayaran. Melihat kondisi perairan
sekitar Pulau Nipah yang bervariasi antara lain disebabkan oleh adanya
perubahan musim, maka perlu dilakukan pemantauan kondisi lingkungan
perairan. Salah satu metoda yang efisien adalah menggunakan teknologi
penginderaan jauh.
Biologi-Kimia-Fisika Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah karakterisasi kondisi biologi,
kimia dan fisika perairan dengan melakukan pengukuran lapangan yang juga
digunakan untuk validasi data penginderaan jauh.
Hasil studi menunjukkan bahwa kualitas perairan di sekitar pulau Nipah tidak
cukup baik untuk mendukung pengembangan ekosistem pesisir dan lautnya.
Kondisi ini terjadi karena limpasan pesisir, eksploitasi penambangan pasir, dan
aktivitas transportasi laut.
Konsentrasi tertinggi materi dalam air dan nilai salinitas terendah ditemukan
di pesisir Pulau Karimun. Kondisi ini ditermukan juga dari citra klorofil-a dan
TSM (Total Suspended Matter) yang dihasilkan dari data satelit Aqua-MODIS dan
citra suhu permukaan laut dari data satelit Terra-ASTER dan NOAA-AVHRR.
Kondisi ini diduga karena pengaruh limpasan sungai dari pulau-pulau yang
mengandung banyak materi organik dan nutrien.
Limpasan sungai membawa nutrien ke laut yang mengakibatkan tingginya
konsentarsi klorofil-a dan banyaknya fitoplankton. Spesies fitoplankton yang
ditemukan didominasi oleh gourp Diatom Bacillariophyceae, yang ditermukan
lebih banyak jumlahnya dari zooplankton. Menurunnya jumlah zooplankton
diperkirakan karena tingginya konsentrasi materi tersuspensi, keadaan ini juga
berakibatkan berkurangnya densitas ikan.
Kecepatan arus yang direkam selama survey menunjukkan kearah barat pada
kedalaman 2-5 meter dengan kecepatan 0.14-0.20 m/s dan ke arah barat pada
kedalaman 12-15 meter dengan kecepatan 0.35-0.40 m/s, dan ke arah selatan
pada bagian barat pulau. Hasil simulasi model material transport menunjukkan
materi akan memperngaruhi lingkungan Pulau Nipah terutama pada bagian
timur dimana terdapat arus lebih keras/cepat.
Gambar 12.6 menampilkan grafik hasil pengukuran lapangan untuk kelimpahan
fitoplankton (< 250,000 ind/m3), tidak ditampilkan, dan zooplankton (<10,000
ind/m3). Penurunan jumlah zooplankton diduga akibat kondisi perairan yang
keruh.
Selama perioda berlayar antara 29 Juil dan 7 gustus 2004, nilai kisaran nutrien
Transport massa air
P. Nipah
Kapal
Citra SPOT, 25 Agustus 2000
Gambar 12.5 Citra SPOT Komposit RGB (321) untuk Perairan PulauNipah dan sekitarnya. Memperlihatkan pola arus permukaan dan deteksi kapal.
101Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
102Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
material daratan.Citra komposit warna semu RGB dari data SPOT 5 (Gambar 12.4, atas) yang
diakuisisi pada tanggal 25 Agustus 2000 menampilkan fenomena oseanografi,
yaitu adanya pola sirkulasi arus permukaan sekitar pulau Nipah (Gambar 12.4,
bawah). Juga, aktifitas transportasi laut dengan banyaknya kapal besar dan
kecil yang melintasi perairan tersebut. Hal ini menjadi penting, karena
fenomena oseanografi ini termasuk aktifitas transportasi yang diduga turut
mempengaruhi kondisi lingkungan perairan.
Secara umum, kondisi kualitas perairan di sekitar Pulau Nipah dapat dikatakan
kurang baik, hal ini diduga berasal dari limpasan atau buangan material
daratan, eksploitasi pasir laut dan aktifitas pelayaran. Melihat kondisi perairan
sekitar Pulau Nipah yang bervariasi antara lain disebabkan oleh adanya
perubahan musim, maka perlu dilakukan pemantauan kondisi lingkungan
perairan. Salah satu metoda yang efisien adalah menggunakan teknologi
penginderaan jauh.
Biologi-Kimia-Fisika Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah karakterisasi kondisi biologi,
kimia dan fisika perairan dengan melakukan pengukuran lapangan yang juga
digunakan untuk validasi data penginderaan jauh.
Hasil studi menunjukkan bahwa kualitas perairan di sekitar pulau Nipah tidak
cukup baik untuk mendukung pengembangan ekosistem pesisir dan lautnya.
Kondisi ini terjadi karena limpasan pesisir, eksploitasi penambangan pasir, dan
aktivitas transportasi laut.
Konsentrasi tertinggi materi dalam air dan nilai salinitas terendah ditemukan
di pesisir Pulau Karimun. Kondisi ini ditermukan juga dari citra klorofil-a dan
TSM (Total Suspended Matter) yang dihasilkan dari data satelit Aqua-MODIS dan
citra suhu permukaan laut dari data satelit Terra-ASTER dan NOAA-AVHRR.
Kondisi ini diduga karena pengaruh limpasan sungai dari pulau-pulau yang
mengandung banyak materi organik dan nutrien.
Limpasan sungai membawa nutrien ke laut yang mengakibatkan tingginya
konsentarsi klorofil-a dan banyaknya fitoplankton. Spesies fitoplankton yang
ditemukan didominasi oleh gourp Diatom Bacillariophyceae, yang ditermukan
lebih banyak jumlahnya dari zooplankton. Menurunnya jumlah zooplankton
diperkirakan karena tingginya konsentrasi materi tersuspensi, keadaan ini juga
berakibatkan berkurangnya densitas ikan.
Kecepatan arus yang direkam selama survey menunjukkan kearah barat pada
kedalaman 2-5 meter dengan kecepatan 0.14-0.20 m/s dan ke arah barat pada
kedalaman 12-15 meter dengan kecepatan 0.35-0.40 m/s, dan ke arah selatan
pada bagian barat pulau. Hasil simulasi model material transport menunjukkan
materi akan memperngaruhi lingkungan Pulau Nipah terutama pada bagian
timur dimana terdapat arus lebih keras/cepat.
Gambar 12.6 menampilkan grafik hasil pengukuran lapangan untuk kelimpahan
fitoplankton (< 250,000 ind/m3), tidak ditampilkan, dan zooplankton (<10,000
ind/m3). Penurunan jumlah zooplankton diduga akibat kondisi perairan yang
keruh.
Selama perioda berlayar antara 29 Juil dan 7 gustus 2004, nilai kisaran nutrien
Transport massa air
P. Nipah
Kapal
Citra SPOT, 25 Agustus 2000
Gambar 12.5 Citra SPOT Komposit RGB (321) untuk Perairan PulauNipah dan sekitarnya. Memperlihatkan pola arus permukaan dan deteksi kapal.
101Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
102Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
(nitrat dan silikat), klorofil-a dan konsentrasi Total Suspended Matter serta
suhu dan salinitas air permukaan ditampilkan di tabel 12.1. Konsentrasi nitrat
dan silikat yang tinggi ditemukan di sebelah barat daerah studi. Ini
dikarenakan pengaruh limpasan air sungai dari pulau-pulau yang mengandung
banyak materi terrigeneous (seperti materi organik dan anorganik). Konsentrasi silikat yang tinggi dekat lapisan dasar ditemukan di dekat pesisir
Pulau Karimun. Silikat adalah nutrien penting yang diperlukan fitoplankton
terutama grup diatom untuk tumbuh. Konsentrasi klorofil di daerah ini cukup
Gambar 12.6 Kelimpahan zooplankton di perairan sekitar pulau Nipah.
Kisaran Nilai Parameter Dekat
permukaan
Dekat dasar Unit
Nitrat (NO3) 0.060
- 0.879
0.005-0.121
M
Silikat 0.224 - 0.958
0.170-1.301
M
Orthophosphat
0.001 - 0.248
0.001-0.126
M
Chlorophyll a 1.20 - 8.24
1.20 - 7.89
mg/m3
Phytoplankton
1,272 - 111,936 (abundance)
cell/m3
Phyto- species
Diatom: Bacillariophyceae (29 sp.),
Non-diatom: Dinophyceae,Cyanophyceae (4 sp.)
TSM 4.47 - 107.0 8.47 - 215.4 mg/l
Turbidity 2.6 - 70 2.95 - 174 NTU Secchi depth 25 - 250 cm Disolved Oxygen 5.06 - 8.57 4.36 – 8.31 ml/L PH 7.83 - 8.12
7.99 – 8.13
Zooplankton 479 – 2,925 (abundance)
cell/m3
Zoo- species Protozoa (3 sp.) and Copepode (5 sp.)
Water Color V/green XVI/light brown
Tabel 12.1 Karakteristik air dari pengukuran lapangan.
tinggi dengan nilai lebih dari 1 mg/m3. Konsentrasi tertinggi ditemukandi
dekat pesisir Pulau Karimun dengan nilai lebih dari 5.5 mg/m3. Sedangkan
kisaran nilai yang didapat dari citra klorofil rata-rata bulanan adalah 1.5-5.5
mg/m3.
Identifikasi Kerusakan Terumbu Karang Tujuan penelitian terumbu karang adalah: mengidentifikasi kondisi ekosistem
terumbu karang dan mengidentifikasi potensi ekosistem pesisir pulau Nipah,
seperti: flora dan fauna terumbu karang, padang lamun, dan mangrove,
sponge, kelimpahan dan tutupan.
Hasil studi menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang secara umum telah
mengalami kerusakan berat, terutama pada sisi timur, barat laut dan utara
pulau Nipah. Kerusakan diduga diakibatkan oleh 2 aktivitas manusia secara
langsung (penangkapan ikan dan labuh jangkar) dan tidak langsung seperti
penggalian pasir, tumpahan minyak dari kapal-kapal besar yang melalui
perairan ini, serta akibat alam seperti arus dan hempasan gelombang.
Ekosistem terumbu karang yang ditemukan pada sisi barat daya pulau Nipah
tidak berbentuk hamparan, tetapi membentuk ekosistem baru pada dinding
bukit luar bekas terumbu karang mati. Terumbu karang mulai ditemukan pada
kedalaman 3 meter sampai kedalaman 7 meter.
Flora dan fauna yang terdapat pada ekosistem terumbu karang yang berhasil
diindentifikasi di perairan pulau Nipah antara lain adalah:1. Fungia sp, Coral Encrusting2. Fauna lainnya: Soft coral (Nephea sp, Sacrophyton sp), Sponge, Ascidian,
Zoanthids, Anemon laut, dan gorgonians3. Teripang gajah, Ikan karang seperti angel fish dan ikan karang lainnya.4. Macroalga (sargassum sp, gracillaria sp)
Pada sisi barat laut pulau Nipah diketemukan juga bentukan baru ekosistem
padang lamun dan gosong pasir yang memiliki biota unik seperti kerang kapak,
seagrass, dan teripang laut. Studi geologi laut
Studi ini memberikan informasi geologi di perairan pulau Nipah melalui
pengambilan sampel lapisan sedimen dasar permukaan laut sekitar pulau dan
kajian penyebaran sedimen permukaan serta keberadaan mineral ekonomis.
Pengambilan sample di dasar permukaan laut sekitar pulau Nipah dilakukan
dengan metode grab dan core sampling.
Hasil studi menyimpulkan bahwa endapan lempung yang penyebarannya
103Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
104Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
(nitrat dan silikat), klorofil-a dan konsentrasi Total Suspended Matter serta
suhu dan salinitas air permukaan ditampilkan di tabel 12.1. Konsentrasi nitrat
dan silikat yang tinggi ditemukan di sebelah barat daerah studi. Ini
dikarenakan pengaruh limpasan air sungai dari pulau-pulau yang mengandung
banyak materi terrigeneous (seperti materi organik dan anorganik). Konsentrasi silikat yang tinggi dekat lapisan dasar ditemukan di dekat pesisir
Pulau Karimun. Silikat adalah nutrien penting yang diperlukan fitoplankton
terutama grup diatom untuk tumbuh. Konsentrasi klorofil di daerah ini cukup
Gambar 12.6 Kelimpahan zooplankton di perairan sekitar pulau Nipah.
Kisaran Nilai Parameter Dekat
permukaan
Dekat dasar Unit
Nitrat (NO3) 0.060
- 0.879
0.005-0.121
M
Silikat 0.224 - 0.958
0.170-1.301
M
Orthophosphat
0.001 - 0.248
0.001-0.126
M
Chlorophyll a 1.20 - 8.24
1.20 - 7.89
mg/m3
Phytoplankton
1,272 - 111,936 (abundance)
cell/m3
Phyto- species
Diatom: Bacillariophyceae (29 sp.),
Non-diatom: Dinophyceae,Cyanophyceae (4 sp.)
TSM 4.47 - 107.0 8.47 - 215.4 mg/l
Turbidity 2.6 - 70 2.95 - 174 NTU Secchi depth 25 - 250 cm Disolved Oxygen 5.06 - 8.57 4.36 – 8.31 ml/L PH 7.83 - 8.12
7.99 – 8.13
Zooplankton 479 – 2,925 (abundance)
cell/m3
Zoo- species Protozoa (3 sp.) and Copepode (5 sp.)
Water Color V/green XVI/light brown
Tabel 12.1 Karakteristik air dari pengukuran lapangan.
tinggi dengan nilai lebih dari 1 mg/m3. Konsentrasi tertinggi ditemukandi
dekat pesisir Pulau Karimun dengan nilai lebih dari 5.5 mg/m3. Sedangkan
kisaran nilai yang didapat dari citra klorofil rata-rata bulanan adalah 1.5-5.5
mg/m3.
Identifikasi Kerusakan Terumbu Karang Tujuan penelitian terumbu karang adalah: mengidentifikasi kondisi ekosistem
terumbu karang dan mengidentifikasi potensi ekosistem pesisir pulau Nipah,
seperti: flora dan fauna terumbu karang, padang lamun, dan mangrove,
sponge, kelimpahan dan tutupan.
Hasil studi menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang secara umum telah
mengalami kerusakan berat, terutama pada sisi timur, barat laut dan utara
pulau Nipah. Kerusakan diduga diakibatkan oleh 2 aktivitas manusia secara
langsung (penangkapan ikan dan labuh jangkar) dan tidak langsung seperti
penggalian pasir, tumpahan minyak dari kapal-kapal besar yang melalui
perairan ini, serta akibat alam seperti arus dan hempasan gelombang.
Ekosistem terumbu karang yang ditemukan pada sisi barat daya pulau Nipah
tidak berbentuk hamparan, tetapi membentuk ekosistem baru pada dinding
bukit luar bekas terumbu karang mati. Terumbu karang mulai ditemukan pada
kedalaman 3 meter sampai kedalaman 7 meter.
Flora dan fauna yang terdapat pada ekosistem terumbu karang yang berhasil
diindentifikasi di perairan pulau Nipah antara lain adalah:1. Fungia sp, Coral Encrusting2. Fauna lainnya: Soft coral (Nephea sp, Sacrophyton sp), Sponge, Ascidian,
Zoanthids, Anemon laut, dan gorgonians3. Teripang gajah, Ikan karang seperti angel fish dan ikan karang lainnya.4. Macroalga (sargassum sp, gracillaria sp)
Pada sisi barat laut pulau Nipah diketemukan juga bentukan baru ekosistem
padang lamun dan gosong pasir yang memiliki biota unik seperti kerang kapak,
seagrass, dan teripang laut. Studi geologi laut
Studi ini memberikan informasi geologi di perairan pulau Nipah melalui
pengambilan sampel lapisan sedimen dasar permukaan laut sekitar pulau dan
kajian penyebaran sedimen permukaan serta keberadaan mineral ekonomis.
Pengambilan sample di dasar permukaan laut sekitar pulau Nipah dilakukan
dengan metode grab dan core sampling.
Hasil studi menyimpulkan bahwa endapan lempung yang penyebarannya
103Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
104Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
berada di timur pulau Karimun merupakan endapan yang mengandung mineral
kaolin dan kuarsa yang dapat digunakan dalam industri keramik. Namun hasil
analisis laboratorium tidak tercantum secara kuantitas untuk masing-masing
mineral tersebut, sehingga tidak dapat diketahui apakah endapan itu dapat
bersifat ekonomis atau tidak.Penyebaran endapan pasir dari hasil grab di daerah kaijan mengandung kurang
lebih sebesar 50-65% dan sisanya merupakan fraksi halus seperti lanau dan
lempung. Dari hasil coring, ketebalan pasir sekitar 10-15 cm, kemudian
dibawahnya merupakan endapan lempung yang tidak padu.
Dari fraksi pasirnya saja, sekitar 19% merupakan mineral kuarsa sebagai ineral
industri, dan sebagian besar merupakan fragmen batuan yang berkomposisi
silika.
Berdasarkan analisa data coring dan grab, maka eksploitasi pasir laut perlu
dihentikan, khususnya di daerah sekitar pulau Nipah karena dapat berakibat:
Lapisn pasir semakin tipis atau bahkan habis dalam sekali atau dua kalo
penyedotan; penyedotan akan mengakibatkan tersedotnya material halus
berupa lempung yang berlebihan, karena lempung dibawah pasir belum
terkonsolidasi sehingga air laut di sekitarnya akan semakin keruh dengan
dibuangnya kembali material lempung tke laut; kekeruhan tersebut akan
mengganggu aspek sumberdaya lainnya, seperti lingkungan, perikanan laut,
dan pariwisata.
Dari sebaran konsentrasi mineral kuarsa dan fragmen batuan, diduga bahwa
sumber dari material sedimen tersebut dengan komposisi mimia seperti
tersebut diatas, berasal dari sebelah utara barat (UB) pulau Nipah.
Eksplorasi potensi mikroba laut Studi ini menginventarisasi dan mengidentifikasi sumberdaya alam pesisir dan
laut di pulau Nipah. Satu diantaranya mengeksplorasi potensi mikroba laut
yang ada diperairan sebagai antibiotik
Hasil studi ini menunjukkan bahwa sumberdaya alam laut yang terdapat di
Pulau Nipah sebagian besar berupa alga coklat sargassum yang tumbuh pada
substrat karang mati. Sargassum ini bisa dijumpai di daerah pasang surut
(intertidal) dari kedalaman 0.5 m hingga 3 m dengan ketinggian hingga 2 m.
Sehingga mikroba yang diambil (diisolasi) adalah mikroba yang ada di
sargassum (endofit), air laut dan sedimen. Hasil yang telah diperoleh di 21 titik
pengambilan sampel air permukaan terdapat 34 isolat kapang laut, yang
sebagian besar diindikasikan sebagai black mold (15) dan kelas Ascomycetes,
yaitu 11 Penicillium dan 8 Aspergillus. Sedangkan, sampel sedimen sedang
dalam tahapan penumbuhan. Sementara, mikroba yang ada di sargassum
(endofit) terdapat 4 isolat kapang laut yang keseluruhannya masuk dalam kelas
Ascomycetes, yakni Aspergillus.
Pemodelan pasang surut dan topografi Pada kegiatan ini dilakukan penentuan koordinat pulau Nipah, penentuan
konstanta pasut dengan menggunakan fasilitas yang tersedia di Onsala Space
Observatory, dan menghitung nilai pasut berdasarkan waktu dengan
menggunakan fasilitas di Intenational Earth Rotation and Reference Systems
Service (IERS), the Global Geophysics Fluids Center (GGFC).
Dari hasil perhitungan menggunakan beberapa model pasut, maka disimpulkan
bahwa sifat pasut di sekitar pulau Nipah adalah tipe pasut campuran berganda
(mixed predominantly semi-diurnal). Hasil pemodelan juga memperlihatkan
bahwa tunggang pasut terkecil adalah 2 meter yang diperoleh dari model
FES99 (Finite Element Solution 1999), sedang yang terbesar adalah 3.5 meter
Gambar 12.7 Tampilan saat pasang dan surut pulau Nipah dan lokasi reklamasi.
105Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
106Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
berada di timur pulau Karimun merupakan endapan yang mengandung mineral
kaolin dan kuarsa yang dapat digunakan dalam industri keramik. Namun hasil
analisis laboratorium tidak tercantum secara kuantitas untuk masing-masing
mineral tersebut, sehingga tidak dapat diketahui apakah endapan itu dapat
bersifat ekonomis atau tidak.Penyebaran endapan pasir dari hasil grab di daerah kaijan mengandung kurang
lebih sebesar 50-65% dan sisanya merupakan fraksi halus seperti lanau dan
lempung. Dari hasil coring, ketebalan pasir sekitar 10-15 cm, kemudian
dibawahnya merupakan endapan lempung yang tidak padu.
Dari fraksi pasirnya saja, sekitar 19% merupakan mineral kuarsa sebagai ineral
industri, dan sebagian besar merupakan fragmen batuan yang berkomposisi
silika.
Berdasarkan analisa data coring dan grab, maka eksploitasi pasir laut perlu
dihentikan, khususnya di daerah sekitar pulau Nipah karena dapat berakibat:
Lapisn pasir semakin tipis atau bahkan habis dalam sekali atau dua kalo
penyedotan; penyedotan akan mengakibatkan tersedotnya material halus
berupa lempung yang berlebihan, karena lempung dibawah pasir belum
terkonsolidasi sehingga air laut di sekitarnya akan semakin keruh dengan
dibuangnya kembali material lempung tke laut; kekeruhan tersebut akan
mengganggu aspek sumberdaya lainnya, seperti lingkungan, perikanan laut,
dan pariwisata.
Dari sebaran konsentrasi mineral kuarsa dan fragmen batuan, diduga bahwa
sumber dari material sedimen tersebut dengan komposisi mimia seperti
tersebut diatas, berasal dari sebelah utara barat (UB) pulau Nipah.
Eksplorasi potensi mikroba laut Studi ini menginventarisasi dan mengidentifikasi sumberdaya alam pesisir dan
laut di pulau Nipah. Satu diantaranya mengeksplorasi potensi mikroba laut
yang ada diperairan sebagai antibiotik
Hasil studi ini menunjukkan bahwa sumberdaya alam laut yang terdapat di
Pulau Nipah sebagian besar berupa alga coklat sargassum yang tumbuh pada
substrat karang mati. Sargassum ini bisa dijumpai di daerah pasang surut
(intertidal) dari kedalaman 0.5 m hingga 3 m dengan ketinggian hingga 2 m.
Sehingga mikroba yang diambil (diisolasi) adalah mikroba yang ada di
sargassum (endofit), air laut dan sedimen. Hasil yang telah diperoleh di 21 titik
pengambilan sampel air permukaan terdapat 34 isolat kapang laut, yang
sebagian besar diindikasikan sebagai black mold (15) dan kelas Ascomycetes,
yaitu 11 Penicillium dan 8 Aspergillus. Sedangkan, sampel sedimen sedang
dalam tahapan penumbuhan. Sementara, mikroba yang ada di sargassum
(endofit) terdapat 4 isolat kapang laut yang keseluruhannya masuk dalam kelas
Ascomycetes, yakni Aspergillus.
Pemodelan pasang surut dan topografi Pada kegiatan ini dilakukan penentuan koordinat pulau Nipah, penentuan
konstanta pasut dengan menggunakan fasilitas yang tersedia di Onsala Space
Observatory, dan menghitung nilai pasut berdasarkan waktu dengan
menggunakan fasilitas di Intenational Earth Rotation and Reference Systems
Service (IERS), the Global Geophysics Fluids Center (GGFC).
Dari hasil perhitungan menggunakan beberapa model pasut, maka disimpulkan
bahwa sifat pasut di sekitar pulau Nipah adalah tipe pasut campuran berganda
(mixed predominantly semi-diurnal). Hasil pemodelan juga memperlihatkan
bahwa tunggang pasut terkecil adalah 2 meter yang diperoleh dari model
FES99 (Finite Element Solution 1999), sedang yang terbesar adalah 3.5 meter
Gambar 12.7 Tampilan saat pasang dan surut pulau Nipah dan lokasi reklamasi.
105Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
106Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
yang diperoleh dari model TPXO (Topex/Poseidon grid 0.5 derajat).
Studi topografi ini memberikan informasi yang benar mengenai luas dan kondisi
pulau Nipah melalui pengukuran titik kontrol dengan menggunakan metode
pengamatan GPS. Metode pengukuran adalah Static observation dengan
minimal pengamatan 2 jam dengan interval pengamatan setiap 10 detik. Survai
topografi menggunakan metode radial untuk pemetaan situasi.Hasil studi menyimpulkan bahwa luas pulau Nipah pada saat pasang tertinggi
adalah sama dengan lahan reklamasi yang telah dilakukan oleh Depkimpraswil
(per tanggal 4 Agustus 2004), yaitu seluas 1.82 HA. Luas pulau Nipah pada saat
surut terendah per tanggal 4 Agustus 2004 adalah 73.57 Ha.
Studi geologi dan geomorfologi Studi ini meneliti kondisi geologi dan geomorfologi seperti jenis litologi,
struktur geologi, stratigrafi, proses geomorfologi yang terjadi, dan umur
batuan penyusun pulau Nipah. Selain itu juga untu mengetahui kandungan
mineral berat dan ringan, khususnya yang bernilai ekonomis.
Hasil studi menyimpulkan bahwa pulau Nipah tersusun atas batuan dasar
metasedimen, berupa batupasir, batulanau, dan konglomerat yang secara fisik
sangat keras dan padat. Pada batuan metasedimen dijumpai adanya indikasi
struktur sesar (patahan) mendatar. Pulau Nipah terletak pada bagian dari
paparan Sunda yang secara teroritis sejak zaman tersier akhir sudah stabil dari
kegiatn tektonisme. Proses geomorfologi muda yang terjadi di Pulau Nipah
meliputi: denundasi (pendatasan) dan proses pesisir lainnya: abrasi yang
diakibatkan oleh adanya fenomena oseanografi dari perairan sekitarnya,
seperti pola arus, gelombang, dan pasang surut. Dengan adanya proses
geomorfologi muda ini, maka sangat dimungkinkan pualu ini akan terendam
pada pasang tertinggi apabila telah terkikis dan mengalami pendataran. Tetapi
dilihat dari kondisi fisik batuan penyusun pulau Nipah dan tingkat kegempaan
yang relatif kecil, maka pulau ini tidak akan pengalami penenggelaman
(subsidence).
Pendugaan Biomassa Ikan di Perairan Sekitar P. Nipah dengan Metoda
Akustik Bim Terbagi (Split Beam Acoustic System)Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan estimasi stok di wilayah perairan
sekitar P. Nipah dengan menggunakan metoda akustik, khususnya metoda
akustik bim terbagi.
Seperti terlihat pada gambar-gambar diatas bahwa target strength (TS) ikan-
ikan pelagis selama akusisi pengamatan baik daerah alur pelayan maupun
bebas di perairan sekitar P. Nipah pada bulan Agustus 2004 sangat sedikit dan
tidak dapat di gunakan untuk perhitungan kepadatan stok di daerah ini.
Nilai dugaan biomassa sebesar 272 ton atau 1,310 ton/km² untuk perairan
sekitar P. Nipah secara total didominasi oleh ikan-ikan demersal yang
tertangkap bulan Agustus 2004.
Biomassa ikan demersal di perairan sekitar P. Nipah baik di alur pelayaran
ataupun tidak, didominasi ikan-ikan dengan ukuran dugaan panjang 3,94 cm.
(25,91 %).
Saran! Untuk menjaga eksistensi pulau Nipah, agar tidak terendam air pada saat
pasang tertinggi, maka daratan pulau Nipah perlu direklamasi untuk
menaikkan ketinggiannya menjadi lebih tinggi dari selisih antara surut
terendah dan pasang tertinggi.! Untuk melindungi kawasan pantai pulau Nipah dari proses abrasi dan
pengikisan yang berlangsung intensif, perlu dibuat bangunan pengaman
pantai atau sejenisnya, baik secara fisik maupun vegetatif, pada lokasi
pantai yang rawan abrasi.! Perlu diusulkan dalam master plan penanganan pulau Nipah berupa
pembentukan suatu kawasan khusus untuk zonasi ekosistem pesisir pulau
Nipah (ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem
mangrove)! Penting untuk memfokuskan kegiatan daerah rehabilitasi mangrove di
Pulau Nipah selain kegiatan konservasi terumbu karang di sebelah barat
pulau.! Untuk kegiatan transportasi lintas laut dan penambangan pasir, perlu
dibangun suatu stasiun observasi untuk pasang-surut dan pengukuran
Gambar 12.8 Echogram file Data Treshold (DT) pada akusisi target ikan pelagisdi daerah bebas alur pelayaran.
107Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
108Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
yang diperoleh dari model TPXO (Topex/Poseidon grid 0.5 derajat).
Studi topografi ini memberikan informasi yang benar mengenai luas dan kondisi
pulau Nipah melalui pengukuran titik kontrol dengan menggunakan metode
pengamatan GPS. Metode pengukuran adalah Static observation dengan
minimal pengamatan 2 jam dengan interval pengamatan setiap 10 detik. Survai
topografi menggunakan metode radial untuk pemetaan situasi.Hasil studi menyimpulkan bahwa luas pulau Nipah pada saat pasang tertinggi
adalah sama dengan lahan reklamasi yang telah dilakukan oleh Depkimpraswil
(per tanggal 4 Agustus 2004), yaitu seluas 1.82 HA. Luas pulau Nipah pada saat
surut terendah per tanggal 4 Agustus 2004 adalah 73.57 Ha.
Studi geologi dan geomorfologi Studi ini meneliti kondisi geologi dan geomorfologi seperti jenis litologi,
struktur geologi, stratigrafi, proses geomorfologi yang terjadi, dan umur
batuan penyusun pulau Nipah. Selain itu juga untu mengetahui kandungan
mineral berat dan ringan, khususnya yang bernilai ekonomis.
Hasil studi menyimpulkan bahwa pulau Nipah tersusun atas batuan dasar
metasedimen, berupa batupasir, batulanau, dan konglomerat yang secara fisik
sangat keras dan padat. Pada batuan metasedimen dijumpai adanya indikasi
struktur sesar (patahan) mendatar. Pulau Nipah terletak pada bagian dari
paparan Sunda yang secara teroritis sejak zaman tersier akhir sudah stabil dari
kegiatn tektonisme. Proses geomorfologi muda yang terjadi di Pulau Nipah
meliputi: denundasi (pendatasan) dan proses pesisir lainnya: abrasi yang
diakibatkan oleh adanya fenomena oseanografi dari perairan sekitarnya,
seperti pola arus, gelombang, dan pasang surut. Dengan adanya proses
geomorfologi muda ini, maka sangat dimungkinkan pualu ini akan terendam
pada pasang tertinggi apabila telah terkikis dan mengalami pendataran. Tetapi
dilihat dari kondisi fisik batuan penyusun pulau Nipah dan tingkat kegempaan
yang relatif kecil, maka pulau ini tidak akan pengalami penenggelaman
(subsidence).
Pendugaan Biomassa Ikan di Perairan Sekitar P. Nipah dengan Metoda
Akustik Bim Terbagi (Split Beam Acoustic System)Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan estimasi stok di wilayah perairan
sekitar P. Nipah dengan menggunakan metoda akustik, khususnya metoda
akustik bim terbagi.
Seperti terlihat pada gambar-gambar diatas bahwa target strength (TS) ikan-
ikan pelagis selama akusisi pengamatan baik daerah alur pelayan maupun
bebas di perairan sekitar P. Nipah pada bulan Agustus 2004 sangat sedikit dan
tidak dapat di gunakan untuk perhitungan kepadatan stok di daerah ini.
Nilai dugaan biomassa sebesar 272 ton atau 1,310 ton/km² untuk perairan
sekitar P. Nipah secara total didominasi oleh ikan-ikan demersal yang
tertangkap bulan Agustus 2004.
Biomassa ikan demersal di perairan sekitar P. Nipah baik di alur pelayaran
ataupun tidak, didominasi ikan-ikan dengan ukuran dugaan panjang 3,94 cm.
(25,91 %).
Saran! Untuk menjaga eksistensi pulau Nipah, agar tidak terendam air pada saat
pasang tertinggi, maka daratan pulau Nipah perlu direklamasi untuk
menaikkan ketinggiannya menjadi lebih tinggi dari selisih antara surut
terendah dan pasang tertinggi.! Untuk melindungi kawasan pantai pulau Nipah dari proses abrasi dan
pengikisan yang berlangsung intensif, perlu dibuat bangunan pengaman
pantai atau sejenisnya, baik secara fisik maupun vegetatif, pada lokasi
pantai yang rawan abrasi.! Perlu diusulkan dalam master plan penanganan pulau Nipah berupa
pembentukan suatu kawasan khusus untuk zonasi ekosistem pesisir pulau
Nipah (ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem
mangrove)! Penting untuk memfokuskan kegiatan daerah rehabilitasi mangrove di
Pulau Nipah selain kegiatan konservasi terumbu karang di sebelah barat
pulau.! Untuk kegiatan transportasi lintas laut dan penambangan pasir, perlu
dibangun suatu stasiun observasi untuk pasang-surut dan pengukuran
Gambar 12.8 Echogram file Data Treshold (DT) pada akusisi target ikan pelagisdi daerah bebas alur pelayaran.
107Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
108Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
kualitas air. Pengukuran ini akan membantu akurasi pemodelan
hidrodinamik, transport sedimen, dan penginderaan jauh yang dapat
dipakai untuk memonitor kondisi lingkungan perairan disekitar Pulau
Nipah.
Daftar PustakaFriedrich, K. dan Kosloswsky, D., 2002. Sea Surface Temperature, INFORMUS,
hal. 91-94.Hendiarti, N., Purwandani, A., Frederik, M C G, Ambarini, R A, 2004.
Investigation of Oceanographic and Marine Environmental Condition
surrounding Nipah Island: in situ Measurements and Satellite
Observations, Proceedings of WOM-13 on Validation and Application of
Satellite Data for Marine Resources Conservation, 5-9 Oktober 2004, Bali,
Indonesia.Tim ekspedisi PotRets Pulau Nipah, 2004, Laporan Kegiatan Sinergi P-TISDA
2004.
Lampiran A.Sebaran Kandungan Klorofil-a Tahun 1998-2005
109Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
110Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
kualitas air. Pengukuran ini akan membantu akurasi pemodelan
hidrodinamik, transport sedimen, dan penginderaan jauh yang dapat
dipakai untuk memonitor kondisi lingkungan perairan disekitar Pulau
Nipah.
Daftar PustakaFriedrich, K. dan Kosloswsky, D., 2002. Sea Surface Temperature, INFORMUS,
hal. 91-94.Hendiarti, N., Purwandani, A., Frederik, M C G, Ambarini, R A, 2004.
Investigation of Oceanographic and Marine Environmental Condition
surrounding Nipah Island: in situ Measurements and Satellite
Observations, Proceedings of WOM-13 on Validation and Application of
Satellite Data for Marine Resources Conservation, 5-9 Oktober 2004, Bali,
Indonesia.Tim ekspedisi PotRets Pulau Nipah, 2004, Laporan Kegiatan Sinergi P-TISDA
2004.
Lampiran A.Sebaran Kandungan Klorofil-a Tahun 1998-2005
109Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
110Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
111Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
112Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
111Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
112Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
113Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
114Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
113Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
114Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
115Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
116Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
115Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
116Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Lampiran B.Sebaran Kandungan Endapan Terlarut Tahun 2003
117Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
118Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Lampiran B.Sebaran Kandungan Endapan Terlarut Tahun 2003
117Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
118Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Lampiran C.Dokumentasi kegiatan INDOO 2005
Pertemuan dimulainya Proyek INDOO (Indonesian Operational Ocean
Observing System) di Perancak, Bali, 10 November 2005Proyek INDOO adalah kerjasama antara Indonesia dan Italia dalam
mengembangkan design sistem operasional pemantauan fenomena laut
Indonesia. Kerjasama ini dimulai pada bulan Juli 2005 hingga Mei 2006.
Institusi Indonesia yang terlibat adalah BRKP-DKP dan P-TISDA BPPT. Institusi
Italia yang terlibat adalah ESA-ESRIN, ENEA,dan IMC. Buku 'Riset dan Teknologi
Pemantauan Dinamika Laut Indonesia' ini adalah salah satu hasil kegiatan
INDOO. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di www.tisda.org/indoo.
Pertemuan perdana tim INDOO
Tim INDOO di SEACORM, Perancak
SEACORM, perancak
119Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
120Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Lampiran C.Dokumentasi kegiatan INDOO 2005
Pertemuan dimulainya Proyek INDOO (Indonesian Operational Ocean
Observing System) di Perancak, Bali, 10 November 2005Proyek INDOO adalah kerjasama antara Indonesia dan Italia dalam
mengembangkan design sistem operasional pemantauan fenomena laut
Indonesia. Kerjasama ini dimulai pada bulan Juli 2005 hingga Mei 2006.
Institusi Indonesia yang terlibat adalah BRKP-DKP dan P-TISDA BPPT. Institusi
Italia yang terlibat adalah ESA-ESRIN, ENEA,dan IMC. Buku 'Riset dan Teknologi
Pemantauan Dinamika Laut Indonesia' ini adalah salah satu hasil kegiatan
INDOO. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di www.tisda.org/indoo.
Pertemuan perdana tim INDOO
Tim INDOO di SEACORM, Perancak
SEACORM, perancak
119Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
120Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Lokasi budidaya tambak SEACORM
Pertemuan User Requirement di BPPT, Jakarta,15 November 2005
121Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
122Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Lokasi budidaya tambak SEACORM
Pertemuan User Requirement di BPPT, Jakarta,15 November 2005
121Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
122Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Kantor Proyek INDOO di BPPT, Jakarta
Pertemuan di Italia, tanggal 20-24 Maret 2006
123Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
124Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Kantor Proyek INDOO di BPPT, Jakarta
Pertemuan di Italia, tanggal 20-24 Maret 2006
123Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
124Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Lampiran DInformasi Alamat Penulis
Alamat kantor:Direktorat P-TISDA, Deputi TPSA - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,lantai 19 Gedung II BPPT, Jl. MH Thamrin no. 8, Jakarta 10340
Alamat website P-TISDA:www.tisda.org, www.bppt.go.id
Alamat website proyek INDOO:www.tisda.org/indoo
Albert Sulaiman, MSi, telp: (021) 316 9711,e-mail: lyman@webmail.bppt.go.id
Dr. Fadli Syamsudin, telp: 316 9739,e-mail: fadli@webmail.bppt.go.id
Dr. M. Sadly, telp: 316 9732,email: sadly@webmail.bppt.go.id
Marina CG Frederik, MSc, telp: 316 8914,e-mail: marina@webmail.bppt.go.id
Dr. Nani Hendiarti, telp: 316 9732,e-mail: hendiarti@webmail.bppt.go.id
Retno Andiastuti A, SSi telp: 316 8914,e-mail: retno_andiastuti@yahoo.com
Dr. Yusuf S. Djajadihardjaiyung@ceo.bppt.go.id
125Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
126Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Lampiran DInformasi Alamat Penulis
Alamat kantor:Direktorat P-TISDA, Deputi TPSA - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,lantai 19 Gedung II BPPT, Jl. MH Thamrin no. 8, Jakarta 10340
Alamat website P-TISDA:www.tisda.org, www.bppt.go.id
Alamat website proyek INDOO:www.tisda.org/indoo
Albert Sulaiman, MSi, telp: (021) 316 9711,e-mail: lyman@webmail.bppt.go.id
Dr. Fadli Syamsudin, telp: 316 9739,e-mail: fadli@webmail.bppt.go.id
Dr. M. Sadly, telp: 316 9732,email: sadly@webmail.bppt.go.id
Marina CG Frederik, MSc, telp: 316 8914,e-mail: marina@webmail.bppt.go.id
Dr. Nani Hendiarti, telp: 316 9732,e-mail: hendiarti@webmail.bppt.go.id
Retno Andiastuti A, SSi telp: 316 8914,e-mail: retno_andiastuti@yahoo.com
Dr. Yusuf S. Djajadihardjaiyung@ceo.bppt.go.id
125Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
126Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Recommended