Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Menuju terciptanya pekerjaan yang lebih baik dan jaminan perlindungan bagi para pekerja
Ringkasan Eksekutif
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
KANTOR BANK DUNIA, JAKARTA
Gedung Bursa Efek Indonesia Tower II/Lantai12
Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12910
Tel: (6221) 5299-3000
Faks: (6221) 5299-3111
Situs web: www.worldbank.org/id
BANK DUNIA
1818 H Street N.W.
Washington, D.C. 20433, U.S.A.
Tel: (202) 458-1876
Fax: (202) 522-1557/1560
Situs web: www.worldbank.org
Dicetak Juni 2010
Desain sampul dan buku: Hasbi Aisuke ([email protected])
Foto sampul dan bab oleh: Copyright © JiwaFoto Agency di halaman 73, 131, dan 173 (Sinartus Sosrodjojo), halaman 43 dan 117
(Josh Estey), halaman 143 (Roy Rubianto), dan halaman 101 (Toto Santiko Budi). Foto di halaman 27 dan 55 oleh Josh Estey, dan telah
diizinkan untuk digunakan oleh Mercy Corps. Foto di halaman 159 dan 11 (Kristen Thompson), serta halaman 89 berasal dari koleksi foto
MDF/JRS Bank Dunia. Semua hak dilindungi undang-undang.
Laporan Lapangan Kerja Indonesia dibuat oleh staf Bank Dunia. Temuan, penafsiran, dan kesimpulan yang disampaikan di dalamnya
tidak mencerminkan pandangan Dewan Direksi Bank Dunia ataupun Pemerintah yang diwakili Bank Dunia.
Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data dalam laporan ini. Perbatasan, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditampilkan
pada peta apa pun dalam laporan ini tidak menyiratkan penilaian apa pun dari Bank Dunia mengenai status hukum teritori mana pun,
atau dukungan atau penerimaan terhadap perbatasan tersebut.
Jika ada pertanyaan apa pun mengenai laporan ini, silakan hubungi Vivi Alatas ([email protected]), David Newhouse (dnewhouse@
worldbank.org), dan Edgar Janz ([email protected]).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Menuju terciptanya pekerjaan yang lebih baik dan jaminan perlindungan bagi para pekerja
Ringkasan Eksekutif
2 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Kata Pengantar
Selama empat puluh tahun terakhir, Indonesia telah menikmati manfaat demografi s seiring pertumbuhan populasi usia kerja yang lebih cepat daripada kenaikan populasi anak-anak dan lanjut usia. Hal ini merupakan peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan, asalkan seiring dengan diciptakan pekerjaan yang lebih banyak – dan lebih baik – untuk mempekerjakan angkatan kerja yang akan bertambah kira-kira 20 juta orang dalam sepuluh tahun berikutnya. Sayangnya, peluang demografi s ini akan tertutup dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan karena pertumbuhan populasi lanjut usia mulai melampaui pertumbuhan angkatan kerja, sehingga menambah beban terhadap jaminan penghasilan para pekerja. Inilah sebabnya mengapa sepuluh tahun ke depan adalah masa yang kritis bagi Indonesia untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan memanfaatkan sebaik-baiknya peluang ini.
Saat ini, pembuat kebijakan di Indonesia menghadapi tantangan strategis dalam mengidentifi kasi kebijakan dan program yang dapat mendorong penciptaan pekerjaan yang baik dan secara bersamaan memastikan para pekerja memperoleh perlindungan yang lebih baik terhadap berbagai risiko yang mengancam jaminan penghasilan mereka. Keputusan mengenai kebijakan ketenagakerjaan sangat sulit diambil karena keputusan ini berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan pekerja, baik formal maupun informal, dan terhadap perusahaan yang menjadi mesin utama pertumbuhan lapangan kerja. Persaingan di antara berbagai kepentingan yang berbeda tersebut turut berperan menimbulkan kebuntuan yang saat ini menjebak pekerja dan perusahaan dalam keadaan “sama-sama rugi”.
Data empiris yang kuat dapat memberikan masukan bagi perdebatan di seputar reformasi ketenagakerjaan. Laporan Lapangan Kerja Indonesia, yang disusun oleh Bank Dunia melalui kerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan mitra peneliti lokal, merupakan kajian yang paling lengkap dalam sepuluh tahun terakhir mengenai pasar tenaga kerja di Indonesia. Laporan ini menggunakan data terkini untuk mengkaji kinerja pasar tenaga kerja, perubahan pasokan pekerja, dan pengaruh dari kebijakan ketenagakerjaan. Berbagai temuan yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi arah kebijakan masa depan, dan membantu dalam pengambilan keputusan berbasis pembuktian.
Untuk mendorong pertumbuhan pekerjaan yang lebih baik, pendekatan dari berbagai segi sangat diperlukan. Laporan ini merekomendasikan beberapa reformasi penting terhadap program dan kebijakan ketenagakerjaan. Tetapi di samping itu, yang tidak kalah penting adalah reformasi untuk mempercepat penciptaan lapangan kerja melalui perbaikan infrastruktur dan iklim investasi, bersamaan dengan reformasi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Keberhasilan akan bergantung pada kemitraan antara pemerintah, asosiasi pemberi kerja, serikat pekerja, dan kelompok masyarakat madani lainnya, dengan dukungan dari lembaga penelitian di Indonesia dan mitra pembangunan internasional.
Kami berharap dengan sepenuh hati bahwa laporan ini akan membantu membangkitkan kembali dialog mengenai penciptaan lapangan kerja dan jaminan bagi pekerja. Dengan belajar dari pengalaman serta praktik-praktik terbaik internasional, Indonesia akan lebih siap mencari jalan untuk memperoleh solusi “sama-sama untung” yang dapat mempercepat penciptaan pekerjaan yang lebih baik tanpa mengorbankan perlindungan yang memadai bagi pekerja.
Joachim von Amsberg
Direktur Bank Dunia untuk Indonesia
Ringkasan Eksekutif
3
Ucapan Terima Kasih
Laporan Lapangan Kerja Indonesia dibuat oleh Poverty Team, sebuah unit di bawah kelompok Poverty
Reduction and Economic Management (PREM) dari kantor Bank Dunia Jakarta. Tim yang dipimpin Vivi Alatas
ini memberikan nasihat teknis dan kebijakan berdasarkan riset empiris dan analisis yang mendalam kepada
Pemerintah Indonesia guna membantu tercapainya sasaran pengurangan kemiskinan nasional. Dukungan
yang sangat bernilai bagi pembuatan laporan ini telah diberikan oleh Bank Dunia dan Kedutaan Besar
Kerajaan Belanda di Indonesia.
Laporan ini disusun oleh tim inti yang dipimpin oleh Vivi Alatas (Ekonom Senior, EASPR) dan David Newhouse
(Ekonom Ketenagakerjaan, HDNSP). Manajemen proyek harian dipimpin oleh Edgar Janz. Tim penulis
yang turut berkontribusi dalam pembuatan laporan ini termasuk: Vivi Alatas, Vera Brusentsev, Emanuela
Di Gropello, Edgar Janz, Lina Marliani, David Newhouse, Ari Perdana, Maria Laura Sanchez-Puerta, Kurnya
Roesad, Ramya Sundaram, Daniel Suryadarma, dan Wayne Vroman. Milda Irhamni dan Peter Milne turut
memberikan kontribusi tambahan.
Makalah latar belakang yang sangat bagus juga berkontribusi dalam persiapan pembuatan laporan. Armida
Alisjahbana menyusun empat makalah penelitian mengenai undang-undang perlindungan kerja dan
fl eksibilitas pasar, ketidakcocokan antara pendidikan dan keahlian, pemberian pelatihan oleh sektor swasta
dan publik, serta pendidikan kejuruan dan teknis. Hari Nugroho menulis makalah mengenai penyelesaian
perselisihan melalui sistem pengadilan hubungan industrial. Makalah oleh Ana Revenga dan Jamele Rigolini,
serta makalah oleh Wayne Vroman, mendiskusikan tentang reformasi pembayaran pesangon di Indonesia
dan pengalaman internasional. Emanuela Di Gropello dan Berly Martawardaya memberikan temuan
awalnya dari publikasi Bank Dunia yang akan datang, yaitu Survei Keahlian Indonesia. Kami juga berterima
kasih kepada Sean Granville-Ross dari Mercy Corps yang telah memberikan izin untuk menggunakan kisah
dan foto dari buku Nineteen yang bercerita tentang kehidupan pekerja di sektor informal Indonesia.
Riset dan analisis data yang sangat bernilai telah diberikan oleh: Peter Brummund, Fitria Fitrani, Milda
Irhamni, Lina Marliani, David Newhouse, Ari Perdana, Ririn Salwa Purnamasari, Ramya Sundaram, dan Daniel
Suryadarma. Bantuan analisis tambahan juga diberikan oleh: Amri Illma dan Hendratno Tuhiman.
Laporan ini semakin disempurnakan berkat masukan yang bernilai dari Kajian Rekanan Sebaya (Peer Review)
oleh: Gordon Betcherman (University of Ottawa), Chris Manning (Australia National University), dan Pierella
Paci (Manajer Sektor, PREM-GR).
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berbaik hati memberikan
masukannya selama pembuatan laporan ini. Dari Pemerintah Indonesia, masukan dan wawasan yang
sangat bermanfaat diberikan oleh: Myra Hanartani (Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial
dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Rahma Iryanti (Direktur
Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional), Bambang Widianto (Deputi Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Masyarakat) dan Prasetijono
Widjojo (Deputi Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha
Kecil Menengah, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional). Selain itu, kami juga berterima
kasih kepada pribadi berikut atas masukannya yang berharga: Wiebe Anema, Shubham Chaudhuri, Dandan
Chen, John Giles, Javier Luque, Peter Rosner, William Wallace, dan Matthew Pierre Zurstrassen.
4 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Laporan ini mendapatkan manfaat besar dari penyuntingan yang dipimpin oleh Edgar Janz dan dibantu
oleh Mia Hyun, Peter Milne, dan Marcellinus Jerry Winata. Bantuan logistik dan produk yang sangat berarti
juga diberikan oleh Deviana Djalil, Myra Fitrianti, dan Dinni Prihandayani. Kami pun mengucapkan terima
kasih kepada Hendrayatna Tafi anoto yang telah menerjemahkan laporan dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia, dan Hasbi Akhir yang telah merancang tata letak laporan akhir.
Laporan ini dibuat di bawah panduan umum dari: Vikram Nehru (Direktur Sektor, EASPR), Shubham Chaudhuri
(Ekonom Kepala, EASPR) dan William Wallace (Penasihat Senior, EASPR). Panduan strategis dan masukan
kunci juga diberikan oleh Joachim von Amsberg, Direktur Negara Bank Dunia untuk Indonesia.
Ringkasan Eksekutif
5
Daftar Isi
Pengantar 7
Menegosiasikan Kesepakatan Besar 10
Mengembangkan Strategi Pelatihan Keahlian yang Menyeluruh 15
Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja 20
Mendukung Pembuatan Kebijakan Berbasis Bukti 23
Matriks Ringkasan Rekomendasi Kebijakan 25
Referensi 27
Gambar
Gambar 1: Komposisi angkatan kerja aktif menurut sektor, 2007 7
Gambar 2: Pangsa lapangan kerja di sektor formal dan non-tani (persen) 7
Gambar 3: Tingkat pesangon, 1996-2003 11
Gambar 4: Biaya memberhentikan (dalam gaji mingguan) 11
Gambar 5: Penerimaan uang pesangon sesuai laporan pekerja 12
Gambar 6: Pekerja yang memenuhi syarat namun melaporkan tidak menerima pesangon (persen) 12
Gambar 7: Segmentasi – Distribusi angkatan kerja aktif menurut status pekerjaan 14
Gambar 8: Perbandingan upah bulanan (rata-rata log) menurut status pekerjaan 14
Gambar 9: Pendaftaran sekolah kejuruan, 1992-2007 16
Gambar 10: Pendaftaran ke sekolah menengah atas menurut jenisnya 16
Gambar 11: Biaya pendidikan kejuruan negeri (Rp) 16
Gambar 12: Biaya yang dikeluarkan sendiri untuk pendidikan (Rp) 16
Gambar 13: Pilihan jurusan SMK menurut jenis kelamin 17
Gambar 14: Pekerja yang lulus SMA atau lebih tinggi, menurut sektor (juta) 17
Gambar 15: Upah riil median (Rp) 20
Gambar 16: Jobless growth - pangsa pekerjaan non-tani (persen) 20
Gambar 17: Upah minimum dan lapangan kerja formal 21
Gambar 18: Upah minimum dan ketidakpatuhan 21
KotakKotak 1: Opsi Reformasi Pesangon 13
Kotak 2: Program Jóvenes: Praktik terbaik dalam pelatihan keahlian 19
Ringkasan Eksekutif
7
Indonesia belum menciptakan pekerjaan yang baik dalam jumlah memadai agar para pekerja
dapat merasakan sepenuhnya manfaat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pekerjaan adalah
salah satu dari sedikit aset yang dimiliki kalangan miskin. Jika mereka memperoleh pekerjaan yang baik,
maka mereka akan berkesempatan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk keluar dari kemiskinan.
Sayangnya, Indonesia mengalami jobless growth yang signifi kan dari tahun 1999 sampai 2003, hal lain
yang juga memberikan kontribusi terhadap keadaan saat ini, adalah dari 104,5 juta populasi Indonesia
yang bekerja, mayoritas masih bekerja di sektor informal dan pertanian (Gambar 1).1 Meskipun terjadi
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, penurunan kemiskinan berlangsung lebih lambat daripada yang
diharapkan, sebagian karena kurangnya peluang bagi pekerja miskin untuk pindah ke pekerjaan yang lebih
baik di sektor formal dan non-tani (Gambar 2). Guncangan ekonomi juga dapat mengurangi laju penciptaan
lapangan kerja dan, jika guncangan tersebut cukup serius, dapat menjadi ancaman yang mendorong
Indonesia kembali ke masa jobless growth.
Gambar 1: Komposisi angkatan kerja
aktif menurut sektor, 2007
Gambar 2: Pangsa lapangan kerja di sektor formal
dan non-tani (persen)
7%
37%
23%
17%
4%
12%
IndustriInformal
JasaFormal
JasaInformal
PertanianFormal
PertanianInformal
IndustriFormal
30
35
40
45
50
55
60
1990 1992 1994 1997 1999 2001 2003 2005 2007
1990 -1997 1997 -1999 1999 -2003 2003 -2008
Lapangan kerja non-tani
Lapangan kerja formal (lama)
Lapangan kerja formal (baru)
Sumber: Sakernas. Sumber: Sakernas.
1 Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Februari 2009.
Pengantar
8 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Peraturan ketenagakerjaan yang kaku telah menghambat penciptaan lapangan kerja dan gagal
memberikan perlindungan bagi pekerja, terutama pekerja yang paling rentan. Peraturan perekrutan
dan pemberhentiandi Indonesia telah diperketat tahun 2003 dengan disahkannya Undang-Undang
Ketenagakerjaan (No. 13/2003) yang bertujuan meningkatkan perlindungan pekerja. Kebijakan ini tidak
memberikan manfaat baik bagi pemberi kerja maupun mayoritas pekerja sehingga keduanya terjebak
dalam keadaan “sama-sama rugi”. Peraturan yang ketat menghambat penciptaan lapangan kerja dengan
mengurangi minat investasi dan menghambat produktivitas, serta membatasi kemampuan pemberi kerja
untuk mengurangi karyawan demi bertahan selama kemerosotan ekonomi. Namun, berlawanan dengan
tujuannya, berbagai peraturan ini hanya memberikan sedikit perlindungan nyata bagi pekerja formal yang
dikontrak. Karyawan yang paling rentan – mereka yang berupah rendah dan pekerja perempuan – berpeluang
paling kecil untuk mendapat manfaat dari peraturan yang ada saat ini. Hal yang juga memprihatinkan adalah
bahwa kebijakan saat ini menyisihkan mayoritas pekerja “luar” yang terdiri atas karyawan yang bekerja tanpa
kontrak dan mereka yang bekerja di sektor informal. Mereka sama sekali tidak dilindungi oleh peraturan yang
ada saat ini dan sulit menemukan pekerjaan yang lebih baik. Pada saat yang bersamaan, hanya ada sedikit
program tenaga kerja aktif yang dirancang untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan memberi
kesempatan bagi pekerja informal dan pekerja yang menganggur.
Upaya reformasi ketenagakerjaan telah menemui kebuntuan dan menghambat kemampuan
Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan masa depan. Perdebatan
seputar reformasi undang-undang ketenagakerjaan sangat sengit dan terutama terfokus pada peraturan
perekrutan dan pemberhentianyang kontroversial. Demi meningkatkan fl eksibilitas pasar tenaga kerja,
pemerintah telah berupaya mereformasi peraturan tersebut pada tahun 2006 dan 2007, namun keduanya
gagal. Akibatnya, peraturan ketenagakerjaan Indonesia masih merupakan salah satu yang paling kaku di
kawasannya. Kebuntuan ini menghambat kemampuan Indonesia untuk mempercepat laju penciptaan
pekerjaan yang ‘baik’ dan laju pengurangan kemiskinan.
Setelah memperoleh mandat politik yang baru, pemerintah saat ini berkesempatan untuk memecah
kebuntuan reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang saat ini merugikan pekerja dan pemberi kerja.
Kebijakan dan program ketenagakerjaan Indonesia dapat dirancang dengan lebih baik untuk mendorong
pertumbuhan lapangan kerja, sekaligus melindungi pekerja yang rentan. Pemerintah baru berkesempatan
menggunakan waktu lima tahun ke depan untuk memperkenalkan kebijakan dan program baru yang
menguntungkan pekerja dan pemberi kerja, terfokus pada empat prioritas berikut ini.
Yang pertama, menegosiasikan kesepakatan besar mengenai reformasi peraturan. Kebuntuan
reformasi pesangon saat ini telah merusak daya saing pasar tenaga kerja Indonesia dan hanya menawarkan
sedikit perlindungan bagi sebagian besar pekerja. Perlu diupayakan pemecahan yang “sama-sama untung”
dengan menyederhanakan dan mengurangi tingkat pesangon yang terlalu tinggi, dan pada saat yang
bersamaan, memberikan tunjangan pengangguran untuk melindungi pekerja formal dengan lebih efektif.
Sistem tunjangan pengangguran adalah komponen inti dari sistem Jaminan Sosial Nasional di masa depan,
sebuah institusi kunci di banyak negara lain yang berpenghasilan menengah.
Yang kedua, mengembangkan strategi pelatihan keahlian menyeluruh untuk melengkapi pekerja
supaya dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Perlindungan pekerja tidak cukup hanya dengan
mengandalkan peraturan ketenagakerjaan. Sebagian besar peraturan tersebut tidak relevan bagi pekerja
informal yang merupakan angkatan kerja mayoritas. Pemerintah dapat membantu lebih banyak pekerja
dengan menerapkan sejumlah strategi, baik formal maupun informal, untuk pengembangan keahlian. Dalam
hal pendekatan formal, membatalkan moratorium pembangunan sekolah menengah atas umum akan
membantu memenuhi permintaan. Selanjutnya, perluasan sekolah menengah atas kejuruan seharusnya
adalah untuk menanggapi permintaan pasar tenaga kerja sesungguhnya, bukan sekadar memenuhi
kuota. Memperbaiki mutu pendidikan kejuruan untuk memenuhi permintaan yang besar akan pekerja
Ringkasan Eksekutif
9
berpendidikan lebih tinggi. Pada saat bersamaan, memperkenalkan strategi pelatihan keahlian non-formal
sebagai pelengkap untuk menargetkan mayoritas pekerja di Indonesia yang tidak mampu mengakses
pendidikan formal.
Yang ketiga, meluncurkan program tenaga kerja aktif yang dirancang untuk melindungi mereka
yang paling rentan. Para pekerja sering menjadi korban dalam guncangan, seperti yang terjadi ketika
krisis keuangan 1997. Tanpa adanya jaring pengaman, para pekerja umumnya bertahan dengan mencari
kerja di sektor informal dan pertanian. Ancaman krisis keuangan global baru-baru ini telah menyoroti
betapa perlunya Indonesia mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk menghadapi guncangan di masa
depan. Indonesia dapat bersiap menghadapi guncangan lapangan kerja dan upah di masa depan dengan
memperkenalkan program jaring pengaman tenaga kerja demi melindungi pekerja yang paling rentan.
Persiapan dapat diawali dengan pekerjaan umum yang merupakan jaring pengaman penting yang dapat
dipakai secara efektif untuk menargetkan pekerja miskin dan berupah rendah.
Yang terakhir, berinvestasi dalam riset untuk mendukung pembuatan kebijakan berbasis bukti.
Banyak perdebatan mengenai kebijakan dan program pasar tenaga kerja yang tidak didasarkan pada bukti
empiris. Diperlukan peningkatan mutu dan pendalaman riset kebijakan ketenagakerjaan untuk membantu
pemerintah baru dalam menjalankan agenda reformasi yang didukung hasil analisis dan bukti kuat. Fasilitas
penelitian, think tank lokal, dan Biro Pusat Statistik, semuanya berperan penting menghasilkan data dan
melakukan riset tenaga kerja bermutu untuk memenuhi kebutuhan pembuat kebijakan.
10 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Meningkatkan tunjangan pengangguran dan menyetujui penurunan
tingkat pesangon
Undang-Undang Ketenagakerjaan telah menjadikan peraturan ketenagakerjaan Indonesia sangat
kaku. Undang-undang tersebut menaikkan nilai pesangon bagi pekerja dengan masa kerja tiga tahun
atau lebih dan menambah lagi pembayaran sebesar 15 persen sebagai uang pengganti hak (Gambar 3).
Dengan kenaikan ini, uang pesangon diperkirakan setara dengan “pajak perekrutan” (hiring tax) senilai kira-
kira sepertiga dari upah tahunan pekerja.2 Selain menyebabkan pemberi kerja lebih sulit memberhentikan
atau melakukan realokasi karyawan, undang-undang tersebut juga memperketat penggunaan karyawan
sementara oleh perusahaan. Penggunaan kontrak dengan jangka waktu tertentu (Fixed-Term Contracts
– FTC) dan layanan alih daya dibatasi hanya untuk posisi non-inti dan batas maksimum untuk kontrak
sementara dikurangi dari lima menjadi tiga tahun. Undang-undang tersebut juga membawa beberapa
perubahan baik. Proses penetapan upah minimum diperbaiki dengan mereformasi penggunaan survei
harga dan memperkuat peran dewan pengupahan lokal.
Peraturan perekrutan dan pemberhentiandi Indonesia saat ini adalah salah satu yang paling kaku
di Asia Timur dan di dunia. Dalam sebuah survei tahun 2009 yang membandingkan kekakuan peraturan
ketenagakerjaan di berbagai negara, Indonesia menempati urutan ke-157 dari 181 negara di dunia. Jika
dibandingkan dengan negara tetangga yang menjadi pesaing di kawasan Asia Timur dan Pasifi k, Indonesia
menempati urutan ke-23 dari 24 negara.3 Tidak ada negara sekawasan lain yang biaya memberhentikan
karyawannya setinggi biaya di Indonesia (Gambar 4). Meskipun kebanyakan ekonomi Asia membatasi
penggunaan FTChanya bagi kegiatan tertentu dan menentukan baik lamanya kontrak maupun persyaratan
untuk perpanjangan kontrak, Indonesia, bersama-sama dengan Kamboja, Filipina, dan Vietnam, termasuk
kelompok negara yang mengatur FTCdengan lebih ketat.4
2 Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, nilai pesangon diperkirakan setara dengan “pajak perekrutan” sebesar 4,1 bulan upah, meningkat dari rata-rata 2 bulan pada tahun 1996 dan 3,4 bulan pada 2000. (Laboratorium Penelitian, Pengabdian Pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E), Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran. “Indonesia’s Employment Protection Legislation: Swimming Against the Tide?” 2004. Disusun untuk GIAT, proyek USAID/Pemerintah Indonesia).
3 Bank Dunia 2009a Doing Business .. Catatan: Laporan ini didasarkan pada temuan survei yang mengukur secara kuantitatif berbagai peraturan mempekerjakan pekerja di 181 ekonomi. Untuk perincian, lihat www.doingbusiness.org.
4 Berdasarkan peraturan yang spesifi k pada setiap ekonomi Asia, yang diperoleh dari ILO (pangkalan data on-line LABORSTA, 2008) mengenai jangka waktu kontrak sementara dan dalam kondisi apa kontrak sementara diperbolehkan.
Menegosiasikan
Kesepakatan
Besar
Ringkasan Eksekutif
11
Gambar 3: Tingkat pesangon, 1996-2003 Gambar 4: Biaya memberhentikan (dalam gaji
mingguan)
UU 1996
UU 2000
UU 2003
0
5
10
15
20
25
30
< 1 3 5 10 20 Max
Nila
i pes
ango
n da
lam
bul
an g
aji
Masa kerja (dalam tahun)Cina Filipina
0
20
40
60
80
100
120
Sumber: UNPAD, 2004. Sumber: Doing Business, 2009.
Negara berkembang dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku menghadapi kesulitan lebih
besar dalam menciptakan pekerjaan sehingga memperburuk kondisi ketenagakerjaan bagi pekerja.
Bukti empiris mengenai dampak semakin kakunya penciptaan lapangan kerja belum tersedia di Indonesia
karena data mengenai pembayaran pesangon dan status kontrak belum dikumpulkan secara konsisten.
Tetapi, penelitian internasional secara konsisten mendapati bahwa negara berkembang yang peraturan
ketenagakerjaan sangat memberatkan juga mengalami tingkat investasi, produktivitas, dan investasi dalam
manufaktur yang lebih rendah.5 Peraturan ketenagakerjaan yang kaku menghambat pertumbuhan lapangan
kerja dengan membatasi manfaat keterbukaan perdagangan dan mengurangi minat para pengusaha
wiraswasta untuk memulai bisnis baru. Hal ini berdampak langsung dan negatif terhadap pekerja. Negara
berkembang dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku berpeluang lebih besar mengalami keikutsertaan
(laki-laki) dalam angkatan kerja yang lebih rendah, tingkat lapangan kerja yang lebih rendah, dan tingkat
pengangguran yang tinggi – terutama di antara perempuan dan kaum muda.6 Sebuah studi terhadap 74
negara menyimpulkan bahwa jika Indonesia memaksimalkan fl eksibilitas peraturan ketenagakerjaannya,
tingkat pengangguran akan menurun 2,1 persen, sedangkan tingkat pengangguran kaum muda akan
menurun 5,8 persen.7
Kebuntuan saat ini menjebak para pekerja dan pemberi kerja dalam keadaan “sama-sama rugi”
yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan tidak memberi perlindungan yang cukup bagi
karyawan. Tingginya tingkat pesangon yang diwajibkan secara hukum di Indonesia telah menghalangi
investasi asing dan mengurangi minat para pengusaha wiraswasta untuk menciptakan usaha baru. Aturan
yang rumit mengenai perhitungan pesangon dan sistem “pasca bayar” saat ini menimbulkan masalah
tambahan karena menyulitkan perusahaan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja. Tingkat pesangon
yang tinggi tidak hanya merugikan pemberi kerja, tetapi juga karyawan. Peraturan tersebut tidak efektif
melindungi karyawan yang diberhentikan dan menghadapi pengangguran. Dari antara semua karyawan
yang diberhentikan dalam dua tahun terakhir dan memenuhi syarat untuk menerima pesangon, hanya
34.4 persen yang menerima uang pesangon (Gambar 5). Dari antara karyawan yang menerima uang
pesangon, 78.4 persen menerima pesangon lebih kecil daripada nilai yang menjadi hak mereka secara
hukum. Ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut justru paling banyak dialami oleh pekerja yang paling
membutuhkan perlindungan penghasilan: perempuan, staf sementara, dan karyawan berupah rendah
(Gambar 6). Perusahaan kecil mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk tidak patuh karena berukuran
5 Djankov, Simeon, dan Rita Ramalho. 2008.
6 Ibid.
7 Feldmann, 2008.
12 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
terlalu kecil untuk membentuk serikat pekerja dan berada di bawah ambang batas pengawasan inspektur
tenaga kerja.
Dengan menegosiasikan kesepakatan besar – menurunkan tingkat pesangon, dan sebagai gantinya,
memperkenalkan tunjangan pengangguran – pemerintah dapat meningkatkan fl eksibilitas
pasar tenaga kerja sambil meningkatkan perlindungan bagi karyawan. Masih ada harapan untuk
menemukan jalan keluar “sama-sama untung” yang dapat diterima oleh pemberi kerja maupun karyawan.
Pertama-tama, penyederhanaan perhitungan pesangon dan penurunan nilainya akan menyetarakan
Indonesia dengan standar regional, meningkatkan fl eksibilitas pasar tenaga kerja, dan daya saing global.
Pada saat yang bersamaan, memperkenalkan sistem tunjangan pengangguran untuk melengkapi tingkat
perlindungan bagi karyawan yang diberhentikan. Beralih menggunakan pendekatan “pendekatan
kontribusi bulanan” – yaitu kontribusi bulanan oleh perusahaan ke sebuah rekening yang dikelola secara
terpusat dengan pengawasan pemerintah – akan meningkatkan kemudahan untuk memperkirakan biaya
tenaga kerja tanpa mempengaruhi keputusan perekrutan dan pemberhentian perusahaan. Hal ini juga akan
meningkatkan kepatuhan pemberi kerja sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap Pengadilan
Hubungan Industrial yang kini menghadapi kasus pemberhentian kerja yang kian menumpuk.8 Hal ini akan
membebaskan karyawan dan pemberi kerja dari proses penyelesaian perselisihan yang berbiaya tinggi dan
sangat menghabiskan waktu.
Terdapat serangkaian sistem tunjangan pengangguran yang dapat dipertimbangkan dan dikaji
untuk dimasukkan dalam sistem Jaminan Sosial Nasional di masa depan. Indonesia telah siap mengikuti
langkah negara berpenghasilan menengah lain untuk menerapkan sistem tunjangan pengangguran.
Terdapat serangkaian opsi reformasi yang dapat meningkatkan kemudahan untuk memperkirakan biaya
tenaga kerja dan memberikan kompensasi tingkat pesangon yang lebih rendah bagi pekerja. Opsi ini
termasuk dana bersama (pooled fund) yang dapat ditarik oleh karyawan yang diberhentikan, sistem pesangon
dengan rekening individual, atau program bantuan pengangguran berupa tunjangan tetap (Kotak 1). Setiap
opsi memiliki kelebihan dan kekurangan, serta memiliki tingkat kerumitan kelembagaan yang beragam
dalam mengelola program.
Gambar 5: Penerimaan uang pesangon
sesuai laporan pekerja
Gambar 6: Pekerja yang memenuhi syarat
namun melaporkan tidak menerima
pesangon (persen)
66%
27%
7%
Tidak patuh:
Karyawan sama sekali tidak menerima pesangon Patuh:
Karyawan menerima nilai penuh sesuai haknya atau lebih besar
Kepatuhan parsial:
Karyawan menerima nilai lebih kecil dari pada haknya
0102030405060708090
100
<250 250 -500 500 -1,000
1,000 -15,000
>15,000
Upah Bulanan (dalam ribuan Rupiah)
Laki-laki Perempuan
Jenis kelamin
Sumber: Sakernas 2008. Sumber: Sakernas 2008.
8 Nugroho, 2008.
Ringkasan Eksekutif
13
Kotak 1: Opsi Reformasi Pesangon
Opsi Satu: Dana Pesangon: Perusahaan menyetorkan pembayaran pesangon secara rutin ke dalam sebuah
dana bersama yang dikelola oleh lembaga pemerintahan pusat atau oleh perusahaan swasta. Karyawan yang
diberhentikan menerima pesangon sesuai lamanya masa kerja. Dapat dibuat satu dana bersama untuk satu
perusahaan, atau satu dana bersama yang dapat dipakai oleh semua perusahaan yang berkontribusi.
Opsi Kedua: Rekening individual: Pemberi kerja dan karyawan secara rutin menyetorkan kontribusi ke rekening
individual yang dikelola dan disalurkan oleh lembaga pusat. Kontributor yang menganggur dapat menarik dana
dari rekening mereka sendiri setelah status penganggurannya terkonfi rmasi.
Opsi Ketiga: Bantuan pengangguran berupa tunjangan tetap: Menciptakan dana yang dapat ditarik oleh
pekerja yang memenuhi syarat, yang sedang menganggur. Dana tersebut dikelola dan disalurkan oleh lembaga
yang ditunjuk, bukan oleh pemberi kerja. Pekerja yang menganggur memperoleh tunjangan kecil untuk jangka
waktu tertentu yang diambil dari dana bersama. Pekerja memenuhi syarat atau tidak ditentukan berdasarkan
keaktifan mencari kerja dan ketersediaan pekerjaan yang cocok. Dimungkinkan untuk menguji terlebih dahulu
(means test) apakah penghasilan keluarga membutuhkan bantuan pengangguran.
Sumber: Revenga dan Rigolini, 2007, serta Vroman, 2007.
Proses reformasi dapat dimulai dengan melakukan analisis yang diperlukan guna mengidentifi kasi opsi apa
yang paling cocok bagi Indonesia. Studi simulasi diperlukan untuk mengkaji dampak yang diperkirakan
akan terjadi akibat sistem alternatif dan implikasi serta kebutuhan kelembagaan yang terkait dengan
masing-masing opsi reformasi. Berdasarkan model yang paling cocok, diperlukan peta langkah reformasi
sebagai dasar bagi sistem di masa depan yang selayaknya dikaitkan dengan masa depan sistem jaminan
sosial nasional yang diwajibkan oleh Undang-Undang No. 41/2004.
Kebuntuan saat ini paling merugikan pekerja informal dan pekerja tanpa kontrak. Reformasi
diperlukan untuk meningkatkan peluang mereka memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Reformasi
peraturan saja belum cukup untuk menjangkau mayoritas angkatan kerja Indonesia yang sangat informal.
Pasar tenaga kerja Indonesia sangat tersegmentasi berdasarkan sektor dan status kontrak. Peraturan
ketenagakerjaan saat ini paling menguntungkan karyawan yang memiliki kontrak permanen (di bawah 3
persen dari angkatan kerja) dan karyawan anggota serikat pekerja (11,2 persen dari karyawan penerima
upah). Sayangnya, peraturan tersebut tidak relevan bagi 92,1 persen dari keseluruhan pekerja, baik yang
dipekerjakan tanpa kontrak, maupun yang bekerja di sektor informal (Gambar 7).
Mengurangi kekakuan peraturan saat ini akan menguntungkan para pekerja “luar” melalui
penciptaan lebih banyak peluang kerja di sektor formal. Jika berhasil memperoleh pekerjaan yang lebih
baik di sektor formal, mereka akan berpenghasilan 20 persen lebih besar dan akan lebih berpeluang menerima
tunjangan non-upah seperti tunjangan kesehatan (Gambar 8). Namun demikian, tetap saja masih banyak
pekerja yang terjebak di sektor informal dan hanya mempunyai sedikit peluang untuk meningkatkan status
pekerjaan mereka dalam beberapa waktu ke depan. Karena alasan inilah, reformasi peraturan saja belumlah
cukup untuk memperbaiki prospek kebanyakan pekerja di Indonesia. Diperlukan strategi tambahan untuk
memberdayakan dan melindungi para pekerja Indonesia yang rentan dan tersisih.
14 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Gambar 7: Segmentasi – Distribusi angkatan
kerja aktif menurut status
pekerjaan
Gambar 8: Perbandingan upah bulanan
(rata-rata log) menurut status
pekerjaan
2%
3%
3%
Pemberi kerjaKaryawan
kontrakpermanen
Karyawankontrakjangka
waktu tetap
Karyawan tanpa
kontrak38%
Non-tani informal
27%
Pertanian informal
27%
7
7,2
7,4
7,6
7,8
8
8,2
Karyawan permanen & Pemberi kerja
Karyawan kontrak jangka
waktu tetap
Karyawan tanpa kontrak
Non-tani informal
Pertanian informal
Sumber: Sakernas 2008. Sumber: IFLS 2007.
Ringkasan Eksekutif
15
Melengkapi pekerja yang rentan dengan keahlian yang mereka
perlukan agar dapat berhasil di pasar tenaga kerja
Strategi utama pemerintah untuk meningkatkan keahlian angkatan kerja adalah melalui perluasan
sekolah menengah atas kejuruan, baik negeri maupun swasta. Pada tahun 2005, Kementerian
Pendidikan Nasional meluncurkan kebijakan “70:30” yang kontroversial dengan tujuan agar pada tahun
2015, 70 persen dari semua siswa sekolah menengah atas terdaftar di SMK negeri maupun swasta.9 Angka
tersebut jauh lebih tinggi daripada angka saat ini, yaitu 46 persen dari siswa sekolah menengah atas terdaftar
di sekolah kejuruan pada tahun ajaran 2008-09 (Gambar 9). Pemerintah menggunakan tiga strategi umum
guna meraih target rasio tersebut: membekukan pembangunan SMA baru, mempercepat pembangunan
SMK baru, dan mengubah sekolah umum yang telah ada menjadi sekolah kejuruan. Proses perubahan ini
telah dimulai. Dari 2006-07 sampai 2008-09, telah dibangun 1.211 sekolah kejuruan baru, sedangkan 375
sekolah umum telah ditutup.10 Perluasan tersebut telah membuat siswa yang belajar di SMK saat ini lebih
banyak hampir 1,2 juta orang daripada di tahun 2002-03 (Gambar 10). Kebijakan ini bertujuan menurunkan
angka pengangguran kaum muda dengan memberikan keahlian spesifi k terkait pekerjaan bagi siswa
sekolah menengah atas.
9 Kementerian Pendidikan Nasional, 2006a. Catatan: sekolah kejuruan pada tingkat menengah atas disebut Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sekolah menengah atas umum disebut SMA. Jenis sekolah ketiga pada tingkat menengah atas, sekolah Islam Madrasah Aaliyah, tidak dimasukkan dalam analisis bab ini. Hal ini karena jumlah siswa menengah atas yang terdaftar pada sekolah Islam sangat kecil jika dibandingkan dengan SMK atau SMA.
10 Kemendiknas, www.depdiknas.go.id.
Mengembangkan
Strategi Pelatihan
Keahlian yang
Menyeluruh
16 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Gambar 9: Pendaftaran sekolah kejuruan,
1992-2007
Gambar 10: Pendaftaran ke sekolah
menengah atas menurut jenisnya
1,700,000
1,600,000
1,500,000
1,400,000
1,300,000
1,200,000
1,100,000
3836343230282624222018
1299
31
99 1499
51
99 16997
199
81
99
91
990
200
12
00
22
003
200
42
005
200 2
600
72
00
Sumbu kiriJumlah siswa sekolah kejuruan
Sumbu kananPersentase siswa sekolah kejuruan terhadap keseluruhan siswa menengah atas
1,000,000
2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007
0
2,000,000
3,000,000
4,000,000
5,000,000
6,000,000
7,000,000Siswa SMK swasta
Siswa SMA swasta
Siswa SMK negeri
Siswa SMA negeri
Sumber: Newhouse dan Suryadarma, 2009 (berdasarkan Susenas). Sumber: Sakernas dan perhitungan Bank Dunia.
Namun demikian, pendidikan di sekolah menengah kejuruan tidak memberi keunggulan yang jelas
bagi lulusannya saat memasuki angkatan kerja. Berlawanan dengan tujuan kebijakan “70:30”, pendidikan
kejuruan negeri ternyata tidak lebih baik daripada sekolah umum negeri dalam hal meningkatkan peluang
lulusannya untuk memperoleh pekerjaan. Pendidikan kejuruan telah meningkatkan prospek lulusan laki-laki
untuk memperoleh pekerjaan formal, namun keunggulan ini tak lagi terlihat pada kelompok lulusan baru-
baru ini. Meskipun lulusan perempuan SMK negeri menikmati upah premium, hal ini pun semakin berkurang
seiring waktu. Keadaan ini semakin parah bagi laki-laki yang baru saja lulus dari SMK negeri karena mereka
menghadapi penalti upah yang terus meningkat sampai 30 persen tahun 2000 dan 43 persen tahun 2007.11
Laki-laki yang berprestasi tinggi di sekolah akan menghadapi penalti upah besar jika tidak memiliki ijazah
SMA negeri. Merekalah yang paling dirugikan akibat kebijakan pemerintah untuk memperluas sekolah
kejuruan. Sekolah kejuruan, terutama sekolah kejuruan swasta, berperan penting dalam melayani siswa
berprestasi akademis rendah karena golongan siswa ini akan memperoleh tingkat upah yang sama saja
meski mereka lulus dari sekolah umum.
Tanpa adanya perbaikan kondisi ketenagakerjaan secara jelas, ekspansi sekolah kejuruan yang
dilakukan secara meluas saat ini tidak akan hemat biaya, baik bagi pemerintah maupun para orang
tua. Biaya pengoperasian dan juga biaya untuk belajar di sekolah kejuruan, lebih mahal daripada di sekolah
umum. Mengingat biaya tahunan per siswa untuk SMK negeri diperkirakan 37 persen lebih tinggi daripada
SMA negeri, kebijakan 70:30 akan membutuhkan tambahan anggaran kira-kira Rp 5 triliun per tahun pada
saat target telah tercapai (Gambar 11). Sekolah kejuruan juga mahal bagi orang tua. Biaya yang dikeluarkan
sendiri oleh orang tua lebih tinggi 36,9 persen untuk SMK negeri jika dibandingkan dengan SMA negeri.
Sementara itu, SMK swasta biayanya lebih tinggi 31,4 persen daripada biaya untuk SMA swasta (Gambar
12).
11 Newhouse, David, dan Daniel Suryadarma, 2009.
Ringkasan Eksekutif
17
Gambar 11: Biaya pendidikan kejuruan negeri
(Rp)
Gambar 12: Biaya yang dikeluarkan sendiri
untuk pendidikan (Rp)
Sumber: Ghozali dan World Bank. Sumber: Susenas, 2006.
Pendidikan menengah atas semestinya diperluas untuk memenuhi permintaan yang besar akan
pekerja berpendidikan lebih tinggi, sambil mengamati sinyal dari pasar tenaga kerja untuk
menentukan komposisi jenis sekolah yang tepat. Permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih
tinggi masih tetap besar meskipun jumlah pekerja seperti itu di Indonesia sudah jauh lebih banyak. Akses
terhadap sekolah menengah atas perlu diperluas untuk memenuhi permintaan angkatan kerja dan
memungkinkan lebih banyak lulusan memperoleh manfaat dari besarnya premium upah bagi pekerja
yang berpendidikan lebih tinggi. Membatalkan pembekuan pendirian SMA negeri baru tidak hanya
merupakan cara yang hemat biaya untuk memperluas akses, tetapi juga dapat memastikan bahwa para
siswa berprestasi akademis akan berada di posisi terbaik untuk memperoleh pekerjaan berupah tinggi.
Meskipun pendidikan kejuruan berperan penting untuk memperluas jumlah pekerja yang berpendidikan
lebih tinggi, terutama bagi siswa yang lemah secara akademis, tidak semestinya ditetapkan kuota untuk
meningkatkan pendaftaran ke sekolah kejuruan. Sebaliknya, pasokan SMK seharusnya fl eksibel agar dapat
menanggapi perubahan permintaan dari pemberi kerja dengan lebih baik. Saat ini sedang terjadi peralihan
menuju keahlian yang lebih berorientasi jasa daripada keahlian teknis dan industri. Hal ini menguntungkan
bagi lulusan perempuan yang cenderung memilih jurusan di sektor jasa yang sedang berkembang (Gambar
13 dan 14). Untuk mencari komposisi yang tepat di masa depan, perubahan jenis keahlian yang dibutuhkan
pemberi kerja perlu dipantau dan ditanggapi dengan kebijakan pendidikan yang sesuai.
Gambar 13: Pilihan jurusan SMK menurut jenis
kelamin
Gambar 14: Pekerja yang lulus SMA atau lebih
tinggi, menurut sektor (juta)
63,84
3,71
15,56
56,04
16,68
28,93
3,92
11,32
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Laki-laki
Perempuan
Teknis dan industri Manajemen bisnis Pariwisata Lain-lain0
5
10
15
20
25
30
2003 2004 2005 2006 2007
Pertanian Industri Jasa
Sumber: Susenas, 2006. Sumber: Susenas, 2006.
18 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Peningkatan mutu sekolah negeri umum maupun kejuruan dapat membantu untuk memenuhi
permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Keberhasilan dalam menambah jumlah
pekerja yang berpendidikan lebih tinggi belum diikuti dengan bertambahnya mutu pendidikan. Kinerja
pendidikan di Indonesia masih tetap tertinggal dari negara lain sekawasan. Keadaan ini kemungkinan
turut menyebabkan bertambahnya kesenjangan upah antara siswa yang berprestasi akademis dan siswa
yang lemah secara akademis. Saat ini, sebagian besar SMK berada di bawah standar nasional sehingga
untuk memperbaiki mutu pendidikan kejuruan, sebuah standar minimum bagi SMK perlu dibuat dan
ditegakkan. Hal penting lainnya yang juga perlu dilakukan untuk memperbaiki hasil pendidikan kejuruan
adalah membangun hubungan yang lebih kuat dengan pemberi kerja, memastikan tersedianya sumber
daya keuangan yang memadai, dan meningkatkan mutu pengajar.12 Meskipun semakin berkurang,
ketidaksesuaian masih menjadi masalah; hampir seperempat dari lulusan pendidikan tinggi bekerja pada
bidang di luar bidang keahlian mereka. Program pencocokan yang inovatif, seperti yang dipakai di sekolah
kejuruan dan universitas terkemuka, dapat membantu lulusannya melewati masa peralihan dari pendidikan
ke angkatan kerja.
Pelatihan keahlian sebagai pelengkap dibutuhkan untuk memberi kesempatan kedua bagi pekerja
yang tidak dapat mengakses pendidikan menengah atas. Mengingat baru seperempat dari angkatan
kerja yang telah lulus SMA – angka yang rendah, bahkan menurut standar kawasan – maka strategi
keahlian yang hanya berfokus pada pendidikan formal belum cukup. Strategi pelengkap dibutuhkan untuk
membangun keahlian para pekerja tak terdidik melalui pelatihan non-formal. Sayangnya, Balai Latihan Kerja
(BLK) tidak siap memenuhi permintaan ini.Hanya terdapat sekitar 162 BLK di seluruh Indonesia yang melatih
pekerja dalam jumlah kecil (42.500 orang pada tahun 2003-04).13 Meskipun sesungguhnya ditargetkan bagi
pencari kerja dan wiraswasta di bidang usaha kecil dan pertanian, sebagian besar BLK justru menawarkan
layanan pelatihan bagi pekerja yang telah dipekerjakan oleh perusahaan klien. Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi telah mengkaji kondisi BLK pada 2004 dan 2006, dan mendapati bahwa kira-kira 60 persen
dari BLK berada dalam kondisi yang buruk dari segi fasilitas, peralatan, dan sumber daya manusia.14
Perlu diperkenalkan program pelatihan keahlian nasional yang menyeluruh dan dirancang dengan
baik demi meningkatkan kondisi ketenagakerjaan pekerja yang rentan. Masih terdapat kekurangan
dalam upaya memberikan keahlian bagi para penganggur atau pekerja yang baru memasuki pasar tenaga
kerja. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa intervensi melalui pelatihan, seperti program
Jóvenes di Amerika Latin (Kotak 2), telah berhasil meningkatkan kondisi ketenagakerjaan bagi peserta
pelatihan.15 Berbagai program tersebut tak sekadar memberikan pelajaran berbasis ruang kelas, tetapi juga
serangkaian layanan lebih luas yang mencakup: magang, bantuan pencarian kerja atau pelatihan sambil
bekerja, serta subsidi upah. Kurikulumnya tidak sekadar mencakup pelatihan keahlian teknis, tetapi juga
keterampilan sosial dan keterampilan hidup yang semakin diperlukan calon pemberi kerja di Indonesia.
Indonesia memerlukan program pelatihan keahlian yang baru dan memiliki cakupan memadai
untuk menjangkau mereka yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal atau fasilitas
pelatihan publik. Program pelatihan menyeluruh yang baru ini dapat menjadi komponen kedua dalam
strategi nasional untuk melengkapi pekerja dengan keahlian yang relevan bagi pekerjaannya. Berbeda
dengan BLK yang ada saat ini, program masa depan tersebut harus membantu para pekerja yang rentan
dan kurang beruntung, terutama para pekerja informal yang berusia muda dan miskin, yang akan
memperoleh manfaat paling besar dari kesempatan kedua. Penyedia layanan yang dikontrak (baik dari
sektor swasta maupun LSM) dapat dipakai untuk mengujicobakan program. Kementerian Tenaga Kerja
12 Wicaksono, 2008.
13 Alisjahbana et al., 2008.
14 Ibid.
15 Puerto dan Fares, 2008.
Ringkasan Eksekutif
19
sebaiknya memimpin di depan dalam perencanaan strategis dan pemantauan kinerja lembaga pelaksana.
Dukungan bagi kemitraan swasta-publik akan membantu terbangunnya hubungan dengan calon pemberi
kerja dan memastikan bahwa penyedia pelatihan telah melakukan survei terhadap pemberi kerja lokal guna
memastikan kebutuhan pasar tenaga kerja lokal. Namun, pelatihan saja tidak dapat melindungi pekerja yang
rentan dari risiko yang mereka hadapi. Diperlukan upaya tambahan untuk melindungi mereka jika terjadi
guncangan lapangan kerja dan upah.
Kotak 2: Program Jóvenes: Praktik terbaik dalam pelatihan keahlian
Program Jóvenes memberikan pelatihan bagi kaum muda dan miskin dalam hal keahlian profesi dan keterampilan
hidup yang disusul dengan magang di tempat kerja. Didasarkan pada proyek percontohan di Cile pada awal 90-an,
pelatihan dengan pendekatan menyeluruh ini telah menyebar ke seluruh kawasan Amerika Latin dan masing-
masing negara menyesuaikan program dengan kebutuhannya. Kaum muda yang mengalami ketertinggalan
diidentifi kasi dengan cara-cara seperti statistik pengangguran, data sosioekonomi, dan pemetaan kemiskinan.
Perusahaan swasta, LSM, lembaga publik, dan lembaga pelatihan non-formal yang memenuhi persyaratan
berkompetisi untuk memberikan pelatihan. Penyedia pelatihan diharuskan untuk mengatur magang bagi peserta
pelatihan dan memastikan keahlian seperti apa yang dibutuhkan pemberi kerja lokal sebelum menerima dana untuk
mengadakan pelatihan. Dengan cara ini, kegiatan magang akan memberikan informasi mengenai keahlian yang
sedang dibutuhkan. Pelatihan keterampilan hidup secara intensif berfokus terutama pada keahlian memecahkan
masalah, perilaku tempat kerja yang benar, mengelola konfl ik, teknik pencarian kerja, dan membangun kepercayaan
diri.
Programa Jóvenes en Acción. Uji coba versi Kolombia dari program ini dimulai pada bulan Mei 2001 dengan
menawarkan kursus pelatihan pekerjaan bagi 100.000 laki-laki dan perempuan yang menganggur dan menempati
dua tingkat pendapatan terendah. Program dilaksanakan di tujuh kota dengan investasi keseluruhan senilai 17,6
juta dolar Amerika. Program pelatihan ini adalah bagian dari Jaringan Dukungan Sosial (Red de Apoyo Social) yang
juga mencakup pekerjaan umum secara darurat untuk menciptakan penghasilan dan pendidikan keluarga serta
tunjangan kesehatan untuk keluarga pedesaan miskin. Kaum muda berusia antara 18 dan 25 tahun menerima
tunjangan dan voucher pelatihan yang dapat mereka gunakan untuk mendaftar pada kursus pelatihan pilihan
mereka dari daftar penyedia pelatihan yang dipilih secara kompetitif. Pelatihan pekerjaan berlangsung sekitar
tiga bulan dan diikuti dengan magang tiga bulan di sebuah perusahaan atau organisasi. Penerima manfaat juga
menerima tunjangan makan dan transportasi. Program ini dikelola oleh kelompok yang terdiri atas lembaga
pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan swasta.
Evaluasi terhadap program Jovenes en Acción memperlihatkan hasil mengesankan berikut ini:
Tingkat lapangan kerja yang lebih tinggi: Bagi perempuan, pelatihan telah meningkatkan peluang mereka
untuk memperoleh pekerjaan, lamanya hari dan jam bekerja, serta peluang untuk memperoleh pekerjaan
dengan kontrak tertulis. Dampak yang serupa, namun lebih terbatas juga dirasakan laki-laki.
Kenaikan upah: Dampak yang paling signifi kan dari program ini adalah peningkatan besar pada upah: upah
perempuan meningkat 35 persen, sementara upah laki-laki meningkat 18 persen.
Hemat biaya: Program ini menciptakan perolehan bersih yang besar, terutama bagi perempuan. Bahkan
dengan menggunakan perhitungan efektivitas biaya yang paling konservatif sekalipun, ada isyarat bahwa
manfaat bersih dari program ini lebih dari cukup untuk menjustifi kasi pelaksanaannya dan kemungkinan
perluasannya. Tingkat pengembalian investasi (IRR) terendah adalah 13,5% untuk perempuan dan 4,5% untuk
laki-laki.
Sumber: Attanasio, Orazio, Adriana Kugler, dan Costas Meghir. 2007.
20 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Melindungi pekerja yang rentan terhadap guncangan lapangan kerja
dan upah
Tanpa adanya sistem perlindungan sosial bagi pekerja, pasar tenaga kerja informal dan pertanian
berfungsi sebagai jaring pengaman selama terjadinya guncangan lapangan kerja dan upah. Krisis
keuangan Asia Timur tahun 1997 berdampak sangat berat bagi pekerja Indonesia. Upah riil median anjlok
sampai 31 persen dalam satu tahun dan banyak pekerja sektor formal yang kehilangan pekerjaannya (Gambar
15). Tingkat lapangan kerja yang stabil menyembunyikan realokasi pekerja secara besar-besaran ke sektor
informal dan pertanian yang berfungsi sebagai jaring pengaman karena tidak adanya sistem perlindungan
dari pemerintah. Pembalikan transformasi struktural ini merupakan langkah mundur bagi banyak pekerja
dan juga bagi pembangunan Indonesia.
Gambar 15: Upah riil median (Rp) Gambar 16: Jobless growth - pangsa
pekerjaan non-tani (persen)
2500
3000
3500
4000
4500
5000
1990 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2006 2007
20
30
40
50
60
70
80
90
1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004
Indonesia CinaMalaysia FilipinaThailand Vietnam
Masa pemulihanpascakrisis
(1999-2003)
Sumber: Sakernas. Sumber: Sakernas.
Memperluas
Jaring Pengaman
Tenaga Kerja
Ringkasan Eksekutif
21
Gambar 17: Upah minimum dan lapangan
kerja formal
Gambar 18: Upah minimum dan
ketidakpatuhan
0
1.000
2.000
3.000
4.000
20
30
40
50
600991
1991
2991
39 91
4991
6991
79 91
8991
99 91
0002
1002
20 02
3002
40 02
50 02
6002
70 02
Pangsa lapangan kerja formal (%, sumbu kiri)Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan)
60
50
40
30
20
10
0Terbawah Kedua Ketiga Keempat Teratas
Pers
enta
se k
arya
wan
pene
rima
gaji
Kuintil Perkiraan Konsumsi Per Kapita
Sumber: Sakernas 2006 dan Bank Dunia. Sumber: Sakernas 2006 dan Bank Dunia.
Tanggapan pemerintah berupa kebijakan untuk meningkatkan upah minimum besar-besaran,
gagal melindungi pekerja berupah rendah setelah krisis dan menyebabkan semakin tersisihnya
pekerja informal. Selepas krisis keuangan 1997 dan peralihan Indonesia menuju demokrasi, upah minimum
di Indonesia meningkat pesat untuk membantu karyawan pulih dari krisis upah. Upah minimum yang tinggi
digunakan sebagai mekanisme penentu upah bagi pekerja tanpa keahlian dan turut menimbulkan kenaikan
upah rata-rata.16 Kenaikan upah minimum menimbulkan akibat yang tidak diharapkan, yaitu berkurangnya
ketersediaan pekerjaan formal dan non-tani (Gambar 17). Keadaan ini terutama mempengaruhi sektor jasa
yang sedang berkembang sehingga sektor ini menjadi tak lagi sepadat karya dahulu akibat kenaikan upah
pesat selama periode pemulihan krisis tahun 1999-2003. Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan
yang mengalami jobless growth selama periode tersebut dan gagal memperluas peluang kerja di sektor
formal dan non-tani (Gambar 16).
Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan upah minimum juga gagal memberikan jaring pengaman yang
efektif bagi pekerja berupah rendah. Karyawan miskin menarik manfaat paling kecil dari kenaikan upah
minimum karena mereka berpeluang lebih besar untuk bekerja pada pemberi kerja yang tidak patuh
terhadap aturan upah minimum, yang cenderung merupakan usaha kecil dan menengah yang berada di
bawah ambang batas pengawasan inspektur tenaga kerja (Gambar 18).
Selama terjadinya kemerosotan ekonomi, pekerja yang berisiko kehilangan pekerjaannya hanya
memiliki sedikit jaring pengaman yang dapat diandalkan. Meskipun Indonesia berhasil melewati
kemerosotan ekonomi global yang terjadi baru-baru ini, banyak yang mempertanyakan kesiapan
pemerintah untuk melindungi pekerja yang diberhentikan dan membutuhkan penghasilan stabil untuk
membiayai keluarganya. Uang pesangon dan dana pensiun tidak memberikan perlindungan yang efektif
bagi pekerja yang kehilangan pekerjaannya.17 Peningkatan upah minimum pekerja pun sama sekali tidak
akan membantu pekerja yang telah kehilangan pekerjaan. Bahkan sebaliknya, menaikkan biaya tenaga
kerja selama terjadinya krisis dapat membuat Indonesia jatuh kembali dalam jobless growth. Tanpa adanya
sistem perlindungan sosial bagi pekerja, mereka akan kembali ke pekerjaan di sektor informal dan pertanian
skala kecil sebagai jaring pengaman, meskipun pekerjaan tersebut hanya memberikan upah kecil dan tidak
memberikan jaminan penghasilan.
Meningkatkan frekuensi pengumpulan dan menambah kelengkapan data ketenagakerjaan dapat
membantu mendeteksi guncangan dengan cepat dan mengetahui dengan akurat pekerja yang
terpengaruh. Untuk melindungi pekerja dari guncangan, diperlukan pengumpulan informasi terkini
16 Saget, 2006.
17 Vroman, 2007.
22 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
dan penentuan dengan tepat daerah dan rumah tangga yang paling terkena dampaknya. Saat ini, survei
tenaga kerja hanya dilakukan dua kali setahun dengan ukuran sampel yang besar. BPS dapat meningkatkan
keterkinian data dan sekaligus mengurangi biaya dengan menerapkan pendekatan survey kuartalan atau
terus-menerus yang dapat menghasilkan data ketenagakerjaan per kuartal atau per bulan. Selain itu, ada
pula kebutuhan untuk memperluas pertanyaan survei untuk memantau dengan lebih baik kerentanan di
antara para pekerja. Fasilitas penelitian dan think tank lokal, yang didukung dengan bantuan teknis dan
pembangunan kapasitas, dapat menggunakan data ini untuk melacak perubahan di pasar tenaga kerja
dan mendiagnosis bagaimana guncangan dirasakan oleh pekerja sehingga mekanisme tanggapan dapat
dirancang dengan lebih baik. Keterlambatan penyaluran tanggapan program dapat berdampak sangat
mahal bagi para pekerja yang rentan dan keluarga mereka.
Data ini dapat dimasukkan ke dalam sistem pemantauan yang mampu mendeteksi guncangan di
masa depan, termasuk guncangan upah dan lapangan kerja. Jaring pengaman darurat tidak akan efektif
atau tepat waktu jika tidak disertai dengan sistem pemantauan dan tim siaga yang bertanggung jawab
memeriksa data yang tersedia (termasuk laporan dari lapangan) untuk mendeteksi krisis yang sudah di
depan mata. Sistem Pemantauan dan Respon terhadap Krisis (Crisis Monitoring and Response System - CMRS)
bertindak sebagai prototipe bagi sistem pemantauan dan tanggapan masa depan yang dapat dibuat
berkesinambungan sehingga guncangan di masa depan dapat dipantau dan diatasi begitu muncul.
Informasi yang diperoleh melalui pemantauan dapat menjadi masukan bagi rancangan sistem
tanggap darurat di masa depan, yang mengatur kapan dan bagaimana jaring pengaman bagi
pekerja akan disalurkan untuk mengantisipasi serangkaian kemungkinan guncangan. Sistem harus
mengidentifi kasi pemicu yang dapat membenarkan penyaluran bantuan sementara melalui berbagai jalur
program. Untuk mengembangkan sistem ini, perlu disiapkan terlebih dahulu pedoman yang mengantisipasi
tanggapan terhadap skenario tertentu, termasuk rincian mengenai identifi kasi penerima, besarnya dan
jenis paket bantuan (misalnya tunai atau berupa barang, pekerjaan umum), dan kapan bantuan diakhiri.
Rancangan sistem tanggapan juga harus menjelaskan bagaimana berbagai lembaga akan bekerja sama
untuk melakukan perancangan, aktivasi, pembiayaan, dan penyaluran demi tersedianya bantuan dengan
secepat dan seefi sien mungkin.
Salah satu pilar sistem nasional untuk menanggapi guncangan semestinya berupa kerangka
kerja pekerjaan umum. Kerangka kerja ini mengatur kapan, di mana, dan bagaimana proyek penciptaan
lapangan kerja akan disalurkan untuk mengantisipasi serangkaian kemungkinan guncangan. Hal ini
termasuk mengidentifi kasi pemicu yang akan meluncurkan proyek pekerjaan umum atau meningkatkan
alokasi bagi program padat karya yang sudah ada. Sebagai contoh, PNPM-Mandiri dapat menyalurkan
dana untuk mendukung proyek pembangunan padat karya yang telah diidentifi kasi masyarakat setempat
di area pedesaan, sebuah langkah yang telah berhasil mengurangi angka pengangguran. Selain itu, perlu
diidentifi kasi proyek atau jalur untuk memberikan bantuan sementara kepada pekerja di area perkotaan saat
dibutuhkan. Pada saat bersamaan, sistem tanggapan dapat diisi daftar siaga mengenai proyek infrastruktur
yang sedang direncanakan dan sudah berjalan, yang dapat dengan cepat menyerap pekerja selama
terjadinya guncangan baik di area pedesaan maupun perkotaan.
Belajar dari masa lalu dan berpegang pada “praktik terbaik” internasional akan memastikan
bahwa bantuan dapat menjangkau pekerja yang paling memerlukannya. Berbagai praktik terbaik
tersebut mencakup: menunjuk satu lembaga di tingkat pusat yang bertanggung jawab memimpin strategi
keseluruhan dan memantau pelaksanaan program; menggunakan penetapan target geografi s secara
sistematis untuk menentukan lokasi program; menetapkan upah di bawah tingkat pasaran bagi pekerja
tanpa keahlian sehingga para pekerja tersebut akan terseleksi mandiri ke dalam program; mendorong
keikutsertaan perempuan dengan mengubah elemen rancangan program; dan memilih proyek padat karya
yang telah diidentifi kasi oleh masyarakat atau mendukung proyek infrastruktur yang telah dimasukkan dalam
strategi pengembangan akan membantu memastikan bahwa proyek pekerjaan umum dapat berguna dan
produktif.
Ringkasan Eksekutif
23
Mendorong kemajuan dengan mengisi kekurangan pengetahuan di
pasar tenaga kerja
Membangun basis empiris bagi perdebatan sengit di seputar kebijakan ketenagakerjaan. Meskipun
peningkatan frekuensi pengumpulan data dapat membantu pembuat kebijakan untuk memberi tanggapan
“tepat waktu”, perlu diperhatikan juga jenis data seperti apa yang dikumpulkan. Sakernas semestinya
dirancang untuk mengumpulkan data yang dapat menjawab pertanyaan paling mendesak dari para
pembuat kebijakan. Sebagai contoh, modul mengenai pesangon perlu dilanjutkan untuk mengetahui
dampak peraturan pesangon terhadap kondisi ketenagakerjaan para pekerja. Pengumpulan data mengenai
status kontrak sangatlah penting untuk melacak seberapa jauh telah terjadi segmentasi di pasar tenaga
kerja. Upaya ini akan menjadi masukan saat menentukan kebijakan dan program apa yang diperlukan
untuk menargetkan sub-kelompok pekerja tertentu. Dapat pula dipertimbangkan untuk melaksanakan
studi pelacakan kondisi ketenagakerjaan yang terkait dengan perbedaan pendidikan dan pengalaman
pelatihan.
Memantau dan mengevaluasi dengan ketat program dan lembaga yang sudah ada untuk
mempelajari mana yang memberikan hasil dan mana yang tidak berguna. Tidak banyak yang
diketahui mengenai kinerja berbagai lembaga ketenagakerjaan yang sudah ada karena berbagai lembaga
tersebut tidak dipantau atau dievaluasi dengan teliti. Kajian kualitatif dan kuantitatif dapat mengidentifi kasi
jenis SMK negeri mana dan pusat pelatihan non-formal mana yang memberikan hasil lebih baik. Memantau
dan mengkaji kinerja proses penyelesaian perselisihan dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang baru
dibentuk untuk memperoleh data yang diperlukan guna memperbaiki tingkat keberhasilan mekanisme
penyelesaian pra-sidang dan mengurangi kemacetan di PHI sehingga meningkatkan kecepatan dan
menghemat biaya proses penyelesaian.
Mendukung
Pembuatan
Kebijakan
Berbasis Bukti
24 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Membuat dasar bagi arah yang baru dengan melakukan uji coba terhadap pendekatan baru.Masih
banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk mengkaji sistem alternatif yang dapat memberikan tunjangan
pengangguran, seperti misalnya simulasi dan kajian kelembagaan. Berinvestasi dalam analisis menyeluruh
dan belajar dari pengalaman negara lain yang berpenghasilan menengah sebagai masukan bagi rancangan
mekanisme jaminan sosial masa depan agar terhindar dari kesalahan yang mahal. Demikian pula perlu
dilakukan pengujian terhadap program baru, seperti program pelatihan keahlian menyeluruh, dengan
melakukan uji coba pendekatan tersebut pada area tertentu sebelum diperluas ke skala nasional. Untuk
program yang berpotensi menjadi besar dan ambisius dari segi fi skal, perlu memasukkan pengacakan
(randomization) dalam rancangan proyek untuk mengukur dampak dan penghematan biaya secara lebih
akurat. Melakukan evaluasi dampak yang ketat terhadap program pelatihan dan pekerjaan umum di masa
depan untuk mengetahui apakah pendekatan yang diambil sudah hemat biaya dan dapat meningkatkan
kondisi ketenagakerjaan bagi pekerja.
Memperkuat jaringan fasilitas riset dan lembaga penelitian (think tank) di Indonesia. Pembuat
kebijakan dan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas program ketenagakerjaan sangat
bergantung pada analisis yang tepat untuk mengambil keputusan. Hal ini membutuhkan berfungsinya tiga
komponen yang saling berkaitan. Yang pertama, Kementerian Tenaga Kerja harus memastikan tersedianya
data tenaga kerja paling baru secara umum. Yang kedua, lembaga pemerintah perlu memahami cara
mengajukan pertanyaan yang tepat dan mengadakan proyek riset yang dapat memberikan jawabannya.
Yang terakhir, membangun kemampuan teknis peneliti di berbagai think tank dan fasilitas riset universitas
untuk melaksanakan riset kebijakan ketenagakerjaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis.
Ringkasan Eksekutif
25
Bidang Persoalan & Hambatan Utama Langkah Spesifi k Jangka Waktu & Urutan
Pelaksanaan
Re
form
asi
Pe
ratu
ran
Pembayaran pesangon dengan nilai
kecil menyebabkan kebanyakan
karyawan tidak terlindungi dalam
hal pemberhentian kerja.
Memperkenalkan sistem tunjangan
pengangguran (dana pesangon
bersama, sistem rekening
pesangon individual, atau bantuan
pengangguran berbentuk
tunjangan tetap) sebagai pelengkap
sistem Jaminan Sosial Nasional.
Jangka pendek: Memulai proses
reformasi dengan mengadakan
studi simulasi mengenai sistem
alternatif dan mengadakan kajian
untuk menentukan sistem mana
yang paling cocok dalam konteks
kelembagaan Indonesia.
Jangka menengah: Memfasilitasi
negosiasi multi pihak untuk
mengurangi tingkat pesangon dan,
sebagai gantinya, menerapkan
sistem tunjangan pengangguran
terpilih. Mengembangkan peta
langkah reformasi yang terkait
dengan reformasi sistem Jaminan
Sosial Nasional.
Sistem “post-pay” menciptakan
ketidakpastian bagi pemberi
kerja dan mengurangi peluang
pekerja yang diberhentikan untuk
menerima pesangon.
Mengadopsi sistem pendekatan
kontribusi bulanan agar perusahaan
memberikan kontribusi pesangon
bulanan ke sebuah rekening yang
dikelola oleh pihak ketiga.
Aturan yang rumit dan tingkat
pesangon tinggi yang diwajibkan
secara hukum akan mengurangi
minat wiraswasta untuk memulai
bisnis baru dan menghambat
potensi investasi asing.
Menyederhanakan aturan
penentuan uang pesangon dan
uang penghargaan masa kerja.
Menurunkan tingkat pesangon agar
sesuai dengan standar kawasan.
Matriks Ringkasan
Rekomendasi
Kebijakan
26 Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bidang Persoalan & Hambatan Utama Langkah Spesifi k Jangka Waktu & Urutan
Pelaksanaan
Pe
lati
ha
n K
ea
hli
an
Permintaan akan pekerja
berpendidikan lebih tinggi masih
besar, tetapi pembangunan sekolah
menengah atas umum telah
dibekukan.
Menghapus kebijakan untuk
membekukan pembangunan
sekolah menengah atas umum.
Jangka pendek: Melakukan studi
pelacakan kondisi ketenagakerjaan
siswa dari berbagai jenis sekolah.
Meneliti berbagai opsi untuk
program pelatihan keahlian non-
formal. Melakukan kunjungan
pertukaran ke berbagai program
Jovenes di negara Amerika Latin
tertentu.
Jangka menengah: Mendukung
sekolah kejuruan untuk mengadakan
survei terhadap pemberi
kerja di daerah mereka untuk
mengidentifi kasi keahlian yang
dibutuhkan. Melakukan percontohan
dan uji coba sebuah program
pelatihan keahlian menyeluruh
non-formal di area terpilih dengan
peserta acak.
Target saat ini untuk perluasan
SMK tidak memberikan perbaikan
yang jelas terhadap kondisi
ketenagakerjaan dan tidak hemat
biaya.
Mengganti kebijakan “70:30” dengan
pendekatan berbasis pasar untuk
menentukan komposisi sekolah
kejuruan dan sekolah umum
yang tepat. Mengembangkan
strategi untuk memperbaiki mutu
sekolah kejuruan dan mendorong
hubungan yang lebih kuat dengan
calon pemberi kerja.
Pusat pelatihan publik tidak cukup
untuk memenuhi permintaan dan
umumnya hanya memberi manfaat
bagi pekerja yang telah memiliki
pekerjaan.
Memperkenalkan program
pelatihan keahlian nasional yang
menyeluruh untuk menargetkan
pekerja muda, miskin, dan informal.
Mengimplementasi program
melalui penyedia layanan swasta
dan NGO, dengan pengawasan dari
pemerintah.
Jari
ng
Pe
ng
am
an
ba
gi
Pe
ke
rja
Tanpa adanya data terbaru, sulit
menentukan daerah dan kelompok
pekerja yang mengalami dampak
guncangan lapangan kerja dan
upah agar dapat dibuatkan program
tanggapan.
Mengkonversi Survei Angkatan
Kerja Nasional (Sakernas) menjadi
pendekatan terus-menerus
sehingga dapat memberikan data
tiap bulan atau tiap triwulan sambil
tetap menghemat biaya.
Jangka pendek: Menentukan
ukuran sampel yang optimal untuk
melakukan Sakernas triwulan dan
implikasi anggarannya.
Jangka menengah: Membentuk
tim teknis untuk mengembangkan
rencana strategis bagi terciptanya
program pekerjaan umum
permanen. Hal yang perlu
dimasukkan: tujuan, fi tur rancangan,
mekanisme penyaluran, pengaturan
kelembagaan, dan peta langkah
demi langkah.
Tidak ada jaring pengaman yang
dapat digunakan secara efektif
untuk melindungi pekerja miskin
dan berupah rendah selama
terjadinya guncangan lapangan
kerja dan upah.
Mengembangkan program
pekerjaan umum nasional untuk
menargetkan kaum miskin
yang bersedia bekerja dan
membayarkan upah di bawah
harga pasar bagi pekerja tanpa
keahlian. Menggunakan program
seperti PNPM sebagai mekanisme
untuk pendaftaran peserta dan
menyalurkan dana bagi proyek
padat karya.
Ris
et
Ke
bij
ak
an
Ke
ten
ag
ak
erj
aa
n
Data yang dikumpulkan dalam
Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) belum cukup untuk
menjawab pertanyaan mendesak
mengenai kebijakan.
Memperluas pengumpulan
data yang terkait dengan
pertanyaan kunci mengenai
kebijakan. Melanjutkan modul
pesangon dalam Sakernas dan
mengumpulkan data mengenai
status kontrak.
Jangka pendek: Mengadakan
lokakarya bersama Kementerian
Tenaga Kerja, BPS, dan Bappenas
untuk mengidentifi kasi data
ketenagakerjaan yang dibutuhkan
dan mengusulkan perubahan
terhadap Sakernas. Mengembangkan
perangkat yang dapat digunakan
peneliti untuk melacak dan
menganalisis tren ketenagakerjaan.
Jangka menengah: Mengembangkan
dan mendukung program pelatihan
bagi peneliti ketenagakerjaan.
Memberikan bantuan keuangan
bagi jaringan peneliti kebijakan
ketenagakerjaan.
Belum ada cukup banyak riset
kebijakan ketenagakerjaan
bermutu tinggi, terutama studi
kuantitatif, sebagai masukan bagi
pengembangan kebijakan.
Memastikan bahwa Biro Pusat
Statistik dapat menyediakan
data pasar tenaga kerja kepada
masyarakat umum secara tepat
waktu.
Membangun kapasitas lembaga
pemerintah untuk merumuskan
pertanyaan riset dan memulai
proyek. Meningkatkan kapasitas
teknis berbagai lembaga penelitian
untuk mengadakan riset kebijakan
ketenagakerjaan kuantitatif.
Ringkasan Eksekutif
27
Referensi
Alisjahbana, Armida S., Pipit Pitriyan, Evi Aminah Ramdhani, Viktor Pirmana, and Wiartini Citrasari. 2008.
“Vocational and Technical Education.” World Bank Offi ce Jakarta. Mimeo.
Attanasio, Orazio, Adriana Kugler and Costas Meghir. 2007. “Eff ects of Youth Training in Developing Countries:
Evidence from a Randomized Training Program in Colombia.” Mimeo.
Djankov, Simeon and Rita Ramalho. 2008. “Employment Laws in Developing Countries.” World Bank.
Feldmann, Horst. 2008. “Business Regulation and Labor Market Performance around the World.” Journal of
Regulatory Economics, 33 (2): 201–35.
Ghozali, Abbas. 2006. “Analisis Biaya Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.” Mimeo. Jakarta, Indonesia
International Labor Organization (ILO). 2008. LABORSTAT Internet. Table 2D: Total employment, by status in
employment http://laborsta.ilo.org/.
LP3E FE UNPAD and GIAT. 2004. “Indonesia’s Employment Protection Legislation: Swimming against the
tide.” Faculty of Economics, University of Padjajaran Bandung and Growth through Investment,
Agriculture and Trade (GIAT) Project.
Ministry of National Education (MoNE). 2006a. “Rencana Strategis Departemen Pendidikan National Tahun
2005-2009.” Jakarta: Ministry of National Education.
Newhouse, David Locke and Daniel Suryadarma. 2009. “The Value of Vocational Education: High School Type
and Labor Market Outcomes in Indonesia”. World Bank Policy Research Working Paper 5035. Available
at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1471133
Nugroho, Hari. 2008. “Labor Dispute Settlement Through the Industrial Court System.” Mimeo. World Bank.
Puerto, Olga Susana and Jean Fares. 2008. Forthcoming. “Towards Comprehensive Training.” Washington, DC:
World Bank.
Revenga, Ana and Jamele Rogolini. 2007. “International Evidence on Severance Pay Reforms: Some Food for
Thought for Indonesia’s Current Reform Proposal.” World Bank.
Saget, Catherine. 2008. “Fixing Minimum Wage levels in Developing Countries. Common Failures and
Remedies.” International Labour Review: Geneva.
Sumarto, Sudarno, Asep Suryhadi and Lant Pritchett. 2000. “Safety Nets and Safety Ropes: Who Benefi ted
from Two Indonesian Crisis Programs – the Poor or the Shocked?” World Bank.
Vroman, Wayne. 2007. “Reforming Social Protection for Workers in Indonesia.” World Bank Offi ce Jakarta.
Wicaksono, Padang. 2008. “Skill Development Strategy: The Indonesian Case Study on the Pre-Employment
VET.” Presented at the Education Sector Assessment Workshop, Yogyakarta.
World Bank. 2008b. “PSF Progress Report.” PREM, Poverty Team. World Bank Indonesia Offi ce
World Bank. 2009a. “Doing Business.” www.doingbusiness.org.